Oleh:
Fitria Zulfa
Judul
buku : Uesugi Kenshin; Daimyo Legendaris
dari Kasugayama
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Kansha Books
Cetakan : Pertama, 2012
Tebal
buku : 388 halaman
ISBN : 978-602-971-96-8-0
Harga : Rp. 59.800,-
“SEORANG pemimpin itu harus bisa memimpin
dengan contoh bukan dengan paksaan.” Demikian ungkapan Sun Tzu --seorang ahli
strategi perang zaman Tiongkok kuno (diperkirakan hidup tahun 500 SM). Kriteria
pemimpin sebagaimana yang digambarkan oleh Sun Tzu itu, tak saja dipahami
dengan baik oleh Uesugi Kenshin yang dikenal sebagai daimyo dari Kasugayama. Kenshin
ternyata cukup piawai dan pandai dalam strategis perang –strategi yang pernah
ditorehkan Sun Tzu dalam buku the Art of War.
Tak salah, ketika Kenshin membawa 13.000
pasukan menduduki wilayah Kai di gunung Saijo dan siap bertempur melawan Shingen,
dia dengan cemerlang dan brilian sempat memukul pasukan Shingen yang berjumlah lebih
besar (20.000 pasukan). Di atas kertas,
Shingen memang jauh lebih unggul. Namun, kejelian Kenshin dalam mengatur
strategi perang, rupanya membuat Shingen terkecoh dan pertahanannya sempat
dibuat berantakan oleh Kenshin.
Pesona
kepemimpinan Kenshin yang hebat itulah yang memikat penulis novel hebat Eiji
Yoshikawa seperti tak bisa mengelak untuk mengenangnya dalam sekeping novel --yang
diberi judul Uesugi Kenshin: Daimyo Legendaris dari Kasugayama— ini. Sebab,
Kenshin memang tak sekadar pemimpin biasa. Bahkan, Eiji Yoshikawa menyebut
Kenshin sebagai pemimpin yang menyatu dengan tanah air tempat dia dilahirkan
–bahkan dia perwujudan keadilan umum dan teladan manusia umum.
Uesugi Kenshin (yang lahir 18 Februari
1530) mewarisi darah klan Nagao yang secara turun temurun menjabat shugo di
provinsi Echigo. Tetapi, Kenshin yang punya nama asli Nagao Kagetora mendapat
“keberuntungan” marga Uesugi dari ayah angkatnya, Uesugi Norimasa yang juga mewariskan
jabatan Kanto kanrei (penguasa wilayah Kanto). Dan ia hidup di masa Jepang
dilanda gemuruh perang bahkan dia terlibat pertikaian berkelanjutan dengan
Takeda Shingen dan Hojo Ujiyasu.
Ketika masih muda, Kenshin sudah
mencapai tingkat kebajikan dan tabiat besar sebagai pemimpin. Di usia 24 tahun,
dia sudah bersujud di kaki kaisar. Maka bukan hal aneh ketika dia melihat ketidakberdayaan
pemerintah dan kemerosotan keadaan penduduk, dia mencanangkan mimpi besar untuk
kejayaan Jepang (hlm. 375).
Terlebih, setelah kaisar memberi titah kepada Kenshin untuk menjunjung reputasi
kaisar sebagai penguasa tertinggi Jepang.
Dalam kehidupan sehari-hari Kenshin
memang lembut. Apalagi Kenshin dikenal sebagai penganut Zen. Bahkan, dia sempat
ingin meletakkan jabatan lantaran tak ingin terlibat masalah dunia. Tetapi, di
medan perang, dia adalah Harimau dari Echigo atau Naga dari Echigo lantaran
keahlian dan seni perang yang dia kuasai. Itu dibuktikan Kenshin dalam perang
Kawanakajima. Dia berkuda menerabas markas Takeda Shingen bahkan hampir
membunuh penguasa dari Kai tersebut. Padahal, jumlah pasukan Kenshin jauh lebih
sedikit. Sayang, sebelum keberaniaannya itu menentukan kemenangan, bala bantuan
pasukan Shingen tiba. Mimpi Kenshin pun kandas.
Kenshin memang seperti dua keping mata
uang. Di medan perang, seperti harimau, tapi ketika memerintah dikenal penuh
kelembutan. Ketika pasukan yang ia pimpin mati mencapai 3000 orang, dia merasa
paling bertanggung jawab dan mengalami kepiluan terlebih di depan keluarga
korban (perang). Kelembutan hati Kenshin pun tampak ketika Shingen mati. Para
penasehatnya menyarankan dia menyerbu negeri Kai. Tapi dia menolak. Sebelum
itu, bahkan ketika negeri Kai dilanda krisis garam -- diembargo dari beberapa
daerah lain-- Kenshin justru meminta penjual garam datang ke negeri Kai. Juga,
ada satu lagi peristiwa yang menunjukkan kebesaran Kenshin; ketika Shingen melepas tawanannya, dia pun melakukan hal
yang sama.
Meskipun
novel ini hampir sepenuhnya mengisahkan perang (kawanakajima) dan sosok Kenshin,
tetapi dari kisah ini, setidaknya pembaca bisa belajar dalam banyak hal.
Pertama, bisa mengenal sejarah Jepang. Juga, melihat perang dari sisi positif
sehingga bisa arif. Sekali pun perang itu memakan banyak korban dan rakyat jadi
tumbal (kekuasaan), tapi di balik itu ada mimpi besar (seperti pendapat
Kenshin) bahwa perang itu demi mewujudkan perdamaian.
Kedua,
lebih dari itu adalah pesan yang diselipkan penulis dibalik perseteruan Kenshin
dan Shingen. Di mata Kenshin, perang adalah demi reputasi kaisar, tapi bagi
Shingen tak lebih menuruti ambisi
melebarkan tanah kekuasaan. Ketiga, dari kisah ini terkuak satu bukti bahwa tak
sedikit pemimpin di dunia ini yang kejam. Tapi, Kenshin bisa jadi contoh bahwa
pemimpin itu harus memiliki kasih sayang dan kebesaran hati.
Tak
berlebihan, meski novel ini mengisahkan tentang perang, tetapi di balik itu
penulis mengajak pembaca untuk arif dalam melihat perang dari sisi yang lebih
luas.
Fitria
Zulfa, alumnus Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta