Oleh
Fitria Zulfa
Judul Buku : Karni Ilyas: Lahir untuk Berita
Penulis : Fenty Effendy
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2012
Tebal buku : 416 halaman
ISBN :
978-979-709-67-1-7
Harga : Rp 86.000,-
JIKA
Anda ingin menjadi wartawan, buku ini adalah salah satu buku yang harus Anda
baca. Memang, isi (konten) buku ini tidak mengungkapkan “tips atau panduan”
untuk menjadi wartawan, tetapi di balik kisah hidup Karni Ilyas, seorang
wartawan senior yang sudah malang melintang selama 40 tahun menjadi wartawan di
beberapa media (koran, majalah dan televisi), justru buku ini lebih dari
sekadar tips dan panduan.
Sebab,
dari perjuangan panjang Karni Ilyas menapaki dunia jurnalistik, dan kemudian ia
bekerja dengan keras, penuh dedikasi, dan displin yang tinggi sebagai wartawan,
buku ini lebih jauh mengungkapkan bagaimana seorang wartawan itu harus bekerja.
Satu hal penting yang dicontohkan Karni Ilyas sebagai wartawan, dia tak mau
puas dengan berita yang biasa atau dari sumber yang tidak utama. Bagi Karni
Ilyas, berita itu harus diburu (dari sumber utama). “Kalian jangan kayak
menunggu tahi hanyut,” ucap Karni Ilyas ketika ia menjumpai staff redaksi yang
ia pimpin hanya membuat berita seadanya. (hlm.
xv).
Dengan
memegang prinsip “berita harus diburu”, maka Karni Ilyas tidak mengenal ada
alasan seperti jauh, hujan atau narasumbernya sulit didapatkan atau tidak bisa
dihubungi. Bagi Karni, berita bukanlah yang ditulis berdasarkan sumber kelas
dua atau dari keterangan humas setelah siaran pers. Sebab, bagi Karni yang
sekarang ini menjabat menjabat Direktur/Pemimpin Redaksi tvOne, siapa saja yang
terkait dengan sebuah berita, wajib hukumnya untuk dikejar dan didapatkan
informasinya.
Dengan
pengalaman yang berlimpah, karena Karni sudah menjadi wartawan selama 40 tahun,
wajar jika kisah hidupnya bisa dijadikan referensi bagi siapa pun yang ingin
atau bercita-cita menjadi wartawan. Selain mengungkap tentang kerja keras dan
dedikasi Karni Ilyas dalam menjalankan tugas sebagai wartawan, buku ini juga
memberikan satu statemen nyata tentang kedahsyatan sebuah mimpi yang
diperjuangan dengan kerja keras dan tanpa putus asa.
Sejak
masih kecil, Karni dikisahkan oleh Fenty Effendy –penulis buku ini—sebenarnya
bukanlah siapa-siapa. Ia lahir dari keluarga biasa. Tetapi, hal itu tidak
menghalangi Karni Ilyas untuk tetap bermimpi, dan sejak kecil ia sudah bermimpi
ingin jadi wartawan. Satu hari, pada
masa liburan sekolah, Karni Ilyas kedatangan sepupunya dari Jakarta. Mereka berkeliling pasar dan menyusuri tepi laut
Padang naik bendi. Karni bercerita keinginannya menjadi wartawan. “Kenapa wartawan?”
tanya sepupunya itu. Dengan
mantap, Karni menjawab spontan, “Karena saya ingin terkenal!” (hlm. 31).
Kini,
mimpi Karni itu menjadi kenyataan. Setelah dia lulus dari bangku SMEA 1 Padang,
ia hijrah ke Jakarta. Awalnya, ia hanya
kuliah di perguruan Tinggi Publisistik (STP). Tapi, demi tuntutan hidup, dan
perasaan tak enak karena menumpang di rumah saudara, akhirnya sambil kuliah, ia
melamar untuk menjadi wartawan di Suara Karya. Apalagi, waktu itu dia sudah bisa
menulis –bahkan jauh sebelum diterima
sebagai mahasiswa publisistik. Dari situ, ia menapaki karier sebagai reporter;
di Suara Karya (1972-1978), lalu di majalah Tempo, hingga menjabat redaktur
pelaksana Kompartemen Hukum dan Kriminal (1978-1994), lantas pemimpin redaksi
majalah FORUM Keadilan (1992-1999), Direktur Pemberitaan dan Hubungan Korporat
SCTV (1999-2005), Direktur Pemberitaan, Olahraga, dan Komunikasi Korporat antv
(2005-2008) hingga Direktur/Pemimpin Redaksi tvOne sejak 2008.
Itulah
perjalanan panjang yang diukir oleh Karni Ilyas. Dari perjalanan panjang selama
40 tahun menjadi wartawan itulah, penulis merasa jika kehidupan Karni Ilyas
layak dijadikan teladan di gelanggang jurnalistik. Pertama, terkait dengan
dedikasi dan prinsip dalam bekerja yang dicontohkan Karni di dunia jurnalistik.
Kedua, dalam
buku ini penulis seakan menegaskan bahwa Karni mengajari siapa pun untuk tidak
takut bermimpi, apalagi mimpi untuk menjadi wartawan. Sebab, sejak kecil Karni
sudah hidup menderita. Demi cita-cita bisa sekolah dan keinginan jadi wartawan,
Karni pernah jualan apa saja; mulai jualan koran, rokok, permen, kaos kaki,
minyak rambut bahkan hingga kode buntut yang bisa disebut "BT".
Bahkan, dia pernah mencari uang dengan mengumpulkan debu emas dari trotoar di
depan toko emas di pasar Goan Hoat Padang, Sumatera Barat (hlm. 18-19). Jadi, buku ini harus
dibaca bagi siapa pun yang benar-benar ingin menjadi wartawan.
Fitria
Zulfa, alumnus Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta