Cerbung Episode ke 46….
Oleh Sofi Muhammad
Benar-benar
malu aku pada diriku sendiri. Berkali-kali kubeberkan segala tindak-tanduk Bu
Sur untuk kemudian kutertawakan bersama dengan teman-teman. Seolah-olah, memang
layak sekali orang itu untuk dicaci.
Setiap
kali bertemu, aku beserta teman-teman asik membahas mengenai Bu Sur yang
sering kali marah-marah tidak jelas tiap kali melihat wanita cantik. Dan itu,
sungguh membuatku semakin menyombongkan kecantikanku kala lagi-lagi, Bu Sur
memarahiku.
Ya,
seolah-olah, kala dia marah itu merupakan saat-saat kesadarannya menyadari
sebetapa cantiknya diriku ini.
Usai
jam kerja yang melelahkan, biasanya aku pulang dengan wajah yang berbinar kemudian
mengaca di cermin. Tentunya untuk memuji diriku sendiri pasti. Saat Arya belum
kembali pun, aku memang ketagihan untuk memuji diriku.
Begitu
Arya datang, aku semakin subur lantaran ada tambahan orang yang pastinya
bakalan memujiku juga.
Iya,
semua yang ada di diriku ini memang kurasakan mampu untuk bisa membuat Bu Sur
iri hingga kemudian memarahiku. Selama dia tak bertindak kalap sebagaimana para
majikan dari Malaysia dan Arab Saudi, aku berusaha untuk membetahkan diri.
Toh
gajinya lumayan. Jika dibanding dengan saat aku bekerja di laundry, aku memang
lebih memilih bekerja di Bu Sur. Hanya saja, ya masalah waktu itu tadi.
Saat
posisiku masih single sih oke-oke saja. Berangkat sangat pagi kemudian pulangnya
bisa siang, sore, bahkan sampai malam hari lantaran jenis pekerjaan yang
diembankan Bu Sur padaku memang tidak beraturan sama sekali.
Untuk
bagian cuci piring atau menyapu, kalau Bu Sur sedang tidak malas, pasti bakalan
dikerjakannya sendiri. Sedangkan gajiku, tentu saja bakalan dipotong tergantung
dari seberapa sering Bu Sur itu meringankan pekerjaanku.
Sistem
penghitungannya sangat detail. Sudah sewajarnya jika aku sampai menggosipkannya
pada banyak teman-temanku, bahkan pada Arya.
Tapi,
kini justru itulah yang membuatku malu pada diriku sendiri. Seolah seonggok
kacang busuk yang lupa kulit. Sudah busuk malah pelupa juga aku ini.
Di
saat aku semakin gencar membicarakannya di depan umum, tapi lihatlah!
Benar-benar
trenyuh rasanya. Seolah-olah, dia memang telah menjadi bagian dari diriku yang
mampu merasakan kegalauanku lantaran tak punya KTP; seumur hidup aku memang tak
pernah punya KTP.
“Sudah
dapat,” katanya.
“Dapat
apa?”
“Orang
yang bisa membuatkanmu KTP.”
***
Ribuan
kali hatiku ini refleks berucap syukur yang tiada tara. KTP. Jika aku
benar-benar bisa memiliki KTP, maka setidaknya aku akan bisa sedikit bernafas
lega. Entah apalah yang bakalan kulakukan nanti asal punya KTP dulu.
Dengan
itu pula, aku tentu berharap banyak dengan Arya. Anak-anakku nanti, jika kami
memang diberkahi anak, maka dia tidak akan sampai merasakan kegalauan lantaran
sudah punya kartu keluarga, juga akta kelahiran yang memang tak pernah kumiliki
seumur hidup.
Anak
ya?
Apa
benar-benar kami ini akan memiliki anak yang sangat dielu-elukan oleh ribuan
juta manusia di bumi ini. Ya, jika benar kami bisa memiliki anak, maka aku tak
bakalan menjadikannya sebagai pelampiasan kekesalanku.
Tentu
saja akan kunina-bobokkan dia kala malam gelap gulita. Ketika pagi, saat
lembayung masih menyisakan embun pagi di dedaunannya yang menghijau, akan
kugodai bayi mungilku agar segera bangun dan menangis lucu dan menggemaskan. Ya,
bayi kami maksudku.
“Em
mau yang cowok apa cewek kamu?” tanyaku pada Arya ketika kami selesai bercinta
sore itu.
“Em,
cewek sajalah,” jawabnya, “biar cantik kayak kamu, Ras.”
“Tapi,
cewek itu susah sekali hidupnya,” jawabku.
“Susah
atau tidak, ya tergantung masing-masing orangnya, Ras.”
“Ah,
tetap saja enak jadi cowoklah.”
“Ya
sudah, cowok sama cewek ya,” kata Arya.
Aku
tersenyum.
“Buat
sekarang yuk, Ras,” pintanya merujuk sekali penuh mesra.
Memang
besar sekali nafsu birahi Arya itu. Maklum juga sih. Mungkin karena sudah
ditahan sangat lama. Ada kesempatan, tidak dia sia-siakan.
Akh,
kalau bukan karena Bu Sur, aku pasti juga tak bakalan berani bermimpi untuk
punya anak segala. Membayangkannya yang pasti bakal sesulit aku di masa depan,
aku jadi tak bersemangat.
Namun
kini, semuanya terasa sedikit lebih baik karena harapan itu pelan-pelan akan
terobati juga.
“Sudah
boleh lepas kondom ini?” tanya Arya lagi.
“Jangan
dululah,” jawabku, “kan KTP-ku belum jadi.
“Berapa
lama?”
“Satu
mingguan mungkin.”
“Ah,
semakin nggak enak kalau pakai kondom terus, Ras.”
Kupandangi
wajahnya lekat-lekat. Memang tampan sekali dia. Jika anakku nanti laki-laki,
pasti bakalan lucu dan imut-imut sekali. Membayangkan pipinya yang gembul dan
kenyal, aku pasti selalu kangen kalau-kalau dia berangkat ke TK.
Ah,
benar-benar tidak sabar rasanya. Semoga saja kebahagiaan ini tidak hanya di
mimpi saja. Berpura-pura mengiming-imingiku dengan kebahagiaan tapi nyatanya
malah cuma semu belaka.
Aku
maunya benaran. Satu minggu lagi, ya satu minggu lagi.
Jika
sudah kudapatkan KTP beserta seluruh perangkatnya; KK, Akta Kelahiranku juga,
maka hidupku pasti lebih terjamin jadinya. Jika ada uang lima puluh ribuku yang
hilang lantaran dicuri tukang gorengan, maka aku pun bisa segera melaporkannya
ke polisi. Saat saluran TV digitalku mendapati gangguan karena kekurangbaikan
pelayanan, aku juga bisa mengajukan keluhan yang tentu saja harus menyodorkan
KTP, bukan?
Ya,
KTP memang bukan pemerintah yang perlu, tapi aku.
“Laras,
ayolah,” rujuk Arya yang sudah tergeletak di atas kasur padahal rambutku saja
belum sempat kering usai kukeramasi tadi.
Meski
agak capek juga pegal sekali lantaran seharian bekerja di rumah Bu Sur, tapi
mau bagaimana lagi. Jika Arya sudah meminta, maka nyawa pun, ibaratnya, ya
pasti akan aku berikan.