Cerpen
Oleh Thomas
Utomo
Antara Poligami dan Dolligami |
Ronce-ronce melati benange lawe, pupus
klapa sing ngelingke. Nganti tuwa aku isih tresna kowe, nadyan ana goda sepira
akehe.
Bibir
Surayya berkecumik. Kepalanya menengok. “Bagus sekali! Betul ini Abah yang buat?”
“Iya.
Kamu mengenali tulisan tegak bersambung itu, ‘kan?” sahut Ummi.
Surayya
mengangguk. Diambilnya secarik kertas kecil yang warnanya sudah menguning.
Perlahan dibacanya, “Aku mencintaimu seperti air terjun yang menyerbu-nyerbu.
Deras. Tak ‘kan padam, meski ditiup angin zaman.”
Gadis
itu menggembungkan sebelah pipi. “Mi,
apa dulu di kampus Abah termasuk
pribadi populer?” tanyanya sambil
memilihi kertas-kertas yang ditumpuk di meja. Kertas yang sudah dibaca, dia
masukkan ke kardus bekas wadah sepatu.
“Ummi kira tidak. Bahkan abah-mu terkesan menarik diri dari
lingkaran pergaulan. Waktu kuliah, dia selalu duduk di bangku terdepan paling
pojok, dekat pintu. Jadi begitu jam kuliah usai, dia bisa langsung keluar.
Setiap ada pertandingan sepak bola antar jurusan atau fakultas, Abah tidak pernah ikut main. Dia lebih
sering mengurung diri dalam perpus. Membaca jurnal atau koran.”
“Ini
artinya apa, Mi?” Surayya
mengangsurkan selembar kertas bergaris.
“Gegantilaning atiku, wong ayu pepujan mami,”
baca Ummi, perlahan. Lalu tersenyum.
“Ini tembang Kinanti, Sayang.
Artinya: buah hatiku, manisku yang kupuja.”
Surayya
ber-oo. Sejauh ini, dia baru mengetahui sedikit bahasa Jawa. Meskipun orang
tuanya berasal dari Yogya, namun sejak tinggal di Bandung, dalam keseharian,
mereka lebih kerap menggunakan bahasa nasional.
“Kamu
tahu? Saat masih sama-sama mahasiswa, Abah
dan Ummi nyaris tidak pernah
bercakap-cakap, kecuali kalau kebetulan dapat tugas sekelompok. Itu pun
terbatas sekali. Abah-mu seperti
punya dunia sendiri. Kalau teman-teman duduk meriung, ngobrol, Abah justru
menyendiri. Asyik tenggelam dalam bacaannya.”
“Apa
yang biasanya Abah baca?” tanya
Surayya dengan mata membulat. Dia makin tertarik dengan cerita masa lalu orang
tuanya, yang sebelumnya jarang diungkap. Tapi sejak kejadian pekan-pekan
terakhir, Ummi jadi agak banyak
bicara setelah sempat tapa bisu
selama tiga hari. Surayya menduga itu didorong oleh kebutuhan Ummi buat sedikit mengurangi kepenuhan
isi hati.
“Komik!
Kamu mungkin tidak percaya.” Ummi
menebak wajah Surayya. “Tapi, sungguh. Dulu Abah
memang penggila komik, terutama buatan Riyoko Ikeda, Osamu Tezuka, dan siapa
itu… yang bikin komik Ramayana? R.A. Kosasih! Ya betul, dia!” Mata Ummi mendadak cerlang, seperti baru
menemukan barang yang hilang.
Keduanya
tertawa ringan. Sejenak lepas dari ketegangan urat saraf akibat pemberitaan
media massa pekan-pekan belakangan.
“Dengan
kelakuannya yang ganjil itu, kukira pasti tidak banyak orang yang menyukai Abah.”
“Mungkin
iya. Tapi juga tidak. Kamu tahu sendiri, jiwa-penolong Abah besar. Dia sangat peduli. Dia selalu ringan tangan membantu,
bahkan pada orang yang belum dia kenal. Dulu waktu kuliah, banyak sekali teman
yang kerap menanyakan soal tugas atau materi yang dirasa sulit. Dan berkat
ketekunan Abah, semua itu bisa
teratasi dengan baik.”
Wajah
Surayya mengeruh. Dengan serak, dia bersuara, “Apa karena jiwa-penolong yang
besar itu, makanya Abah menyelinap
keluar rumah kita?”
Ummi
tercekat. Ditelannya ludah yang mendadak berasa pahit. “Nak, Sayang… abah-mu ‘kan pendakwah, penyiar agama
Allah. Dia pasti memutuskan itu dengan sangat sadar dan penuh pertimbangan.” Ummi mengelus keriting rambut putrinya.
Gadis
16 tahun itu terdiam. Matanya melompat ke tumpukan kertas di meja. “Apa Abah masih mengirimi Ummi puisi?”
“Ya,
masih” Suara Ummi yang gemetar, kedengaran
palsu. Yang sebenarnya, dia tidak lagi menerima kiriman puisi sejak setahun.
Tapi, tanpa sengaja Ummi menemukan
sepucuk puisi Abah buat seseorang
bernama Rini, empat bulan silam:
Mencintai kamu adalah bahagia dan sedih
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam
kalbuku
Dan sedih karena kita sering berpisah
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita
Tetapi bukankah kehidupan sendiri
adalah bahagia dan sedih?[1]
“Mana?
Boleh aku lihat?” kejar Surayya.
Ummi
beranjak. “Ummi harus mengangkat
jemuran.”
“Ummi bilang, aku harus selalu mengenakan
pakaian kejujuran. Kenapa sekarang Ummi
justru menanggalkannya?”
Suasana
yang sejenak ria, berubah tegang.
Melihat
Ummi diam, Surayya melanjutkan, “Jauh
sebelum beritanya mencuat di TV dan koran, Abah
sudah lupa jalan pulang. Bagaimana bisa Ummi
menerima kiriman puisi dari dia?” Dada yang berasa senyar, memaksa gadis itu
terus bicara. Dia kira, inilah saat yang tepat. Delapan adiknya sedang sekolah,
sementara Bik Nah pergi ke pasar.
“Mi, lihat aku,” pinta Surayya. Tapi Ummi tetap membelakangi sulungnya itu.
“Ummi terlalu diam. Ummi terlalu menekan semua derita batinnya. Dan pada akhirnya, itu
semua bakal jadi bom yang pasti melantakkan Ummi.
Sementara Abah? Dia enak-enakan
mengeram di rumah janda itu. Kata Bik Nah, sudah dua bulan Ummi tidak terima uang belanja.”
“Kamu
jangan keterlaluan, Nak!” Ummi
membalik badan. Rambutnya tersibak ke samping. “Abah tentu repot mengurusi keluarga barunya. Mereka miskin.
Utangnya banyak.”
“Apa
untuk menolong hanya dengan jalan mengawini? Toh Abah tetap bisa menghibahkan butik tanpa harus mengambil janda itu
sebagai istri.”
“Butik
apa?”
“Ummi lihat saja sendiri beritanya di
TV.”
Ummi
terdiam. Wajahnya mengapas. Dia kembali duduk.
“Di
mimbar-mimbar, Abah selalu sesumbar
manajemen hati. Tapi nyatanya, dia tetaplah kucing garong yang tidak kuasa
mengekang berahi!”
“Ma tatakallam! Kamu bicara apa, Nak?” Ummi terlengak. Tidak mengira lidah
putrinya yang santun berubah jadi sengat.
“Kalau
aku jadi Ummi, akan kubalas tikaman Abah. Aku bakal poliandri!” tukas
Surayya.
“Kalau
Ummi berbuat seperti omonganmu, itu
artinya Ummi turut memecahkan hati
sembilan anak Ummi!” gusar Ummi dengan mata berkaca.
Surayya
terbungkam. Matanya berasa bara. Ummi
mendekatinya, kemudian mendekap erat.
“Nak,
barangkali ini takdir Ummi: diduakan.
Bagaimanapun, Ummi berusaha ikhlas
sambil terus menghirup napas semangat dan gairah. Dan kalian bersembilanlah,
sumber kekuatan Ummi,” bisiknya,
lembut.
Surayya
menolakkan tubuh ummi-nya. “Mungkin Ummi ikhlas. Tapi tidak dengan kami,
anak-anak.”
“Jangan
menyekap amarah, Nak. Itu hanya membuat mukamu berkerut dan hatimu abu-abu.
Selama ini, Ummi diam. Bukan berarti Ummi tidak merasa sakit. Ummi sakit, tapi Ummi bertahan, semata demi kalian, anak-anak Ummi. Saat ini kamu belum dewasa. Kamu belum mengerti. Waktu dan
pengalamanlah yang akan membuatmu paham arti berkorban,” Ummi terus membujuk Surayya.
“Kalau
kelak saatnya tiba, aku hanya mau nikah dengan laki-laki yang benar-benar
saleh, kalau perlu kuaudisi. Dan setelah kami punya anak, dia bakal kukebiri,
biar nggak punya niatan kawin lagi!”
“Astaghfirullah, Nak. Kamu sarkastik
sekali. Dari mana kamu punya pikiran semacam itu?” Ummi mengangkat dagu Surayya, kemudian memandangi kedua belah matanya.
Dan Ummi sangat kaget, karena di sana
dia temukan kobaran api. Dia kembali rangkul putrinya. Kali ini dengan lebih
ketat.
Surayya
rasakan bahunya basah. Ummi menangis!
Ragu-ragu Surayya balas merangkul. “Memang, Nak, dimadu itu sakit. Sakiiiiiittt
sekali. Sakit karena pengabdian dan pengorbanan yang sudah Ummi persembahkan, ditukar suami dengan pengkhianatan. Rasanya jadi
barang lusuh tanpa guna. Lalu apa yang bisa Ummi
lakukan? Poliandri? Tentu tidak, karena Ummi
tidak bermental serong. Tapi Ummi
wajib mawas diri. Mensyukuri sesedikit mungkin karunia yang Tuhan berikan.” Ummi lepaskan pelukan, bisiknya,
“Setidaknya, kondisi kita lebih baik dari perempuan itu. Kita tidak miskin.
Baju kita tidak compang-camping. Dan kita bisa makan kenyang tiga kali sehari,
bahkan lebih kalau mau. Untungnya lagi, Ummi
tidak punya tubuh molek sebagai alat penarik uang laki-laki berharta.”
Surayya
menatap tepat kedua bola mata ummi-nya.
“Tapi aku sungguh-sungguh, Mi! Aku
hanya mau kawin dengan laki-laki yang saleh. Laki-laki penganut sunnah nabi, tapi pantang berpoligami!”
cetus Surayya dengan wajah bersungguh-sungguh.
Ummi
menghela napas. Dia bisa rasakan ikrar putrinya yang sekeras cadas. Di-sun-nya pipi Surayya. Dengan pelan, dia
berujar, “Aamiin.”
Keduanya
kembali melebur peluk.
Ledug, 16 April 2012
Thomas Utomo adalah penyuka wayang dan komik. Pernah mengikuti Sekolah
Kepenulisan STAIN Press Purwokerto. Beberapa tulisan pernah dipublikasikan di Annida, Suara Muhammadiyah, Potret,
Satelit Post, Radar Banyumas, dan sejumlah media online. Saat ini bekerja sebagai guru SD Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.