Oleh
Indra KS
Dalam menciptakan puisi tidaklah harus dengan menggunakan bahasa yang
muluk-muluk. Tetapi dengan kesederhanaan bahasa juga bisa. Seperti pada
kumpulan puisi Kepayang karya Abdul Wachid BS ini. Kepayang
merupakan kumpulan puisi dari tahun 2011 sampai 2012. Dalam mengolah bahasa
menjadi sebuah bait-bait puisi, penyair kelahiran Lamongan, Jawa Timur, pada 7
Oktober 1966 ini cenderung menggunakan bahasa yang sederhana dengan tidak
mengurangi keindahan sebagai sebuah puisi.
Kumpulan puisi ini dapat dikatakan kelanjutan dari kumpulan puisi Yang yang
terbit pada bulan april 2011. Tidak ada yang banyak berubah dari kumpulan puisi sebelumnya. Achid, begitulah panggilan akrabnya, banyak mengangkat tema tentang cinta, semisal cinta pada
Tuhan, keluarga, ataupun orang-orang terdekatnya. Seperti pada kutipan puisi
dengan judul "Jatuh Cinta Kepadamu" sebagai berikut:
...Jatuh cinta kepadamu/ Tidak terbilang jumlahnya/ Kata-kata menjadi
harapan/ Harapan menjadi doa-doa yang tidak berkesudahan/ Dari pagi ke siang/
Dari siang ke senja/ Dan malan kian meluaskan pandangan/ Bahwa aku sedemikian
kerdil/ Untuk memeluk semesta cintamu.../
Dari kutipan puisi di atas terlihat jelas kecintaan Abdul Wachid BS pada
Tuhan yang membawanya pada kepayang, suatu keadaan mabuk. Mabuk atas cintanya
pada Tuhan, yaitu cinta yang paling cinta seorang anak Adam. Seperti tercermin
pada puisi "Yang Kepayang Hyang".
Melalui puisi-puisi inilah kesederhanaan bahasa lahir menjadi suatu yang
kelihatannya biasa tapi tetap membuat mabuk para pembacanya. Mungkin ini dapat
dikatakan sebagai ciri khas seorang Abdul Wachid BS.
Melalui kesederhanan inilah penyair mencipta puisi yang kadang tidak
seperti puisi, melainkan seperti sebuah syair lagu. Tetapi walaupun seperti itu
tidak mengurangi keindahan sebuah puisi. Bahkan dengan seperti itu pembaca
tidak mengalami kesulitan dalam menafsirkan makna atau pesan yang ingin
disampaikan penyair pada pembaca. Selain bahasa yang mudah dipahami,
puisi-puisi Abdul Wachid BS pada kumpulan puisi Kepayang ini juga enak
untuk dibaca karena menggunakan bahasa yang sudah akrab di telinga kita.
Seperti kata cinta, pagi, senja, malam, dan lain-lain.
Dalam membaca sebuah puisi, kita selalu dihadapkan pada teks yang terang,
samar-samar, atau bahkan mungkin gulita. Maksudnya,
makna yang tersirat di
dalamnya mudah dipahami atau tidak. Pada tipe puisi-puisi Abdul Wachid BS ini
tentunya masuk dalam puisi yang terang karena puisinya mudah dipahami oleh
pembacanya. Misalnya pada puisi yang berjudul "Doa Pencinta"
sebagai berikut:
Ya Allah/ kemiskinan ada di sekitar saya/ tetapi mengapa sajak-sajakku
hanya/ berkisah tentang cinta/ Mu saja?
Dari kutipan puisi pendek di atas, tentunya kita dapat dengan mudah
memahami apa yang ingin disampaikan penyair pada pembaca. Bahwa penyair sedang
mengalami kegalauan karena di sekitarnya terdapat banyak kemiskinan tetapi puisi yang selalu ditulis hanya
mengisahkan tentang cinta Tuhan. Itu dapat dibuktikan dengan penulisan
"Mu" yang diawali dengan huruf kapital.
Dengan membaca puisi yang mudah dipahami kita tidak akan mengalami
kesulitan dalam mencari pesan yang ingin disampaikan. Berbeda dengan puisi yang
samar-samar atau bahkan yang gulita, kita harus intens dalam mencari makna
karena susah dipahami. Bahkan mungkin yang tahu maknanya hanya penyair dan
Tuhan saja. Tinggal pembaca yang menentukan hendak suka membaca puisi yang
mana.
Kadang orang memandang puisi yang terlalu gamblang itu bukan puisi, dengan
dalih puisi harus menggunakan bahasa yang indah atau dikatakan Abdul Wachid BS
bahasa yang berbusa-busa. Tetapi menurut saya, apa yang kita yakini sebagai puisi itulah puisi, asalkan memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai wujud
puisi, karena kita tidak mungkin menganggap sebuah cerpen menjadi sebuah puisi
walaupun kita meyakini itu puisi.
Antara puisi dan bukan puisi, lekat dengan perdebatan. Sekarang yang terpenting adalah
tanggapan seorang pembaca tentang batasan sebuah puisi. Batasan ini dapat
dikatakan relatif karena apa yang kita yakini sebuah puisi belum tentu dianggap
puisi oleh orang lain, begitu pun sebaliknya. Saat ini puisi dikatakan menganut
kebebasan, tidak harus terkungkung pada rima. Jadi seharusnya polemik antara
puisi dan bukan puisi tidak perlu terjadi.
Kembali pada kumpulan puisi Kepayang karya Abdul Wachid BS, kumpulan
puisi ini walaupun menggunakan bahasa yang sederhana tetaplah sebuah puisi yang
ikut meramaikan dunia perpuisian Indonesia. Pada awal kemunculan puisi Chairil
Anwar juga dianggap bukan puisi tapi pada akhirnya diterima juga. Malahan di
sanjung-sanjung oleh masyarakat sastra bahwa puisinya sangat baik.
Dengan kesederhanaan bahasa yang ada, kita akan dibuat mabuk seperti judulnya yang memabukkan.
Antara puisi dan bukan puisi, inilah gagasan atau ideologi Abdul Wachid BS dalam
mencipta puisinya. Abdul Wachid BS pernah bilang "Suatu kali puisi saya
dikritik seperti lagu India tetapi saya malah membuat puisi lagi yang lebih
ke-India-an". Kelihatan konyol memang, tapi inilah Abdul Wachid BS.
-------------------------------------------
Indra KS, lahir di desa Tanggeran pada 5
Oktober 1989. Tulisannya baru terpublikasikan di Banjarmasin Post, Buletin Imla, Lampung Post, Riau Pos, Satelit Post, Suara Merdeka, Majalah Ancas, Majalah Frasa, Majalah Sagang, Metro Riau, Minggu Pagi, Padang Ekspres dan WAWASANews. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) di Universitas Muhammadiyah
Purwokerto (UMP). Bergiat di Komunitas
Penyair Institute.