Memoar Biografi
Oleh
Mahrus Sholeh
WAWASANews.com
KH. Moh Hefni Mahfuz |
Perjalanan
panjang selama nyantri di salah satu pondok pesantren sangat berarti bagi saya
karena banyak dibimbing oleh ulama’ yang kompeten di bidangnya. Namun, ada satu
dari beberapa ulama’ pesantren yang sangat berarti. Saya sangat mengidolakan
beliau. Sangat pantas saya jadikan pahlawan dalam safari jiwa intelektual,
yaitu al-mukarrom KH. MOH HEFNI MAHFUDZ. Beliau adalah Guru Spiritual Thoriqoh
Hafalan Al-Qur’an saya di Asrama Tahfidz Wil. Zaid Bin Tsabit (K) PP. Nurul
Jadid Paiton Probolinggo, Jawa Timur.
Mengapa
saya mengidolakannya? Saya tidak bisa memungkiri perasaan dan kejujuran hati ketika
mendengar nama guru itu. Satu yang patut saya katakana, yakni keiistiqomahan
beliau dalam segala hal, seperti shalat berjama’ah, mengaji, mendidik santrinya,
lebih-lebih dalam menghafal Al-Qur’an.
Hal
ini dibuktikan oleh teladan beliau yang istiqomah melaksanakan kewajibannya
tanpa ada lelah kecuali ada halangan yang sangat mendesak. Seakan-akan jiwa dan
raganya dihibahkan untuk mendidik santri.
Ketertarikan
serta kekaguman saya kepada beliau muncul ketika saya baru menginjakkan kaki di
pesantren sekitar tahun 2003. Katika itu saya berniat menghafal Al-Qur’an dan
mencari guru spiritual thoriqoh-nya sekaligus. Dan akhirnya pilihanku jatuh
kepada beliau dan ini juga merupakan saran dari pengasuh pesantren yang juga
merupakan paman menantu beliau.
Kekaguman
dan kecintaan saya kepada beliau semakin bertambah ketika menyaksikan langsung
keistiqomahan dalam mengaji dan mentakror (mengulang-ulang) hafalannya tanpa lelah.
Ada
kejadian yang begitu membekas hingga saat ini, yaitu ketika pada pertengahan
malam saya bangun dari tidur untuk shalat tahajjud, tak terasa saya melihat
sosok beliau tengah mengaji Al-Qur’an di depan dalem (kediaman) beliau. Saya cuek.
Pada malam keduanya, lagi-lagi saya menyaksikan kejadian yang sama seperti
halnya pada malam sebelumnya. Kejadian ini terjadi kurang lebih sekitar
seminggu, kemudian beliau pindah ngaji ke musholla.
Dalam
diriku yang penuh dengan dosa berbicara “Ya Allah, Beliau sangat istiqomah
dalam hal apapun, kapan saya bisa meniru“. Hal itulah yang membuat saya merasa kian
mantap belajar Al-Qur’an kepada beliau.
Kejadian
terebut bukan hanya sekali saja, keistiqomahan beliau juga tampak ketika
menerima setoran hafalan santrinya. Tanpa kenal lelah dan letih beliau tetap
setia menemani santrinya dalam menjalankan proses hafalan. Walaupun malam
harinya ada kegiatan sampai larut malam beliau tetap setia dengan santrinya menerima
setoran hafalan pagi setelah subuh. Tak ayal beliau sangat dicintai dan
disegani seklaligus dihormati santri serta masyarakat sekitar. Seakan-akan
menjadi pelita hidup yang menyinari sekitarnya.
Seterdesak
apapun kondisinya, beliau sempatkan mengajar. Pernah pada suatu hari beliau
kedatangan tamu yang kebetulan bersamaan dengan pengajian kitab. Dengan nada
sopan dan penuh ketawadhu’an, beliau meminta izin kepada tamunya untuk mengajar
terlebih dahulu. Tamu merasa terharu.
Kejadian
yang menambah kekaguman saya tidak hanya sampai di sini. Ketika saya sudah
meninggalkan pesantren, beliau juga tetap mewanti-wanti alumninya agar terus
berdakwah. Hal ini semakin membuatku merasa tersadar, bangun dari tidur
panjang.
Ternyata
semua santri masih dipedulikan oleh beliau. Hal ini juga dibuktikan ketika saya
sowan ke beliau sesudah jadi alumni. Beliau menyambutku begitu antusias
seakan-akan saya ini menjadi tamu penting beliau. Saya pun menitikkan air mata
dan berucap “Seandainya Beliau menjadi dua dan bisa bersama saya lagi, alangkah
nyamannya hatiku ini“. beliau memperlsayakan alumninya dengan penuh hormat dan
penuh kasih sayang.
Dari
itulah semangat juangku semakin membara dan kecintaanku serta kekagumanku
semakin melekat. Saya tidak salah menyematkan gelar “Pahlawan“ kepada beliau
karena saya anggap sebagai ayah sendiri, guru spiritual thoriqoh yang telah
membimbing proses hafalan. Saya tidak akan pernah melupakan jasa beliau.
Saya
akan terus merealisasikan permintaan beliau yakni untuk selalu mensyiarkan Al-Qur’an
di manapun berada. Saya hanya bisa mendoakan beliau agar beliau selalu diberi
kesehatan dan keselamatan serta kebaikan di dunia akhirat.
Mahrus Sholeh, penulis adalah
santri Tahfidz Wil.Zaid Bin Tsabit (K) PP. Nurul Jadid Paiton
Probolinggo 2003-2011. Sedang menempuh kuliah di Jurusan Tafsir Hadist Fakultas
Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel
Surabaya.