Oleh Waliyadin
Kurikulum 2013 akan segera
diterapkan sekitar pertengahan Juli mendatang. Terlepas dari pro-kontra
berbagai pihak, berita penting muncul bahwa akan ada penambahan jam mata
pelajaran Pendidikan Agama terutama pendidikan agama Islam di tingkat Sekolah Dasar,
dari yang dulunya 2 jam/minggu menjadi 4 jam/minggu. Dan di tingkat SMP serta
SMA, ada penambahan dari 2 jam/minggu berubah 3 jam/minggu (SM 2/4/2013).
Kebijakan ini penting mengingat aksi perkelahian
antar kelompok siswa, seks bebas, dan narkoba sudah sangat memprihatinkan. Hal
ini disinyalir karena kurangnya pendidikan agama.
Namun yang menjadi
pertanyaan, apakah dengan adanya penambahan jam pelajaran agama akan berdampak signifikan
terhadap perubahan sikap dan perilaku siswa? Pendidikan agama yang selama ini
diajarkan ternyata baru menyentuh keterampilan menghafal. Guru tidak
mengarahkan siswanya untuk meresapi konsep agama atau menanyakan fenomena
keagamaan kemudian mengarahkan siswa untuk menyimpulkan sebuah konsep agama.
Pemahaman siswa akan konsep
agama sangat penting karena dengan paham (bukan sekedar hafal), siswa dapat
menyimpan konsep agama di dalam memorinya secara permanen. Dengan paham pula,
siswa akan mampu menganalisa dan mensintesis serta mengevaluasi fenomena keagamaan
di lingkungan sekitarnya.
Berbeda ketika siswa hanya
hafal konsep, mereka tidak akan bisa menggunakan informasi yang diperoleh
menjadi bermakna. Mungkin kita masih ingat dengan film Bollywood, 3 idiots
yang menggambarkan perbedaan cara belajar tokoh protagonis, Rancho yang
menggunakan metode belajar dengan menekankan pemahaman dan sang tokoh
antaogonis yang menggunakan metode hafalan dan bisa kita lihat hasilnya sang
tokoh protagonis lebih berhasil. Meski kisah itu fiksi tapi bisa dibuktikan
kebenarannya secara empiris.
Banyak siswa hafal akan
konsep kejujuran tapi dalam praktiknya masih banyak siswa yang menipu orang
tuanya. Misalnya, ketika diberi uang oleh orang tua untuk membayar SPP malah
dipakai untuk main game online. Contoh lain, ketika siswa sudah didengung-dengungkan
bahwa kebersihan sebagain dari iman tapi masih banyak siswa yang membuang
sampah sembarangan.
Apakah hal itu yang menjadi
tujuan pemberian materi pendidikan agama?. Tentu tidak. Maka ini menjadi
penting ketika ada penambahan jam pelajaran pendidikan agama, ranah pemahaman
yang bermakna harus benar-benar ditekankan. Selain itu, ada dua ranah penting
lainnya yaitu ranah afektif dan psikomotorik.
Seperti yang diterangkan oleh
Benjamin S Bloom dalam teorinya yang terkenal dengan Bloom’s Taxonomy of
Education Objectives ada tiga ranah tujuan pendidikan yaitu cognitive, affective
dan psychomotor (www.bloomstaxonomyoflearningdomains.htm.5/2/2013).
Jelasnya, tujuan pendidikan dikatakan berhasil jika sudah merambah tiga ranah;
pengetahuan yang bermakna, sikap dan skills. Tiga ranah tujuan
pendidikan ini merupakan entitas yang saling mendukung dan berkesinambungan.
Konsep pengetahuan yang masuk
dalam ranah cognitive akan berkontribusi terhadap ranah affective. Konsep
pengetahuan akan menjadi stimulus untuk membangkitkan motivasi siswa untuk
menginternalisasi pengatahuan yang didapat menjelma menjadi sikap dan perilaku.
Misalnya konsep agama yang telah diperoleh oleh siswa akan mempengaruhi sikap dan
perilaku siswa.
Sikap dan perilaku inilah
yang nantinya akan menjadi sebuah tabiat atau kebiasaan yang secara tidak sadar
akan tertanam dalam diri seseorang. Lama kelamaan sikap tersebut akan menjadi
ahlak. Ketika sikap dan perilaku siswa sudah ter-internalisasi konsep
keagamaan yang tentunya mengarahkan pada kebaikan maka sikap dan perilaku siswa
pun akan menjadi baik.
Selanjutnya sikap dan
perilaku siswa yang sudah baik akan mengantarkan siswa pada ranah psikomotor.
Dalam ranah ini yang ditekankan adalah skill atau kemampuan siswa untuk
menerapkan, menjalankan konsep agama dalam bentuk perilaku dalam kehidupan
sehari-hari secara otomatis.
Untuk bisa mencapai tiga ranah
tujuan pendidikan membutuhkan waktu yang lama. Karena untuk bisa mengetahui
apakah siswa sudah mencapai tiga ranah tujuan pendidikan perlu mengamati tidak
hanya di dalam kelas tapi juga di luar kelas. Untuk bisa melakukan itu, guru
perlu banyak waktu untuk merekam perkembangan hasil belajar siswa yang mencakup
tiga ranah tujuan pendidikan.
Sebenarnya dalam kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) sudah ada penerapan tiga ranah tujuan pendidikan; kita
bisa melihat di dalam laporan hasil belajar siswa. Namun, tak tau kenapa
hasilnya belum sesuai harapan. Hipotesis dari penulis, mungkin karena
keterbatasan waktu bagi guru untuk bisa menerapkan pembelajaran yang mencakup
tiga ranah tujuan pendidikan. Dengan adanya penambahan jam pelajaran pendidikan
agama di kurikulum 2013, harapannya guru bisa lebih maksimal dalam mengajar dan
ketiga ranah tujuan pendidikan bisa dicapai sehingga perilaku negative siswa
bisa diperbaiki.
Waliyadin, mahasiswa IAIN Walisongo
Semarang Fakultas Tarbiyah, Peneliti bidang pendidikan