Oleh Ahmad Muzakki
Judul buku : Keajaiban Cinta (The Miracle of
Love)
Penulis : Abu Umar Basyir
Penerbit : Rumah Dzikir
Tebal : 152 halaman
“Ahh….”, raungan seorang
ibu yang tengah melahirkan anaknya seakan menjadi angin lalu bagi kita (bukan
ibu). Padahal, tak terperi rasanya, ketika ia dengan sekuat tenaga (kehidupan)
yang ada mencoba “menyelamatkan” calon bayi. Tak apa kita menganggapnya biasa.
Namun, apa yang membuatnya begitu kuat? Seakan menjadi barang ajaib, karena ia
juga telah mengggendong-ketika dalam kandungan-calon bayi selama sembilan
bulan. Cinta. Mungkin itu bisa jadi jawaban tepat bagi si ibu.
Cinta dan keajaibannya. Sepertinya
dua hal inilah yang menjadi fokus pembahasan buku semi-novel berjudul
“Keajaiban Cinta”. Abu Umar Basyir -sang empunya buku-, memiliki cara yang
menarik dalam menyampaikan gagasannya tentang cinta. Tak cukup hanya ideologis,
ia juga menanggapi realita-realita yang ada dengan kritis. Pun dengan hikmah cerita masa lampau.
Abu
Umar
dengan gaya formalisnya -menurut hemat penulis- mencoba merekonstruksi
pemahaman dan pandangan pembaca kebanyakan tentang apa itu cinta dan yang
bagaimana ia dapat menciptakan keajaiban. Westernisasi di berbagai novel
kenamaan pun tak luput dari kritikannya.
“Anggaplah
saat ini aku sedang menciumi kedua telapak kakimu dengan air mata haruku. Kalau
kau dan Tuhan berkenan, aku ingin jadi abdi dan budakmu dengan penuh rasa
cinta.” (hlm.
30).
Begitu ia mengutip salah
satu paragraf dari surat
cinta Naurah kepada Fahri (dalam Ayat-Ayat Cinta). Ia mensinyalir kalimat ini
sebagai tanda dan ciri kebiasaan muda-mudi “pergaulan bebas” (free sex) era
modern, yang sarat dengan sinyal kebejatan. Kalimat itu seolah mengisyaratkan
adegan menjijikkan Naurah dan Fahri.
Kritik menarik yang juga
disampaikan dalam buku setebal 159 halaman ini adalah tentang fenomena
pencarian cinta oleh para muda-mudi. “Kaum remaja mengejar cinta? Itu wajar
saja, dan itu memang dorongan naluriah yang mau tidak mau harus muncul dalam
jiwa mereka. Siapapun tak dapat mengenyahkannya begitu saja. Tapi, lantas
mencarinya di dunia percintaan remaja seperti yang dipahami kebanyakan kita
itu, sama halnya dengan melampiaskan dorongan seks melalui zina atau cara-cara
lain.” (hlm. 37).
Corak islami
formalis/syariah memang sangat kentara. Menurutnya tidaklah “sah” yang
dinamakan pacaran, karena yang ada hanyalah pernikahan.
Kemudian, menyingung
tentang keajaiban. Menurut Abu Umar, hal ihwal cinta yang paling ajaib adalah
cinta ibu kepada anaknya. Begitulah hujjahnya dengan beberapa kisah yang
ia sajikan.
Salah satunya, seorang ibu
dan anak lelakinya yang “nakal”. Sang anak telah berbuat kriminal dan menjadi
penjahat di kampungnya. Suatu saat, ketika ia akan dihukum pancung oleh negara,
si ibu bersusah payah ingin menyelamatkan anaknya. Bahkan ia rela mengorbankan
nyawa.
“… Ternyata, malam
sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di
lonceng tersebut serta memeluk besi di dalam lonceng, untuk menghindarkan
hukuman pancung bagi anaknya.” (hlm. 75)
Betapa mulia dan ajaib
cinta ibu kepada anaknya. Begitulah kenyataan yang sering terjadi di sekitar
kita. Peribahasa “Kasih ibu sepanjang masa, bagai sang surya menyinari dunia”
pun sudah tak menemu contoh.
Inti dari beberapa
ceritanya mengantarkan Abu Umar pada keteguhan dan pemahaman cinta sejati.
Menurutnya, cinta bukan sekadar bergelut dengan nafsu syahwat seperti
kebanyakan kita kenal, namun lebih dari itu, ia menunjukkan keagungan cinta
pada Yang Maha Cinta. Bukan karena pamrih harta, kekuasaan, ataupun keagungan.
Cerita Su’da (zaman Bani Umayah, khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan) membuatnya
semakin meyakinkan dalam bukunya ini.
“… Demi Allah, amirul
mukminin, seandainya engkau beri aku kursi kekhalifahan sekalipun dengan segala
isinya, semua itu tidak ada nilainya di sisiku bila dibandingkan dengan Su’da,”
kata (mantan) suami Su’da.
Di dua paragraf
berikutnya, Basyir menambahkan, “… Aku memiliki kenangan manis bersama
lelaki itu, cinta yang tak tergoyahkan. Bersamanya aku akan sabar menghadapi
kesengsaraan hidup, sebagaimana bersamanya aku mereguk kenikmatan pada saat
kebahagiaan menjelang,” tegas Su’da.
Seolah ingin menyadarkan
kembali betapa cinta karena “sesuatu” itu hanya nafsu belaka. Abu Umar juga
mengungkap tentang fenomena mabuk asmara. Penyakit isyq -begitu ia
menyebutnya- merupakan dampak negatif yang dapat menggerogoti kehidupan
seseorang, mulai harta, raga, hingga jiwa. Namun, di sini ia juga memberikan
tips/cara untuk meredam dan mengobati penyakit tersebut.
Melihat fenomena aktualisasi cinta yang semakin
“menggila”, penulis rasa buku ini layak menjadi bacaan setiap orang, terlebih
yang baru mengenal cinta. Cerita-cerita di dalamnya sarat akan hikmah yang
mendalam, mengingat cerita itu berangkat dari sebuah realita.
Ahmad Muzakki, aktivis pers LPM IDEA IAIN Walisongo Semarang