Menelaah Gerakan Seni Zainal Arifin Thoha
Oleh
Matroni Muserang
Ketika
politik mengalami patologi, maka seni akan kembali dirindui
(Zainal
Arifin Thoha, Eksotisme Seni Budaya Islam,
2002)
Tulisan
ini ingin hendak mengenang penyair, budayawan dan tokoh pesantren yang juga
berproses di Yogyakarta. Mengapa? Proses dan Yogyakarta sebagai ladang dalam
memperjuangkan kesusastraan dan kesenian bukan hal mudah dan serta-merta eksis
dalam dunia kepenulisan. Yogyakarta lagi-lagi bukan tempat yang muda didiami,
karena ada tugas yang sungguh “berat” bagi seorang Gus Zainal, panggilan akrab
Zainal Arifin Thoha.
Sebagai
penyair dan pengasuh Pondok Pesantren Hasyim Asy’arie, ia mandiri dalam
menjalani dunia kepenulisan, maka tidak heran dia mengharamkan kepada
santri-santrinya untuk minta orang tua. Sebenarnya makna kemandirian yang Gus
Zainal pakai dalam segala kepengasuhannya mendidik santrinya menulis adalah mendidik
mental.
Mental
merupakan dasar dunia kepenulisan. Mental inilah yang kemudian akan mendidik
sang penulis untuk setia, dan ternyata setia pada dunia kepenulisan sungguh
sulit. Ada penyair dan seniman yang kadang banyak makan uang kesenian dan
kesusastraan. Mengapa? Kalau konsep mental yang dilahirkan oleh Guz Zainal
menjawab, tentu penyair dan seniman tersebut mentalnya belum terdidik secara
matang. Bisa jadi proses kepenulisannya matang, tapi belum tentu dalam proses
mentalnya. Mental inilah yang pada akhirnya mencapai estetik-filsofi dalam
dunia kesenian dan kepenulisan.
Lalu
apa yang diusung dalam kepenulisan Guz Zainal? Kalau saya membaca dari tulisannya,
baik puisi, cerpen, esai, dan gerakan yang dibangun adalah seni pesantren,
sastra pesantren. Maklum ia dilahirkan dari keluarga pesantren di Kediri sana.
Jadi bisa dilihat ke arah mana pola pikir kepenulisannya. Walaupun Guz Zainal
banyak merambah dan belajar dari tokoh-tokoh Barat, ia jadi sangat terbuka
dalam belajar. Maka inklusivitas inilah yang membuat para santri kagum. Di tengah
ketungganglanggang-an dunia seni dan sastra, ia masih produktif dan tidak lupa
diri untuk kembali ke asalnya dilahirkan, yaitu pesantren. Gus Zainal terus
memperjuangkan seni dan sastra pesantren sampai berumur 34 dan tahun 2007, meninggal.
Sastra
dan seni pesantren seperti apa yang diinginkan oleh Gus Zainal? Setelah saya
membaca buku Eksotisme Seni Budaya Islam,
2002, ia sangat pluralis dalam melihat fenomena sosial-seni-sastra. Seperti
yang ia tulis bahwa pesantren bukan saja membuka diri bagi dialog kreatif
kebudayaan dengan dunia luar, tetapi juga pada wilayah dalam (pesantren)
sendiri perlu ada perubahan-perubahan sistem maupun pola apresiasi pengetahuan,
terutama yang berdimensi estetis-filosofi yang signifikan.
Dengan
ini pesantren tidak terus-menerus dalam posisi dan keadaan yang mengambang
dalam visi dan orientasi peradaban dan kebudayaan, melainkan tegas dalam
inovasi identitas, sehingga watak kosmopolitanisme dan universalisme yang
diwarisi dari zaman keemasan Islam, dapat dikembangkan lagi di zaman ini dan
mendatang secara kontekstual.
Dari
sini bisa terlihat bahwa keterbukaan ini sebenarnya tidak hanya seni dan sastra
pesantren, akan tetapi seni dan sastra yang sifatnya umum juga harus terbuka
dengan ilmu pengetahuan kontemporer, kalau tidak seni dan sastra hanya akan
menjadi ritual an sich belum ada
gerakan yang kritis dan tajam untuk menjawab zaman yang terus bergejolak. Hanya
saja kata beliau kita butuh identitas yang jelas dalam menjawab ketertinggalan
ini semua. Terserah apa identitas kita. Apakah ingin membawa identitas
keindonesiaan? Kebangsaan? Kerakyakatan? Kearifan lokal.
Krisis
identitas yang selama ini sudah dirasakan oleh Putu Wijaya dalam teater,
Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sutarji, Afrizal Malna, dalam puisi. Dalam
tari oleh Sardono W Kusumo. Dalam musik ada Slamet Abdul Syukur (Zainal Arifin
Thoha, 2002).
Sepanjang
ini apakah yang kita rasakan dalam mengarungi kesenian dan kesusastraan di Indonesia
yang masih berada di tengah kegersangan seniman dan sastrawan masih merasa
kehausan. Inilah yang pernah dijeritkan Iwan Simatupang dalam novelnya “Kering”. Manusia bagi Iwan Simatupang
adalah biang sebenarnya dari seluruh disharmoni alam. Maka kita membutuhkan
formula baru untuk mengharmoniskan kekeringan tersebut, yaitu pendekatan sains
dan kebudayaan (agama).
Kita
membutuhkan formula estetika-filosofi yang lahir dari dimensi esoterik-spiritual-transendental
dari rahim seni dan sastra yang akhir-akhir ini mulai mengalami kegersangan,
akibat dari serbuan modernitas. Sementara kita belum tahu mana yang milik kita
sendiri dan mana yang datang dari orang lain. Bukan saya ingin
mengotak-kotakkan ilmu dan budaya, akan tetapi hanya ingin memperjelas
identitas kita sendiri di tengah keramaian manusia yang ter-alienasi oleh
kebudayaan orang lain.
Dari
itulah Guz Zainal memperjelas identitasnya dengan membawa visi dan tujuan sastra
dan seni pesantren yang baginya memiliki makna dan nilai holistik-universal yang
lahir dari Rahim Al-Qur’an dan Hadist. Tapi lagi-lagi kegelisahannya belum ada
pihak yang memperhatikan seni dan sastra, maka di butuhkan orang yang
professional dari bidang seni, pendidik, sastrawan dan intelektual, agar tidak
terjadi statement yang ia katakan: ada namun tak ada, diperlihatkan namun tak
diperhatikan, di lahirkan namun tak diupayakan.
Jadi,
seni dan sastra yang diusung oleh Zainal Arifin Thoha bukanlah seni untuk seni,
akan tetapi seni yang bernuansa religius yang bergerak menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, seni dan sastra
yang tidak serta merta lahir dari manusia, tapi lahir dari wahyu ilahi yang
menuntut manusia masuk ke batin seni dan ke realitas-realitas yang sebenarnya.
Matroni
Muserang,
penyair dan Santri Zainal Arifin Thoha di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari,
sekarang menjadi mahasiswa Pascarsarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Aktif di Komunitas Rudal