Oleh Nining Sumarni
Judul :Debu
– Debu Rakhine
Penulis :
Zhaenal Fanani
Penerbit :
Laksana
Tahun :
Cetakan I, Mei 2013
Tebal :
419 halaman
ISBN :9786022550631
Harga :Rp.
48.000,-
Benarkah cinta itu
sebenarnya tak pernah ada? Kecuali cinta pada Tuhan. Dan manusia sering terobsesi
tentang cinta. Mengejar sesuatu yang sejatinya tidak ada. Sama persis ketika
mereka mencari harta. Tak sadar bahwa sebenarnya mereka mencari sesuatu yang
mustahil dibawa mati.
Ketika cinta bicara, perbedaan
apapun tak lagi menjadi penghalang. Semua melebur atas nama cinta. Termasuk
dalam hal agama. Begitu pun yang terjadi pada Jahid Zew Oo dan Mya Htike.
Keduanya berasal dari latar belakang keluarga dan agama yang berbeda. Zew Oo
adalah putra seorang tokoh muslim yang berjuang untuk kebebasan etnis muslim
Rohingya. Sementara Mya adalah putri kepala biara yang merupakan tokoh dalam
komunitas Buddhis dan mempunyai hubungan dekat dengan rezim penguasa Myanmar.
Takdir mempertemukan
keduanya saat perayaan Water Festival. Sebenarnya Water Festival adalah
perayaan umat Buddha di Rakhine. Zew Oo sering datang untuk melihat tradisi
festival ini sejak umurnya sepuluh tahun. Ia yang lahir dan besar di Rakhine
merasa ikut memiliki tradisi tersebut. Meskipun tak bisa ikut berpartisipasi di
dalamnya. Dan kali ini ia menemukan sesuatu yang lebih menarik dari sekedar
melihat keramaian festival.
Beberapa gadis sudah
berhasil keluar ketika salah satu tenda yang digunakan untuk Water Festival
tiba-tiba roboh. Mya kesulitan melepaskan tubuhnya dari lilitan kain tenda dan
berbagai hiasan daun di tenda. Kakinya terjerat tali. Saat itulah Zew Oo berlari
menolongnya. Keduanya belum sempat berkenalan tapi Zew Oo sudah mengetahui nama
gadis yang sesaat tadi membuatnya terpaku. Seseorang memanggil nama gadis itu
Mya Htike (hlm. 34-36)
Pertemuan kedua terjadi di
Mrauk Oo, sebuah kota tua di Rakhine yang merupakan situs Buddha penuh pagoda,
kuil dan candi. Pertemuan yang tidak
disengaja tersebut memberikan kesempatan bagi mereka untuk saling menyapa.
Sejak saat itu janji demi janji pertemuan sering mereka buat. Pembicaraan
melalui telepon kini menjadi semacam ritual bagi keduanya.
Suatu hari ketika sedang
menunggu kedatangan Zew Oo, Mya dikejutkan oleh kehadiran Watha Hlwe. Pemuda
yang pernah satu sekolah dan menyatakan cinta pada Mya. Sedekat apapun hubungan
Watha Hlwe dengan orangtua dan kakak Mya tak mampu meraih simpati Mya. Bagi Mya,
pemuda itu tak lebih dari seorang sahabat. Ketika akhirnya Zew Oo datang dan berkenalan
dengannya, Watha Hlwe mendapat jawaban mengapa selama ini Mya tak membalas
cintanya. Telah ada seseorang di hati Mya.
Watha Hlwe menyampaikan
kabar kebersamaan Mya dan Zew Oo pada kakak Mya. Ayah dan kakaknya menentang
keras hubungan mereka. Hanya ibu Mya yang selalu member dukungan. Meskipun
dalam hati ia tidak setuju jika putri kesayangannya bersama seseorang dengan
latar belakang agama yang berbeda.
Suatu malam sekelompok
orang tak dikenal menculik Mya dan membawanya ke sebuah ruangan yang mengerikan.
Di atas meja tergeletak beberapa tulang, tiga cawan minuman dan tiga buah
kaleng bekas minuman. Beberapa cawan berisi cawan, sulfur dan darah. Ruangan
tersebut merupakan bilik rekonstruksi yang dirancang bagi biarawan yang
melanggar aturan biara. Mya tak pernah tahu bahwa ayahnya yang mengatur
penculikan tersebut. Dengan harapan Mya akan menyadari kesalahannya (hlm. 212).
Tak ubahnya ayah Mya, Mahmud
Shiko, ayah Zew Oo pun pada awalnya tak menyetujui hubungan cinta yang tengah
dijalin putranya. Namun setelah mendangar saran dari sahabatnya, ia membiarkan
Zew Oo menjalani cintanya. Menurut sahabat Mahmud Shiko, cinta akan melampaui
syariat dan menyalip hukum-hukum karena cinta merupakan penghulu dari semua
hal. Jadi biarkan cinta berjalan sebagaimana mestinya. Segala sesuatu di dunia
sudah ditetapkan oleh-Nya.
Mendapat kebebasan dari
Mahmud Shiko tak lantas membuat hubungan keduanya terbebas dari masalah. Itu
hanyalah awal dari perjuangan cinta mereka yang sebenarnya. Dimana setiap
keputusan yang diambil mempunyai resiko yang harus ditanggung.
Lika liku perjuangan cinta
di atas perbedaan antara Mya Htike dan Zew Oo tersaji dengan apik dalam novel
setebal 419 halaman ini. Tak sekedar menyajikan konflik percintaan antara kedua
tokohnya. Penulisnya juga menyisipkan konflik antara etnis muslim Rohingya yang
merupakan minoritas dengan komunitas Buddha yang merupakan mayoritas di wilayah
Rakhine, Myanmar. Kedua konflik berpadu memperkuat jalinan cerita dalam novel
ini. Bagi Anda yang menyukai novel dengan latar belakang konflik komunal,
jangan lewatkan novel yang satu ini.
Nining Sumarni,
Pegawai Negeri Sipil (PNS), tinggal di Kalideres Jakarta
Barat