Oleh Thomas Utomo
Judul : Pasung Jiwa
Pengarang : Okky
Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Mei 2013
Tebal : 328 halaman
ISBN : 978-979-22-9557-3
Harga : Rp 55.000,00
“Seluruh
hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku,
lalu semua yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu
yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku.
Semuanya mengurungku, mengungkungku, tembok-tembok tinggi yang menjadi
perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku.” (hlm. 9)
Itu
bukan kata-kata Okky Madasari; perempuan bertundung kepala peraih Khatulistiwa Literary Award 2012
kategori prosa. Itu adalah suara hati Sasana; tokoh yang diciptakan Okky yang
kita kenal produktif menelurkan tulisan. Sasana sendiri adalah laki-laki yang
sejak sebelum lahir sudah ditentukan peta jalan hidupnya oleh orangtuanya.
Sejak dalam kandungan, Sasana sudah dibiasakan mengenali denting piano.
Sebegitu lahir dan tumbuh besar, orangtua mengharuskannya belajar memainkan
piano. Untuk itu, didatangkan guru piano yang mengajari Sasana seminggu dua
kali.
Berangsur-angsur,
Sasana menunjukkan kemahirannya bermain piano. Saat usia sekolah dasar, dia
sudah piawai memainkan komposisi-komposisi klasik dunia, seperti Beethoven,
Chopin, Mozart, Bach, dan Brahms. Orangtua, teman, guru sekolah tidak sedikit
yang kagum dan menghadiahi Sasana dengan semerbak kata-kata pujian.
Sayangnya,
kemampuan memainkan piano dan pujian yang bertubi-tubi dari orang-orang tidak
membuat Sasana bahagia. Dia justru menganggap bermain piano sebagai beban. Dia
“mau” memainkan piano bukan karena suka, didasari kehendak dari hati, melainkan
karena tidak ingin mengecewakan orangtuanya. Ayah-ibu Sasana memang bukan
pemain musik. Profesi ayah Sasana adalah pengacara, sedangkan ibunya dokter.
Mereka bisa memainkan piano, tapi hanya sekadarnya saja. Sementara kehendak
orangtua Sasana demikian besar untuk menciptakan anaknya menjadi pianis handal.
Sampai
suatu ketika, Sasana berkesempatan mendengar musik dangdut dari sebuah acara
hajatan tidak jauh dari rumahnya. Anehnya, baru pertama kali dengar, Sasana
langsung jatuh hati dan bisa menikmati. Tanpa sadar, dia ikut menyanyikan syair
lagu yang bisa langsung dihapalnya sambil menggoyangkan tubuh.
Sejak
saat itulah, Sasana tidak bisa lagi memainkan tuts-tuts piano. Tangannya
mendadak kaku, kemahirannya seketika tumpul saat duduk di depan piano. Di benak
dan telinganya yang terngiang hanya suara seruling maupun gendang pengiring
musik dangdut. Tentu saja, Sasana tidak memberitahu orangtuanya akan
kesukaannya pada dangdut, karena hal itu potensial membuat murka ayah-ibunya.
Demikianlah.
Sasana terus menutupi kegemarannya pada dangdut di hadapan orangtuanya.
Sementara
orangtua Sasana terus-menerus mendiktekan kehendaknya; ingin membentuk Sasana
sesuai idaman mereka. Saat SMA, Sasana dimasukkan secara paksa ke sebuah sekolah
Katolik khusus laki-laki. Mereka ingin Sasana menjadi laki-laki jantan dan
tangguh sesuai namanya.
Sasana
kembali harus menelan kekecewaan karena tidak bisa berkutik di hadapan
orangtuanya. Tapi dia tetap patuh, menurut, dan rajin berangkat sekolah meski
dengan hati merana. Kemeranaan Sasana semakin bertambah manakala di sekolah dia
diperas dan digencet sedemikian rupa oleh kakak-kakak kelasnya. Nyaris setiap
hari, Sasana pulang dengan keadaan babak-belur. Sampai akhirnya dia mengaku
pada orangtuanya kalau dirinya diperas, digencet, dan sering dikeroyok oleh
kakak-kakak kelasnya.
Malangnya,
orangtua Sasana tidak dapat berbuat banyak; memperkarakan kasus itu ke meja
hijau karena kakak-kakak kelas Sasana itu merupakan anak-anak orang yang
berpengaruh, sehingga kemudian Sasana justru dikeluarkan dari sekolah, meski
dia adalah pihak yang dirugikan.
Kejadian
itu terngiang-ngiang terus di benak Sasana. Berangsur-angsur dia membenci
laki-laki yang menurutnya gemar mempergunakan kekerasan secara sembrono. Dia
juga mulai membenci jatidirinya sebagai laki-laki, termasuk juga namanya yang
dia anggap terlalu garang, terlampau keras.
