(Membaca “Perihal Kebingungan Kita Pada Nasib” Puisi Slendang
Sulaiman)
Oleh Jufri Zaituna
Kesederhanaan menghadirkan gambaran abstrak
dari kekejaman penguasa dan derita bangsa yang katanya merdeka sudah. Seperti
yang tergambar dalam puisi Selendang yang sempat kubaca dan berusaha
menyelaminya sambil mendengarkan instrumen Balkans–A
Mazika, Vanessa Mae–Clasical Gas dan Bach–B randenburg Conceto. Sungguh
indah pagi yang penuh nada-nada cinta dan hentakan jiwa.
"Baca Puisi Selendang Sulaiman dimuat
Dalam puisi Slendang saya banyak menemukan
asosiasi dari kata sifat, kata kerja, ajakan, dan seruan seperti yang sering
kita dengar dari curhat-curhat manusia yang terjangkit virus kegalauan. Puisi
yang menghadirkan senyuman, kopi dan rokok, untuk sejenak melupakan sesuatu
yang sebenarnya sangat berat bila hanya dipikirkan oleh seorang diri
(Slendang). dan sejenak untuk melupakan akan masa depan yang lebih indah, tidak
seperti apa yang dipikirkan. Bagaimana seorang “Nun” bisa memberikan jalan
keluar bagi jalan hidup yang lebih tenang, terang, penuh keintiman dalam
kemesraan cinta yang begitu Agung. Namun puisi tidak seperti percumbuan
sederhana ide, pengimajian, memilih metafor, dan bagaimana cara mengungkapkan
tentang sesuatu yang terasa perlu atau menyiksa batin.
Dari hasil percumbuan penyair tidak hanya
melahirkan benda-benda yang tidak lagi menjadi sesuatu yang hidup kembali. Atau
hanya terkesan menegaskan akan cita rasa atau hanya sekedar fungsi dari sebuah
benda itu sendiri. Seperti pada bait ke tiga di bawah ini:
nun, cigaret + secangkir kopi setidaknya dapat mengikis
kebingungan kita yang akut. meski di koran dan televisi
penderitaan demi penderitaan digelar dengan kemewahan
kebingungan kita yang akut. meski di koran dan televisi
penderitaan demi penderitaan digelar dengan kemewahan
Puisi Slendang mencoba membenturkan
persoalan sehari-hari dengan persoalan kebangsaan yang mungkin sudah banyak
diketahuinya. Namun penyair tidak berani atau sengaja dalam puisi tidak
meneriakkan keluh kesahnya dengan lantang, penuh kobaran api, penuh teror,
apalagi darah.
Penyair memilih nuansa kemesraan,
keharmunisan sebagai lelaki yang menunggu kekasihnya datang menemuinya di
sebuah warung kopi. Di mana kemabukan ungkapan, loncatan imaji, dan rima
menjadi campur aduk. Sebab nasib puisi dan hidup tidak bisa ditunggu seperti
gorengan yang dipesan di kasir yang cantik itu. Puisi hanya akan menjadi
gorengan siap santap di atas piring kebingungan, ketakutan, kekalahan dalam
menghadapi dunia yang serba menu dan harga mati. Sekian.
Jufri Zaituna, Lurah Komunitas Masyarakat
Bawah Pohon, Yogyakarta.