Cerbung
Edisi 44….
Oleh Sofi Muhammad
Sejengkel-jengkelnya aku, tak bisa berlama-lama. Usai ia minta maaf, atau jika aku sudah kembali di sisinya setelah hampir seharian bekerja, kami kembali baik seperti sedia kala.
Tak berguna juga berlama-lama menyimpan kekesalan yang pada akhirnya juga bakal diri sendiri yang dilanda kerapuhan. Rapuh karena satu-satunya supplier yang menyimpan cadangan makanan adalah dia.
Sebaris dua baris burung blekok berkejar-kejaran di angkasa. Kutatap kemudian mata ini terpejam cukup lama. Menikmati kecerahan langit di bulan Maret yang masih sering hujan ini membuatku jadi tidak takut lagi.
Iya, selama ada Arya, tak perlu ke mana-mana mencari sandaran. Tinggal fokuskan pada satu saja manusia, dan semuanya, akan baik-baik saja.
“Ras, aku sudah siapkan makanan buat kita,” kata Arya, “makan dulu yuk.”
“Masak apa kamu?”
“Adalah.”
“Ambilin dong,” kataku manja sekali.
Saking gemesnya, malah kedua pipiku ini dijewer penuh sayang kemudian bertubi-tubi dikecupinya.
“Jadi makan apa nggak ini?” tanyaku.
Dia pun menghentikan ciumannya, “Ya jadi dong,” jawabnya. “Kita cari sumber tenaga dulu ya.”
Huh, dasar!
Lagi-lagi, ya cuma itu saja yang mendasari Arya untuk rela melakukan apa pun. Jadi semangat dia kalau ujung-ujungnya bakal bercinta lagi. Ternyata besar sekali nafsunya.
Sampai kecapekan kadang aku. Tapi, ya tetap semangat karena Arya yang minta. Jika dihitung-hitung, sehari paling tidak, tiga kali biasanya; bangun tidur, sepulangku kerja, kemudian kalau mau tidur.
Tapi, agak kasihan jika pada larut malam, atau pagi-pagi buta, Arya mendapat telepon dari Om Heri. Sudah kecapekan, harus siap sedia mengantar-jemput bosnya itu untuk mencari obralan.
Seandainya saja kami ini bisa menghabiskan waktu senggang selalu bersama; maksudnya, ada dia ada aku. Ketika bekerja sama-sama, saat istirahat pun juga sama-sama, pasti itu indah sekali.
Ah, memang kurang beruntung.
“Coba dulu, Ras,” kata Arya sambil menyuapiku tahu bacem buatannya sendiri. “Gimana rasanya?”
“Enak.”
“Cuma enak sajakah?”
“Enak banget.”
“Ah, bohong kamu pasti.”
“Beneran enak, Arya.”
Kemudian, Arya tersenyum. Mau megerjaiku rupanya dia. Berpura-pura marah padahal sebenarnya ya tidak, tidak pernah ia merasa semarah saat aku mau kerja dan meninggalkannya.
Kalau begini terus memang enak. Masih pengantin baru juga sih kami ini. Ya, meski tidak pakai tanda tangan di KUA, tapi kami kan sudah sehati dan sejiwa. Bahkan, yakin sekali aku bahwa ikatan kami ini masih jauh lebih kuat daripada beberapa pasang pengantin yang pada selingkuh satu sama lain.
Tapi, apa memang kami perlu menikah. Ah, ribet banget pasti. Mempersiapkan segala surat, apalagi aku tak punya semua, ya pastinya akan sangat merepotkan sekali. Lagi pula, mahal juga biayanya kan?!
Sekali mendatangi kelurahan, bisa habis gajiku. Belum lagi ke kecamatan, apalagi kabupaten hingga mereka mau menelurkan KTP yang benar-benar baru untukku. Kira-kira, bisa habis berapa ya, ada yang tahu nggak?
Alah, dari pada ribet, begini pun sudah cukup. Masalahnya, memang agak meresahkan para tetangga sih. Gara-gara Arya sudah tak mau pulang ke kosnya, tetangga kosku sedikit banyak ada yang parno.
Kurang kerjaan sekali mereka itu. Cuma kumpul kebo saja dipermasalahkan. Seperti tidak pernah saja mereka itu. Lagi pula, apa untungnya mengurusi pekerjaan rumah tanggaku. Lha wong ya tidak pernah mau bantu-bantu nyapu, beres-beres, tapi kok sok peduli dengan mendalihkan kebaikan untuk aku dan Arya ke depannya.
“Arya, aku sebel deh.”
“Kenapa?”
“Tetangga sebelah itu.”
“Iya, kenapa memang?”
“Hobi banget menggosipkan kita.”
Arya memijit-mijit lengannya yang ada bekas peluru. Sesekali, dikompres pula dengan air hangat karena terkadang seperti seolah membengkak. Kemudian, dia merebahkan tubuhnya hingga bersandar di ambang kasur.
Sembari menonton berita, ia pun berkata, “Pijitin dong Ras.”
Kudekati dia usai melemparkan handuk basah yang habis kupakai untuk mengeringkan rambut. Huft, melihat dia yang sedemikian terlihat kesakitan, aku jadi semakin sayang. Tak maulah jauh-jauh lagi, selamanya!
Membayangkannya sendirian menikmati rasa sakitnya itu, mana mungkin aku tega. Toh aku pasti juga bakalan sama jenuhnya dengan keadaan sekitar jika tak bersama-sama dengannya dalam keadaan sedilema apa pun.
“Pijitan kamu enak Ras,” kata Arya dengan memandangku penuh birahi lagi.
Ih, kupukul saja lengannya yang katanya agak nyeri itu.
“Alah, biar dipijit terus kamu kan?!” ujarku.
“Ya, daripada aku nyuruh orang lain, nanti kamu cemburu, iya kan?!”
“Em, tapi bayar lho nanti. Satu jam seratus ribu!”
“Ealah,” keluh Arya, “di jalanan saja satu setengah jam cuma tiga puluh lima ribu kok.”
“Ya sudah, mana,” Arya menantangku lagi. Sambil berkata seperti itu, dia pun sambil memegangi selangkangannya. Hah, sudah nyata sekali ini alamatnya.
Dasar jelalatan juga sih mataku ini. Bisa-bisanya langsung fokus mengarahkan pandanganku ke tempat itu. Seperti sudah ada magnetnya begitu. Kalau tiba waktu horny-ku, otomatis saja begitu mataku ini reflek memandanginya.
“Arya,” keluhku, “kamu belum berkomentar mengenai tetangga kita!”
Bersambung Episode ke 45….