Esai
Oleh
Indra KS
Setelah mengalami tidur panjang. Pada tahun 2011 buncis
kembali diberikan ruh oleh para sesepuh desa seperti Santarji, Raji Samin,
Sarwono, dan lain-lain. Melalui kesadaran bersama akan pentingnya seni buncis
sebagai identitas kecamatan Somagede-Banyumas yang harus tetap lestari,
mereka mendirikan
rombongan buncis baru dengan nama "Ngudi Utama"
Melalui rombongan tersebut, mereka melatih generasi muda bermain
buncis. Didukung generasi muda, rombongan buncis juga mendapat apresiasi dari
pemerintah, khususnya kecamatan Somagede. Setiap ada acara, kesenian buncis
pasti ditampilkan. Misalnya pada hari jadi Kabupaten Banyumas yang ke 431
kemarin. Selain itu, masyarakat juga mulai sadar mengundang kesenian tersebut
untuk melakukan pementasan saat acara hajatan.
Bangkitnya kesenian buncis diharapkan menjadi babak baru
kesenian buncis Banyumas. Dengan demikian, telah mematahkan anggapan khalayak
bahwa buncis tidak akan pernah bisa hidup kembali karena sudah bukan zamannya
lagi. Buncis yaitu perpaduan antara seni tari, seni musik, dan seni vokal. Jadi
pemain dalam kesenian ini sebagai penari, penabuh, dan penyanyi.
Pemain buncis berjumlah tujuh orang, enam orang memegang
alat musik angklung yang bernada 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma), 6 (nem), 1 (ji
tinggi), 2 (ro tinggi) dan yang satu orang memegang alat musik berupa gong
bumbung atau gong pring. Sedangkan untuk kostum mengenakan mahkota berhias bulu
ayam dan potongan kain pada celana yang menyerupai rumbai-rumbai.
Untuk lagu yang dinyanyikan biasanya berupa
gending-gending Banyumasan seperti Blendrong Kulon, Cidhung Cina,
Eling-eling, Gudril, Kulu-kulu, Pacul Gowang, Renggong Manis, Ricik-ricik,
Sekar Gadhung, dan lain-lain. Buncis merupakan singkatan dari BUN-tuning lelakon, hanya
bisa mendapat pertolongan melalui senjata CIS atau keris kecil. Sehingga
disingkat "Buncis".
Pada pertengahan sampai akhir pementasan, para pemain buncis biasanya mendhem atau kesurupan seperti halnya
kebanyakan kesenian lain di Banyumas. Pada saat mendhem keadaannya
diatur oleh seorang pawang atau penimbul.
Sejarah
Menurut sejarah yang diceritakan ulang oleh Soemadi
(1951), dahulu sebelum Sultan Agung Ngayogyakarta, ada Hadipati bernama
Sundarapati. Ia adalah putra menantu Ki Ageng Ampeldenta dari Surabaya. Sundarapati sudah
memegang jabatan selama lima belas tahun, tetapi ia tidak tahu sejarah
Ngayogyakarta.
Pada suatu hari Sundarapati mengadakan sarasehan yang
dihadiri oleh Patih Sundara dan Ki Ageng Ampel. Pada kesempatan tersebut Sundarapati bertanya sejarah Ngayogyakarta pada
keduanya. Keduanya menjelaskan secara bergantian. Tetapi penjelasan keduanya
terdapat perbedaan. Lama-kelamaan perbedaan tersebut berubah
perang mulut yang
menjadikan Sundara naik darah lalu menusuk Ki Ageng Ampel hingga mati. Setelah
kematiannya, ada Raden Rohmat (Sunan Ampel).
Sunan pun tidak terima. Ia berjanji tidak akan puas
apabila belum membunuh Sundara seanak cucunya. Ki Sunan Ampel kalah. Lalu ia
lari dan berlindung di bawah pohon beringin perempatan jalan. Tak berapa lama, Ki Sunan Ampel didekati anak angkatnya yaitu Raden Patah
Haji. Ia pun diperintahkan untuk membunuh Sundara.
Patah Haji melawan Sundara, namun kalah dan ia melarikan diri ke negeri Dayak. Sundar pun
kehilangan jejak. Untuk mencari Patah Haji, ia mendatangi kesepuhan di
Pedukuhan Lemah Tenggar bernama Ki Ageng Kriyayuda yang berasal dari Majapahit.
Menurut petunjuk dari Kriyayuda, Patah Haji berada di negeri seberang (Dayak).
Selanjutnya Ki Ageng Kriyayuda ikut membantu dengan
meminta bantuan ke Majapahit mencari Patah Haji di negeri Dayak. Di sana mereka
akhirnya menemukan Patah Haji. Patah Haji melarikan diri ke tempat
perlindungannya Ki Sunan Ampel di bawah pohon beringin.
Setelah sampai ke tempat itu, Patah Haji diberi senjata berupa "Cis"
oleh Ki Sunan Ampel. Buntu dalam pemikiran dan pelarian, ia hanya memegang
senjata berupa "Cis", Patah Haji pun melawan dan dapat
menjatuhkan Ki Ageng Kriyayuda dengan senjata "Cis"nya.
Mengetahui Ki Ageng Kriyayuda mati, Sundara bersama prajuritnya lari tanpa
disebutkan kelanjutannya. Dari sejarah tersebut maka lahirlah kesenian
"Buncis".
Pasang-surut
Dalam perjalanannya buncis pernah mengalami kejayaan
sekitar tahun 90-an, di mana rombongan buncis saat itu sering melakukan
pementasan sampai ke kota Semarang. Pementasan biasanya berupa undangan dari
orang yang sedang hajatan atau saat memperingati hari besar seperti HUT RI atau
hari jadi Kabupaten Banyumas.
Pada masa itu buncis yang dapat dikatakan eksis adalah
rombongan "Nista Utama" yang sekarang berganti nama menjadi
"Ngudi Utama". Masa-masa keemasan itu tidak berlangsung lama. Itu
dapat dibuktikan dengan bubarnya rombongan buncis tersebut karena tidak ada
lagi yang mau memberikan apresiasi. Dengan sepinya manggung, lama kelamaan
buncis dilupakan baik oleh pemerintah setempat ataupun masyarakat.
Selain karena faktor di atas, tidak adanya regenerasi
juga menjadikan matinya seni buncis. Sementara para pemain senior satu persatu
juga wafat termakan usia. Hanya ada beberapa saja yang masih hidup. Pada waktu
itu, dari empat rombongan buncis (dari Desa Tanggeran dua kelompok, dari Desa
Sokawera satu kelompok, dan dari Desa Klinting satu kelompok) yang tersisa
hanya satu rombongan, yaitu dari Desa Tanggeran, itu pun tidak pernah manggung
karena masyarakat lebih suka memanggil rombongan organ tunggal atau dangdut
ketimbang seni buncis.
Mengingat pentingnya seni buncis sebagai kearifan lokal
Banyumas, kesenian ini butuh dukungan dari berbagai pihak supaya kejadian
serupa tidak terulang kembali.
--------------------------------------------------
Indra KS, lahir di desa Tanggeran pada 5
Oktober 1989. Tulisannya baru terpublikasikan di Banjarmasin Post, Buletin Imla, Lampung Post, Riau Pos, Satelit Post, Suara Merdeka, Majalah Ancas, Majalah
Sagang, Majalah Frasa, Metro
Riau, Minggu Pagi, dan Padang Ekspres. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Muhammadiyah
Purwokerto (UMP). Bergiat di Komunitas Penyair Institute.