Puisi
Kalijaga
I
ia mengakrabi
ricik sungai dan suara arusnya
yang bergerak
dalam diri. meninggalkan tubuh
pada
keberangkatan ke alam abu-abu.
di sana ia
melihat Layla
sibuk menutup
kemaluannya.
tapi perempuan
itu menjelma ular
melilit tubuh
yang sejenak ditinggalkannya.
seperti kematian
sebab diri tak
dapat lagi menyentuh renyah semesta.
tapi matanya
masih menangkap cahaya,
entah kunang
atau sekawanan peri yang tersesat.
ia mendengar
bisik angin, jika api, air, tanah dan udara
menyatu menjelma
bayi. lalu ia memungutnya
sebelum si
pemilik tongkat datang, membangunkannya
dari pembersihan
yang panjang.
II
ia tidak mati,
bukan juga mencoba mati suri
tapi berbaring
di dalam timbunan tanah
seperti seekor
cacing yang menuju jalan pulang
dari yang gelap
dituntun rekah cahaya
dan bayi yang ia
pungut
menangis di
dalam hening batin
tanah kembali
terbuka
dan ia bangkit
bersama kesempurnaan.
Purwokerto,
Maret 2013
Perempuan
ada kehidupan
pada dirimu
gunung putih,
jernih telaga, dan
lorong gelap
jalan menuju ladang
tempat menanam
cinta yang hening.
aku ingin turut
menyemai benih
seperti pekebun
mengubur biji-bijian
hingga tumbuh
menyamai gigir langit
dan sungai
nestapa yang abadi mengalir di tubuhmu
akan diperam
akarnya.
tapi bila kadar
susumu tak
memberi gairah
bagi jiwa yang
kau gendongi
wadah, ketuk dendam datang
dan basah di
telagamu akan diperas tak
berkesudahan.
sampai hanya tersisa ceruk
dengan luka
kering yang diliputi kabut.
sehingga kau tak
dapat bijak
melihat kesempurnaan
dirajam sakit
tak terbatas.
Purwokerto, 2013
Jika
Luka Datang Bagi Perempuan
senja jatuh di
matamu
membangunkan
kepak kelelawar yang
menikmati
keheningan dalam dengkur
di bukit alis.
seperti daun gugur ke sungai, ia dilarung
ganas airmatamu,
dan ikan mengecipak luka
menyambut
kehadirannya.
dengung lebah
menjadi semacam orkestra
menggesek
sengatannya pada dinding jiwamu
sampai datang
waktu menutup panggung dengan tirai kabut.
dan tubuhmu
getar rusa, diburu runcing peluru
yang siap
mengantar ke api pembakaran
hanya cemas
ruhmu dapat melompat
menuju ketiadaan
yang fana
Purwokerto,
2012
Melankolia
Negeri Dongeng
angin mabuk
membawa pedang dari timur matahari
memenggal satu
persatu
hijau daun yang
baru menikmati
bagaimana
menggelantung di kokoh ranting. membunuh merdu
kehidupan yang
di sana segala tetek-bengek bagai cendawan.
sementara
sekawanan katak pohon bermain suara,
jangkrik yang
lebih dulu berkuasa
memartil
deriknya dari sela-sela rumput. dan orong-orong
yang tak pernah
sudi bersekutu, mengangkangi tanah
dan mengintip
segala keluh kesah wilayahnya
dengan nyanyian
yang selalu kehilangan nada.
di taman,
bunga-bunga terasa lebih cepat layu dari usianya
sebab bangsawan
lebah
terlalu sering
menyengat
untuk mencerecap
rasa yang semacam gula-gula.
sementara batu,
menatap bunga-bunga itu
sebagai
keniscayaan yang sundal. lantaran mereka lebih suka
mempermainkan
nasib para pecinta seperti para penjudi
yang tak pernah
mendapatkan kartu ceki. atau serupa
para penyihir
yang sering mengecoh anak-anak sapi
dengan istana
penuh rumput, lalu diam-diam melahapnya
untuk
memanjangkan keabadiannya.
di negeri itu
segala yang hidup merasa berhak memiliki
bahkan untuk
sebekas kaleng sarden. dan mereka percaya kepada
kitab-kitab
purba, bahwa suatu ketika
akan datang
seorang pangeran yang mencairkan gumpalan gelisah
dan memulai
sejarah yang tak pernah mereka kenal. sejarah yang hanya ada
di mimpi-mimpi
mereka yang kekal;
kedamaian.
2013
Air
Sungai
aku berlarian
mengejar bayang kupu-kupu
di baju merahmu.
(tak tertangkap)
lantas aku
merenangi sungai kecil
yang turun dari
kedua gunung kembar
di balik taman
itu
aku mabuk
meneguk airnya
tapi di sana
seorang bocah kecil
meminum dengan
lahap, seperti
musafir yang
menyelesaikan jalan panjangnya
di suatu gurun
pasir.
adakah air
sungai itu
memabukkan bagi
yang telah mengenal cinta?
2013
Kota Tanpa Bukit
ini kota tak pernah memiliki bukit
mungkin dewa langit
di masa lalu telah memberi kutuk
tanpa batas waktu, hingga gunung-gunung
tak pernah memilih hidup di tanah ini.
memang ini kota penuh dendam
orang-orang melihat pohon dan burung-burung
seperti serdadu musuh yang harus dirubung. mereka pun
ditumbangkan, bahkan sampai akar yang belum
lagi pantas disebut pohon.
maka, mereka menanam bukit yang lain
meyediakan binatang dalam bungkusan
menanam sayuran dan buah dalam kemasan
suatu ketika mereka ingin berlibur
sang maharesi mengabulkannya
ia perintahkan hujan turun sebagai pelipur
tapi pohon-pohon dan sungai telah hidup
dalam kedukaan paling kubur.
sehingga mereka pun tenggelam
dalam kenangan yang menjadi genangan.
2013
Di
Angkringan
secangkir kopi
atau sepiring
gorengan
penangkal nyeri.
jangan lupa
hidangkan
semangkuk kata-kata
bisu.
di atas tikar
percakapan
digelar
sepenggal bulan
tersisa di langit
dan kau hanya
meninggalkan sisa kecupan
di secangkir
kopi
yang selalu lupa
kau aduk.
2013
Semesta
yang datang dari
ketiadaan
dan kembali pada
ketiadaan.
2013
Irfan M. Nugroho, lahir di Purwokerto, 16 Agustus 1992.
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bergiat di Diskusi Angkringan Malam Senin dan Komunitas Penyair Institute. Aktif di
Himpunan Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Tulisannya
dipublikasikan pada beberapa media masa seperti Minggu Pagi, Merapi, Suara Merdeka, Tabloid Cempaka, Majalah Mayara, Wawasan
News, Satelit Post, Padang Ekspres, Riau
Post, Metro Riau, Bali Post, Mimbar Umum, Pikiran Rakyat, Indopos, Majalah
Frasa, Banjarmasin Post, Buletin Serayu, dll. Juga terpublikasi
dalam antologi puisi Suara-suara Dari Negeri Lumpur (Teater
Saron, 2008), Tajam Tatap Mata (Soedirman,
2008) dan Pilarisme (An-Najah Press, 2012). Dan sedang menyiapkan antologi
puisi tunggalnya yang bertajuk Kereta
Yang Menjemput Ruh.