Oleh Moh
Ariyanto
Monyet Pun Tahu Malu |
Korupsi sudah mengganggu
semua negara . Upaya pemberantsan tindak pidana
korupsi sudah menjadi komitmen dari seluruh Negara dan Bangsa-Bangsa di dunia.
Hal tersebut secara nyata terbukti dalam Konvensi PBB tentang Anti Korupsi
pada tahun 2003 (UN Convention Against Corruption-2003). Di Indonesia gerakan perlawanan
terhadap korupsi sudah dilakukan sejak era reformasi. Namun hingga kini bentuk
perlawanan ini belum terasa optimal. Faktanya pemberantasan korupsi masih belum
mampu menjangkau pejabat strategis negara. Masih banyaknya penyalahgunaan
wewenang dan penyuapan merupakan definisi sosial
bahwa operasional korupsi
masih berlaku di Indonesia.
Mundurnya Andi
Mallarangeng dari jabatannya sebagai Menpora karena ditetapkan menjadi
tersangka oleh KPK adalah fakta terkini tentang maraknya korupsi di Indonesia. Korupsi
subur bukan karena kedudukan yang strategis tetapi ada dorongan dari bawah,
yakni budaya masyarakat yang relatif
permisif. Artinya membiarkan bahkan memfasilitasi terjadinya korupsi di
Indonesia yang layak disebut lingkungan setan.
Penyalahgunaan wewenang
seorang pejabat adalah korupsi. Seringnya
pejabat Negara melakukan pemotongan anggaran, kemudian dibiarkan oleh
masyarakat karena anggaran tersebut merupakan kebutuhan pokok mereka sebab bila tidak dipotong mereka tidak memperolehnya,
akhirnya membentuk lingkungan setan di negara ini. Korupsi, kebutuhan dan permisif
merupakan serangkaian tindakan yang saling berkesinambungan membentuk
lingkungan setan (korupsi). Bila hal ini sudah membudaya dan terus menerus perilaku
semua kalangan permisif, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia jauh
panggang dari api untuk ditindak pelakunya.
Jadi, upaya pemerintah
tercantum dalam Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi
dan RAN (Rencana Aksi
Nasional) serta RAD (Rencana Aksi Daerah) Pemberantasan Korupsi yang dimulai
sejak tahun 2004 tidak optimal. Hal ini disebabkan karena tidak semua komponen
bangsa terlibat dalam aksi pemberantasan korupsi.
Mundurnya Andi
Mallarangeng dari jabatannya sebagai Menteri Olahraga dan Pemuda dinilai oleh masyarakat
umum sebagai suri tauladan dari seorang pemimpin. Menurut penulis tindakan ini termasuk kategori permisifme. Sebab teladan
yang dibutuhkan bukan dalam bentuk kejujuran (memundurkan diri) berkorupsi saat
hendak terungkap yang justru membodohi rakyat.
Pemimpin yang baik
adalah pemimpin jujur tanpa penyelewengan, amanah, tabligh dan fathonah. Komitmen
Andi Mallarangeng akan membeberkan korupsi gedung pendidikan dan pelatihan Olahraga
Hambalang, Jawa Barat kepada publik (balipost.com) adalah tindakan baik namun
telambat. Andi dan Choel Mallarangeng, adiknya, adalah pahlawan kesianga, Baru
akan bersikap tabligh dan jujur dikala
sudah ditetapkan tersangka tindak pidana korupsi. Walaupun alasan pembeberan
ini untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik, tetap saja korupsi adalah
dosa sosial tak terampuni oleh pengakuan dan penyesalan.
Infrastruktur hukum
untuk membasmi KKN sudah cukup memadai. Tap MPR No 11/1998 tentang Pemerintahan
Yang Bersih dan Bebas KKN sudah dijadikan induk bagi terwujudnya rumpun UU Anti
Korupsi, seperti UU tentang KPKPN, kemudian diperbarui jadi UU Tipikor yang
melahirkan KPK. Selain itu juga telah disahkan UU tentang pencucian uang yang
kemudian melahirkan PPATK. Juga ada UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban
yang melahirkan LPSK serta UU Keterbukaan Informasi Publik yang melahirkan
Komisi Informasi.
Namun pemberantasan
tindak pidana korupsi bila hanya dalam peraturan saja tidak cukup. Butuh partisipasi aktif pemberantasan korupsi dari
seluruh komponen bangsa; khususnya anggota masyarakat dan kalangan pengusaha
yang merupakan para pengguna
dari jasa pemerintah. Aturan
hukum dan aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk
membela diri. Pengasingan koruptor dalam masyarakat perlu diberlakukan sebagai
sanksi sosial akibat dari keserakahan harta. Sebagaimana Nabi pernah mengusir
tiga orang yang berpaling, mereka itu adalah Ka’ab bin Malik, Maroroh bin Rabi’
dan Hilal bin Umaiyyah. Mereka berpaling dari Rasulullah pada perang Tabuk.
Maka Nabi memerintahkan untuk mengasingkan mereka sampai taubat mereka diterima
oleh Allah.
Ahmad Fathi Bahansi
dalam kitabnya al-Mas’uliyah
al-Jinaiyyah al-Islamy menerangkan,
apabila seorang pejabat melakukan penyelewengan maka ia diasingkan karena praktik
korupsi mengikis moralitas bangsa. Sanksi legal
formal perlu digalakan bahkan
sanksi pemiskinan,
baik struktural maupun
material harus diberlakukan, sebab korupsi
merupakan perilaku cacat moral yang tak mungkin terhapus dari memori sejarah
negeri ini. Yang menurut Imam Nawawi
dalam bukunya Riyadhussholihin dinyatakan bahwa merampas hak orang
lain tidak gugur dengan taubat sebelum pelakunya mengembalikan hak tersebut
atau meminta kehalalannya.
Lemahnya sanksi sosial kepada
pelaku korupsi manjadi kendala perbaikan bangsa. Permisifme atau sikap acuh
kepada tindakan korupsi bahkan terlibat menyuburkan korupsi adalah
pengkhianatan kepada bangsanya. Masyarakat sewajarnya terus dibuat mengingat koruptor
sebagai sanksi
sosial terhadap pelaku
korupsi sebagaimana telah dilakukan Rasulullah SAW.
Moh Ariyanto, mahasiswa
fakultas Syari’ah dan Hukum, Program Study Ilmu Hukum, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.