Oleh
Furaida Ayu Musyrifa
Judul : Perang Bintang 2014, Konstelasi dan
Prediksi Pemilu dan Pilpres
Penulis : Burhanuddin Muhtadi
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Februari 2013
Tebal : 335 halaman
Genderang politik menuju Pemilihan
Presiden (pilpres) 2014 telah ditabuh. Dana
triliun rupiah dipertaruhkan untuk menyongsong pesta demokrasi itu. Segala
keberlimpahan digadaikan dan kekuasaan ditasbihkan. Pertandingan politik
semakin ditunggu ditengah kejumudan negeri ini yang tak kunjung lepas dari
hiperrealitas politik.
Rakyat sadar dan hendak bangkit dari
ruang yang sarat dengan kebohongan terencana, pemutaran fakta dan disinformasi.
Pilpres secara demokratis yang dimulai sejak 2004 ternyata tak memuluskan proses
reformasi di Indonesia. Masalah demi masalah selalu hadir bergelantungan
menghantui bangsa. Ada kecenderungan rakyat pada Pilpres
2014 yang berduyun-duyun menganut deparpolisasi.
Analisis itulah yang dikemukakan oleh Burhanuddin
Muhtadi dalam buku ini.
Deparpolisasi atau “emoh partai” muncul
akibat figur yang muncul dalam geliat Pilpres 2014
adalah nama-nama figur lama. Menurut pengajar ilmu polik UIN Jakarta ini,
publik Indonesia dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pertama, pemilih dihadapkan pada pilihan capres dari stok yang itu-itu
saja. Capres populer yang muncul belum diterima publik karena masalah
akseptabilitas, integritas dan track
record yang kurang baik. Kedua,
nama-nama baru yang dinilai memiliki kemampuan yang baik, bersih dari korupsi,
namun belum juga muncul kepermukaan.
Dalam buku ini, Burhanuddin menyajikan
kajian politik ilmiah-empiris yang dalam dua dasawarsa jarang ditemukan di Indonesia.
Menurut pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia ini, pilpres 2014 adalah
etape krusial yang akan mempertontonkan pertandingan politik yang paling seru.
Tak hanya kaum tua yang bisa mengadu nasib, namun elite-elite muda juga terbuka
lebar. Pilpres 2014 adalah pasar bebas karena tak ada calon dominan seperti tahun
2009. Namun tak semudah itu, ada rumus 3D yaitu dikenal (popularitas), disuka
(likeability), dan dipilih (elektabilitas). Tigas rumus itu menjadi kunci dalam
gelanggang perebutan kursi orang nomor satu di republik ini.
Survei yang dilakukan oleh Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) pada pertengahan 2012 menempatkan Prabowo
Subianto pada posisi teratas, disusul Megawati Soekarno Putri dan Jusuf Kalla,
lalu Aburizal Bakrie. Megawati relatif paling bisa dipercaya dan memiliki
empati, namun dinilai lemah terutama dari sisi kompetensi dan ketegasan (hanya
sekitar 25-26%). Prabowo unggul dalam soal ketegasan namun kalah dalam empati
kepada masyarakat. Sementara Abu Rizal meski telah mendeklarasikan diri menjadi
capres dengan seabrek sosialisasi, kualitas personalnya kalah dibanding
Probowo, Mega dan Kalla.
Lalu, adakah bintang politik baru
yang bersinar di tengah iklim kepartaian yang bernuansa oligarki dan
transaksional saat ini? Dalam analisis pengamat politik yang moncer dan sering
muncul di media itu, ada banyak tokoh baru yang bermunculan namun mereka masih
memiliki tingkat popularitas yang rendah. Dari survei belakangan ini, muncul
nama Mahfud MD, Dahlan Iskan, dan Gita Wiryawan. Tapi, nama-nama
tersebut tingkat popularitasnya hanya mencapai 30%.
Implikasinya, jika figur-figur baru
tersebut belum mampu tampil menjadi alternatif, maka kontes politik 2014 hanya
akan berkutat pada dua pilihan dilematis. Pertama,
rakyat tetap memilih diantara pilihan-pilihan yang buruk. Kedua, rakyat akan memutuskan golput sehingga semakin mengurangi
legitimasi pemilu. Ini akan mengakibatkan
deparpolisasi yang memunculkan alienasi politik dan otomatis menambah
deretan panjang golput dalam pemilu 2014 nanti.
Temuan Burhanuddin sungguh menarik.
Menurutnya, yang terjadi sekarang adalah ketimpangan popularitas. Calon-calon
presiden yang populer tapi jika kualitasnya dinilai buruk maka tidak akan
dilirik pemilih. Hal ini tengah menggerogoti para capres diantaranya Abu Rizal yang
terlilit kasus lapindo, juga Probowo yang terekam dalam kasus penculikan
aktivis demokrasi menjelang kejatuhan Soeharto.
Sebaliknya, calon-calon presiden
alternatif yang memiliki kualitas baik, integritas dan rekam jejak yang bagus,
tetapi tidak dikenal luas oleh populasi pemilih yang beragam, juga tidak akan
memiliki elektabilitas yang memadai. Maka, geliat politik 2014 saat ini
sebenarnya masih dalam pertarungan sengit untuk mengejar popularitas. Tantangan
bagi figur-figur baru kedepan adalah meningkatkan popularitas sebelum
menunjukkan kualitasnya dalam memenuhi ekspektasi publik.
Buku ini berteriak lantang untuk tidak
sekadar mengikuti pesta demokrasi dan menjalankan hak suara, lebih dari itu,
buku ini mengajak untuk mengetahui rekam jejak para petarung politik. Dengan
analisis dan data-data akurat yang bisa dipertanggungjawabkan, buku ini sangat
cocok untuk dibaca semua kalangan dalam rangka proses pematangan berpikir dalam
dunia politik.
Furaida Ayu
Musyrifa,
Mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
IAIN
Walisongo Semarang