Oleh Umi Alam Sari
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia
merupakan negara hukum. Hal ini sesuai pernyataan yang terdapat di dalam pasal
1 ayat 3. Sejatinya, negara hukum yang dimaksud adalah negara yang mencakup
segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan hukum dan asas-asas dalam
mencapai pemerintahan yang baik. Dengan bertujuan meningkatkan kehidupan yang
demokratis, sejahtera, berkeadilan dan bertanggung jawab.
Namun, kondisi hukum di
Indonesia nampaknya semakin rapuh. Sebagai saksi bisunya, dewasa ini telah
bermunculan berbagai kritikan yang berkaitan dengan penegakan hukum, kesadaran
hukum, kualitas hukum serta ketidakjelasan berbagai hukum, yang berhubungan
dengan berlangsungnya proses hukum dan lemahnya peng-implementasian atau
penerapan dalam berbagai peraturan. Hal inilah yang pada dasarnya menjadi
bumerang bagi negara tercinta ini.
Sesungguhnya, masyarakat
juga telah menyadari bahwa hukum di Indonesia mengalami disfungsi. Seperti
halnya praktek manipulasi yang lambat laun kian menjadi-jadi. Contoh konkritnya
adalah adanya sistem praktek “jual-beli”.
Hukum dapat
diperjual–belikan dengan materi. Apabila aparat penegak hukum tidak mampu untuk
mengatasi masalah tersebut, maka tidak ada harapan untuk melakukan penegakan
hukum secara universal dan adil.
Padahal penegakan hukum
merupakan langkah suci, yang eksistensinya sangat urgen dalam segala lini kehidupan.
Tak pandang Suku, Agama, Ras, dan Adat (SARA) pasti bersentuhan dengan hal
tersebut. Untuk itu, praktek manipulasi harus benar-benar ditindaklanjuti hukum
Indonesia.
Manipulasi berasal dari
Bahasa Inggris, yakni “manipulate” yang
merupakan penggelapan atau penyelewengan. Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia,
manipulasi adalah suatu proses rekayasa dengan cara melakukan penambahan,
penyembunyian, penghilangan atau pengaburan terhadap sebagian atas keseluruhan
diri dari sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta atau sejarah yang di lakukan
oleh sistem perancangan sebuah nilai (value).
Yang terpenting adalah
adanya tindakan penanaman gagasan (ide),
sikap (attitude), sistem pemikiran (mindset), perilaku dan tingkah laku (behavior) dan kepercayaan (religi).
Problematika
Yang Menjamur
Menyoal tentang praktik penyimpangan sistem “jual beli” secara tak
disengaja telah tercanangkan di negara ini. Misalnya saja, peradilan
diskriminatif dan rekayasa proses peradilan yang mudah ditemui dalam penegakan
hukum Indonesia. Hal ini terjadi terhadap salah satu anggota DPR dari fraksi Demokrat,
yakni Angelina Sondakh, yang telah terjerat tindak pidana korupsi terkait
masalah Hambalang.
Di saat pelaksanaan sidang,
hakim telah memutuskan vonis selama 4 tahun 6 bulan penjara, ditambah membayar
denda sebesar 250 juta. Berbeda sekali dengan kasus yang terjadi, mencuri satu buah semangka oleh Basar Suyanto dan
Khalil, asli warga Kediri divonis selama 15 hari pada Desember 2009. Apakah hukuman ini pantas
diberikan oleh sang kuruptor yang telah memakan uang negara, dibandingkan
dengan mencuri satu buah semangka?
Hukuman tersebut tidak
sebanding dengan yang diperbuatnya. Sebab, perbandingan antara obyek yang
diambil dengan hasil keputusan sangat jauh berbeda. Apakah kebijakan seperti
ini akan terus diterapkan dan dipertahankan, ataukah justru akan membudaya?
Fenomena ini memang
terkesan rancu bahkan sangat lucu. Pencuri berbenturan dengan hukum yang
berlaku. Sedangkan seorang pejabat
negara yang telah melakukan tindak korupsi, merampok uang milyaran rupiah, berkeliaran
bebas di negeri ini.
Problematika tersebut,
hampir sama dengan teori “jaring laba-laba” oleh filsuf Plato yang
menyatakan bahwa hukum merupakan jaring laba-laba yang mampu menjerat yang
lemah (kaum borjuis), tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (kaum
proleta).
Oleh sebab itu, dapat
diibaratkan bahwa hukum yang terjadi di Indonesia bagaikan “panggung sandiwara” karena masyarakat
telah tertipu atas tokoh-tokoh negara yang telah memanipulasi dan mempermainkan
hukum.
Faktor
Penghambat
Yang
menjadi faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia adalah lemahnya tindakan politik yang hanya
beretorika saat kampanye tanpa adanya realisasi yang nyata. Pemimpin hanya sekedar
obral janji saat proses pemilihan tanpa adanya realisasi yang nyata. Adanya
perbandingan peraturan perundang-undangan, yang lebih condong
terhadap kepentingan politik penguasa daripada kepentingan rakyat.
Dalam hal ini, hukum lebih berpihak kepada
kalangan atas, sebab dengan adanya kekuasaan dan jabatan yang dimiliki, mampu
meminimalisir adanya hukum, misalnya saja dengan menyewa pengacara yang handal.
Minimnya sarana, prasarana serta fasilitas yang kurang mendukung dalam proses kelancaran penegakan hukum.
Umi Alam Sari,
mahasiswi
IAIN Walisongo Semarang, Peserta Lembaga
Study Agama dan Nasionalisme (LeSAN) di Monash
Institute