Di
sisi lain, Sasana menyimpan kecemburuan besar pada Melati; adiknya yang jelita
serupa bunga. Sasana iri pada segala-gala yang dimiliki Melati; mukanya,
tubuhnya, perangainya, namanya, bajunya, semuanya! Dia ingin menjadi seperti
Melati: yang cantik, lembut, dan bisa mengenakan baju-baju manis berlainan
model, corak, maupun warna. Pelan-pelan, Sasana ingin menjadi perempuan!
Tapi
lagi-lagi Sasana harus membungkam keinginannya itu di hadapan orangtuanya yang
demikian pemaksa kehendak dan sama sekali tidak membuka ruang kompromi.
Memasuki
bangku kuliah, Sasana harus tinggal jauh dari orangtua karena universitas yang
dipilihkan orangtuanya ada di luar kota. Pada periode ini, Sasana mulai merasa
memiliki kebebasan yang leluasa, karena dirinya jauh dari pandang mata penuh
selidik orangtua.
Saat
mengenyam pendidikan tinggi inilah, tanpa sengaja Sasana berkenalan dengan Jaka
Wani; pemuda dengan pekerjaan tidak jelas yang lebih karib dipanggil lewat nama
Cak Jek. Bersama Cak Jek yang pandai memetik gitar, Sasana kemudian mulai bisa
menyanyikan lagu-lagu dangdut secara bebas. Bahkan kemudian, keduanya menjadi
pengamen--Sasana menyanyi dan bergoyang, Cak Jek memetik gitar--dari satu
warung ke warung lainnya. Akibatnya, kuliah Sasana terbengkalai dan lalu malah
ditinggal sama sekali. Tapi Sasana tidak kecewa, karena dengan mengamen, dia
bisa menyanyikan lagu-lagu dangdut kesukaannya, bisa bergoyang sesuka hati, dan
mengenakan baju dan atribut perempuan yang dia idam-idamkan.
Kenyamanan
hidup bebas yang Sasana kecap bersama Cak Jek, tidak berumur lama. Peristiwa
penculikan dan pembunuhan Marsini; seorang buruh yang demikian vokal
menyuarakan protes pada para tuan-tuan pemilik pabrik, menyeret Sasana dan Cak
Jek dalam pusaran konflik yang membuat keduanya dituduh sebagai antek PKI dan
lalu terjerembab di balik jeruji penjara.
Di
dalam penjara, Sasana menerima perlakuan yang jauh dari kata senonoh. Selain
diberi makan yang tidak layak, dia juga kerap ditelanjangi, dilecehkan, dan
dipaksa melayani kebutuhan seks para tentara secara bergilir.
Sasana
melukiskan kebiadaban tingkah para tentara sebagai berikut, “Penisnya
dimasukkan ke mulutku. Sambil tangannya memegang kepalaku dan
menggerak-gerakkannya. Mereka semua tertawa. Aku meronta, berteriak tanpa
suara. Sakit rasanya. Sakit yang begitu dalam. Terhina, tak dihargai sebagai
manusia. Ada cairan terasa di mulutku. Aku masih tak bisa mengangkat kepala.
Orang itu memaksaku menelannya. Mukanya menahan nikmat.” (hlm. 98).
“Kini
dia menarik tubuhku, lalu dengan kasar menarik celana dalamku sampai putus dan
lepas begitu saja. Ia dorong tubuhku menghadap ke dinding. Lalu… aaaaargh!
Sakit, sakit. Sakit di hati. Sakit di tubuh. Mereka melakukannya bergiliran.
Aku benar-benar sudah merasa bukan lagi manusia.” (hlm. 99-100).
Kejadian
yang terus berulang itu pada akhirnya menciderai jiwa Sasana. Dia menjadi gila
dan lalu dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Membaca
novel ini akan mengayakan pembaca dengan berbagai liuk kejadian yang jauh dari
kebahagiaan, namun sarat dengan makna, pesan, sekaligus pertanyaan besar
mengenai hakikat manusia dan kemanusiaan. Informasi penting yang dapat
ditemukan di novel ini antara lain bahwa tidak selalu waria menyukai dan
berhasrat pada laki-laki, meski dirinya sendiri berpenampilan, berperilaku, dan
bersifat layaknya seorang perempuan. Bahkan tidak sedikit waria yang menyukai
perempuan. (hlm. 284-285).
Di
samping itu, novel ini tidak hanya sekadar layak baca, namun juga dapat
dijadikan bahan kajian sastra, filsafat, dan sosial, meski di sejumlah tempat
terdapat sekelumit ganjalan. Seumpama keberadaan kelompok atau geng Marjinal
yang tidak punya arti penting, bahkan lumayan terasa seperti tempelan saja
(hlm. 65-69, 89-92). Juga soal keberadaan Melati; adik Sasana yang disinggung
hanya berdasarkan narasi atau paparan Sasana saja, tanpa ada interaksi yang gamblang
berupa dialog atau kontak fisik.
Thomas
Utomo, guru SD
Universitas Muhammadiyah Purwokerto