Oleh
Sam Edy Yuswanto
Judul
Buku : Soekarno Fatmawati, Sebuah
Kisah Cinta Klasik
Penulis
: Adhe Riyanto
Penerbit
: Kanal Publika
Cetakan
: I, 2012
Tebal
: x + 128 halaman
ISBN
: 978-602-18739-8-4
Meski telah banyak buku yang
mengulas tentang kehidupan Soekarno, sosok patriotis, cendekia, penuh wibawa,
mantan presiden pertama Indonesia, namun sepertinya tak pernah ada kata usai untuk
kembali mengulas sejarah hidupnya yang penuh lika-liku perjuangan serta kisah cinta
perempuan-perempuan cantik yang mengelilinginya. Buku yang ditulis Adhe Riyanto
ini akan mengilas balik perjuangan serta romantisme kisah cinta klasik Soekarno-Fatmawati,
mulai awal pertemuan hingga akhir hayat mereka.
Kisah cinta Soekarno-Fatmawati
menjadi catatan penting dalam sejarah Indonesia. Ini bukan sekadar pertautan
kasih dua manusia, namun menjadi pembuktian atas besarnya peran mereka dalam
perjuangan kemerdekaan. Soekarno bertemu kali pertama dengan Fatmawati di
Bengkulu, saat ia menjalani hukuman pembuangan oleh Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda. Waktu itu ia telah berumah tangga dengan Inggit Ganarsih. Namun, ia
tak bisa menghapus begitu saja rasa cintanya pada Fatmawati. Kehadiran
Fatmawati memang telah mengubah segalanya (hlm. v).
Kisah hidup Soekarno adalah deretan
fakta yang menghiasi tajuk utama sejarah Indonesia. Ia menjadi tokoh besar,
dihormati hingga saat ini, bukan hanya di nusantara, melainkan di seluruh
penjuru dunia. Meski sebagai manusia biasa, ia tak luput dari cela, khilaf dan
noda. Lawan politiknya pernah merasakan kerasnya sikap Soekarno. Di sisi lain,
kehidupan pribadinya menjadi catatan penuh nuansa: kemelaratan, perempuan,
tragika, dan nama harum (hlm. 3).
Soekarno tak pernah menutupi masa
lalunya yang melarat. Semasa kecil, ia tak mengenal tradisi makan dengan sendok
dan garpu. Keluarganya, di awal abad 20 hanya bisa makan 1 kali sehari, bahkan
terkadang tidak sama sekali. Tak heran bila sejak kecil ia sering
sakit-sakitan, hingga namanya diganti menjadi Soekarno (nama aslinya Kusno). Menurut
kepercayaan tradisional, anak yang sering jatuh sakit harus berganti nama. Kendati
hidup miskin, namun ia tumbuh menjadi remaja pemberani, percaya diri, termasuk
dalam soal percintaan. Ketertarikannya pada lawan jenis muncul saat ia berusia
14 tahun. Ia pernah jatuh hati pada Mien Hessel, noni Belanda teman sekolahnya
(hlm. 4-5).
Soekarno sangat memprioritaskan
pendidikan. Ia sadar, pendidikan menjadi faktor penting bagi kehidupan dan masa
depan. Tahun 1915, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di ELS dan
melanjutkan ke HBS Surabaya. Jelang masa akhir pendidikan, ia menikahi Siti
Utari, putri Tjokroaminoto yang belum genap 16 tahun. Soekarno kala itu belum
genap 21 tahun. Ia melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool di Bandung, jurusan
teknik sipil (hlm. 6-7).
Kisah cinta Soekarno kembali bersemi
di Bandung. Ia menyukai Inggit Ganarsih, istri Haji Sanusi. Keduanya menikah
pada 1923 setelah Inggit diceraikan suaminya dan Soekarno menceraikan Utari. Setamat
kuliah, Soekarno kian aktif di dunia pergerakan. Inggit turut berperan di
dalamnya (hlm. 8).
Perjalanan rumah tangga Soekarno dan
Inggit berakhir pada 1942. Inggit tak mau dimadu saat suaminya mengatakan ingin
menikahi Fatmawati yang baru berusia 19 tahun dengan harapan bisa memiliki
keturunan (setelah menikah 18 tahun dengan Inggit tapi tak jua dikaruniai anak).
Pada 1943, Soekarno dan Fatmawati menikah. Fatmawati setia menemani suami dalam
memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Di masa kemerdekaan, ia menjadi ‘First Lady’,
Ibu Negara pertama Indonesia (hlm. 11-16).
Besarnya cinta Fatmawati pada suami
ternyata masih terus diuji. Soekarno kembali terpikat perempuan lain yaitu:
Hartini. Munculnya Hartini memang tak dikehendaki Fatmawati. Ia memilih
bercerai dan keluar dari istana, meski sejatinya masih mencintai suami. Ia rela
menanggalkan status Ibu Negara dan hidup sederhana di sebuah rumah di jalan
Sriwijaya, Kebayoran Baru, sembari merawat kelima anaknya (hlm. 79-80).
Masih ada sederet nama-nama
perempuan cantik yang mengelilingi kehidupan Soekarno, seperti Ratna Sari Dewi,
Kartini Manoppo, dll. Di antara mereka, mungkin hanya Fatmawati-lah yang paling
menonjol leliku kisah cintanya yang mengharu biru. Saat Soekarno mengembuskan
napas terakhir (21 Juni 1970), Fatmawati tetap kukuh pendirian tak mau
menghadiri pemakaman suaminya, meski hatinya bimbang, bahkan putra-putrinya tak
ada yang bisa memengaruhi keputusannya untuk tetap tinggal di rumah. Sebagai
gantinya, Fatmawati mengirim karangan bunga dengan sederet kalimat romantis;
“Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta Fat.” (hlm. 111-112).
Soekarno memang sosok pecinta
sejati. Ia memunyai gambaran tegas mengenai dirinya sendiri yang mudah jatuh
cinta. Ia mencintai negerinya, rakyatnya, perempuan, seni, dan melebihi
segalanya, ia cinta dirinya sendiri.
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas, bermukim di
Kebumen.