Semarang-WAWASANews.com
Popy Dharsono (tengah), dalam Focus Group Discussion IAIN Walisongo Semarang, (20/07) (Arifin) |
Konflik antara Sunni-Syiah
yang terjadi di desa Nangkernang, Sampang Madura, merupakan konflik lama yang
hingga kini belum bisa teratasi. Diskriminasi terhadap kebebasan berkeyakinan
yang dapat terlihat dari sulitnya beberapa pemeluk agama minoritas ketika ingin
mendirikan rumah ibadah, sampai saat ini masih juga menjadi perbincangan hangat
dalam beberapa forum seminar atau diskusi akademik di kampus-kampus.
Dalam forum Focus Group
Discussion (FGD) bertajuk “Dengar
Pendapat Mahasiswa, Ormas dan Akademisi Tentang Empat Pilar Bangsa Indonesia”,
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Poppy Susanti Dharsono
mengatakan, tidak kunjung usainya konflik sosial kemasyarakatan disebabkan oleh
problem kepemimpinan yang tidak menjalankan agama dengan benar. Bahkan,
terkadang mereka menggunakan klaim agama untuk mengesahkan segala keputusan
yang akan diambil.
“Mereka tidak menjalankan
religiusitas sesuai dengan ajaran Islam. Mereka telah mencoreng nama baik Islam,”
ujarnya di Audit I kampus I IAIN Walisongo Semarang, Sabtu (20/07/2013).
Pakar Politik dan Dosen
Ketatanegaraan IAIN Walisongo Semarang Nur Syamsuddin sebagai pembicara kedua
dalam forum itu mengatakan, konflik yang ada di Indonesia terjadi karena tiga
hal: pertama, absensi pemerintah dalam problem-problem yang ada di masyarakat.
“Dalam konflik Syiah Sampan,
misalnya, pemerintah tidak selalu ketinggalan. Padahal kita tahu polisi
sekarang sudah canggih. Tapi faktanya, kecanggihan itu tidak terlihat untuk
kasus Syiah,” terang Syamsuddin.
Kedua, tidak adanya
keadilan pemerintah terhadap rakyat. Hal ini dapat dilihat dari kasus Bahan
Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Ketiga, lemahnya
penegakan hukum. Hukum tidak memihak pada kebenaran, tetapi bersifat
diskriminatif.
“Hukum saat ini hanya
tajam ke bawah, tapi atasnya tumpul,” tambahnya
Empat pilar kebangsaan yang
terdiri atas Pancasila, Undang-undang Dasar (UUD), Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika dianggap memiliki peran penting untuk
mengatasi konflik sosial yang terjadi. Setidaknya ada lima hal yang ditawarkan
oleh Syamsuddin; pertama, Implementasi nilai-nilai pancasila secara dinamis
yang berkaitan dengan religiusitas, humanitas nasionalisme dan sosialisme;
kedua, revitalisasi konstitusialisme; ketiga, NKRI adalah final; keempat,
mengartikan ulang Bhinneka Tunggal Ika, dan kelima, pemilu 2014 harus menjadikan
empat pilar Indonesia sebagai traktat tertinggi, benar-benar memilih pemimpin,
bukan penguasa.
“Pemilu 2014 membutuhkan pemimpin
yang pancasilais religius yang menjamin kebebasan beragama, menjunjung tinggi
dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), nasionalitas sejati, demokrasi masyarakat
serta adil dalam mengambil keputusan,” katanya. (Arifin)