Cerbung Episode ke 41…
Oleh
Sofi Muhammad
Petilasan
saja tidak benar-benar sepi karena masih ada yang rutin mengunjungi setiap
seminggu sekali. Sedangkan diri ini, ada apa sebenarnya. Seolah-olah, memang
hidup ditakdirkan untuk berduka.
Tak
ada toleransi lagi. Meksi sempat senang kala Arya berusaha mencari alamatku
dari Bu Sur, tapi apa pula gunanya jika dia nyatanya tak beda dengan yang
lainnya. Kecewa, iya tentu saja.
“Kamu
harus percaya,” katanya, “sekali pun aku belum pernah memasukkan penisku ke
vaginanya cewekku, Ras,” tambah Arya yang pada kenyataannya memang benar-benar
mendatangiku.
Kutepis
saja tangannya yang berusaha memegang tanganku. Jijik, marah, dan tentu saja
cemburu. Tak rela sekali jika nyatanya Arya telah memasukkan nama wanita lain
ke dalam hatinya.
“Ras,
aku harus bagaimana agar kamu mau percaya?”
Aku
cuma menjawabnya dengan gelengan kepala saking tak sanggupnya berkata-kata.
Ini, hanya terasa menyakitkan sekali.
“Ras,
kumohon, percayalah!”
Berhari-hari
berikutnya, saking seringnya Arya menuntut kepercayaan itu, maka pelan-pelan batu
keras yang menumpuk di hatiku mencair juga. Benar-benar mencair dan pada
akhirnya, aku memang benar-benar percaya.
Bahkan
andai dia telah sempat bercinta dengan seribu wanita lain pun, kurasa aku akan
masih sanggup untuk memaafkannya. Nyatanya, hidup memang tidak sesempurna
seperti yang selama ini aku harapkan.
Sedangkan
perasaanku, aku tetap tak bisa membohonginya. Kala kubilang bahwa aku tak
hendak mengingatnya, maka hatiku senantiasa menolak, menyumpahiku,
mengata-ngataiku.
Mungkin, kumau memaafkanmu kembali
Demi cinta yang ada di hatiku__Melly
Goeslow: Mungkin
Aku
bahkan tak begitu memedulikan kesalahannya. Hanya karena aku mencintainya maka
semua yang harusnya penting terkadang jadi tak terlalu penting. Benar sekali
yang sering kali mereka katakan mengenai cinta yang nyatanya memang buta.
Maka,
jika dulu pernah kubodoh-bodohi para artis FTV yang galau-galau kala putus atau
marahan dengan pacarnya, kini aku tak berani melakukannya lagi. Aku sendiri,
meski Arya belum pernah menyatakan perasaannya secara langsung, tapi sudah
begini rasanya.
“Bertahun-tahun
aku pun mencarimu, Ras.”
“Bohong.”
“Beneran,”
tandasnya, “setelah ibuku meninggal, aku ikut dengan Om Heri, tetangga kami
yang baru saat pindah dari kotrakan lama ke kontrakan baru di Jalan Sriwijaya,
dekat Simpang Lima.
Dia
baik sekali, Ras. Bahkan, dia pula yang membiayaikuliahku sampai semester sepuluh ini dan belum lulus juga, ha-ha.”
“Apa
yang dia tuntut darimu?” tanyaku.
“Ya,
aku harus siap menyetir dalam keadaan apa pun; pagi, siang, sore, malam,”
jawabnya, “dan harus merahasiakan pula setiap kencan gelapnya, Ras.”
“Oh.”
“Kamu
kecewa sama aku, Ras?”
Kugelengkan
kepala dengan memberinya senyum termanisku. Di atas sana, langit telah hampir
menumpahkan segenap titik-titik air yang telah terlebih dahulu terkondensasi
oleh proses alamiah. Jadi, buat apalah kuresahkan yang sudah-sudah.
Aku
pun tak tahu hendak di bawa ke mana gumpalan awan abu-abu itu. Sama seperti
ketidak tahuanku kala memikirkan nasib hubungan kami ini. Dia yang begitu
intensif menunjukkan perhatiannya, aku sama sekali tidak sanggup untuk menolak.
Tak
kuduga, mudah sekali aku luluh oleh rayuan gombal Arya. Iya, kusebut begitu
karena ternyata, dia memang pandai sekali merayuku. Tak henti-hentinya merayu
dengan rayuan yang mana tak jauh berbeda dengan lelaki yang lainnya.
“Lihat
ini, Ras,” katanya sambil memperlihatkan bekas luka tembak yang mengitam di
lengannya. “Kalau musim dingin, Ras,” kata Arya, “sakit sekali rasanya, nyeri
sampai ke tulang-tulang. Kalau bukan untuk bertemu kamu lagi, barangkali aku
sudah lebih baik mati. Sakit sekali.”
“Maafin
aku, ya.”
“Aku
juga minta maaf.”
“Aku
sayang kamu, Arya,” kataku sambil merangkul lengannya.
Sejenak
kemudian, Arya terlihat melamun. Baju kemeja biru tua yang dikenakannya itu sesekali
tertiup angin sore di pelataran kosku. Wangi sekali parfumnya; kewangian yang
sungguh sangat mampu membuatku merasakan cinta itu lagi.
Sesekali,
kulihat anak-anak kecil berseliweran sambil digandeng oleh tangan ibunya
masing-masing. Hendak ke mana mereka, aku pun tak tahu. Kemudian, kualihkan
pandanganku untuk kembali menatapi wajah Arya saja.
Wajah
itu, memang agak sedikit lebih hitam dari terakhir kali ketemu beberapa tahun
yang lalu. Namun, raut-raut ketegasan itu sama sekali tak mampu mengurangi
seberapa besarnya kerinduanku yang telah tertahan sekian waktu lamanya.
Lagi
pula, mau apa lagi, mau mencari yang bagaimana lagi. Seorang Arya sudah cukup
untuk bisa menguasai seluruh hatiku, memenuhi setiap rongga-rongga
pernafasanku. Sedang yang lain, tak adalah yang lebih penting!
Jika
pun nantinya aku ditakdirkan harus hidup tanpanya, maka sama juga bahwa Tuhan
hendak membunuhku pelan-pelan lantaran dia, lenteraku satu-satunya, tak lagi
diperbolehkan menemaniku.
“Kamu
masih suka masak, Arya?” tanyaku dengan masih memeluk lengannya.
“Aku
sudah males masak, Ras,” jawabnya tanpa semangat.
“Tapi,
aku mau makan masakanmu lagi,” pintaku sambil menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Mungkin,
rasanya sudah tak bisa seenak dulu.”
“Asal
dari tanganmu, pasti tetap enak di lidahku.”
“Ah,
kamu ini.”
Arya
itu, dia adalah canduku ini. Keadaanku entah bahagia atau tidak, jelas sekali
hanya akan kugantungkan padanya. Jika pun pada akhirnya dia berniat untuk
meninggalkanku, maka itu artinya bahwa dia hendak membunuhku secara pelan-pelan
pula.
Kedatangannya
itu adalah anugerah terbesar sepanjang hidupku. Aku bahkan lebih takut jika
kehilangan dia daripada kehilangan ibuku sendiri; bahkan menangis
berderai-derai pun tidak kala kudengar kabar meninggalnya ibu dulu.
“Terserah
jika kamu bahagia, Ras,” kata Santi usai kuceritakan mengenai kelanjutan hubungan
kami.
“Memang
tak ada manusia yang sempurna, kan, San?!”
“Iya,
Sayang.”