Cerbung
Episode ke 39….
Oleh
Sofi Muhammad
Siang
itu, awan tebal masih setia menggelantung di bawah langit. Rintik-rintik
gumpalan kecil air pun mulai turun dari kantung-kantungnya, selaksana popok
bayi mana kala ia sedang ngompol.
Agak
repot memang. Di musim hujan ini, hampir setiap kali mendapat jadwal menagih
uang kos-kosan, selain kena macet, aku pasti selalu kehujanan; hujan yang tak
hanya sekadar gerimis namun sangat lebat hingga jas hujan egois yang kupakai pun terkadang kurang bisa membantu juga.
Kalau
tak sedang hujan saja, meski masih berpaut di musim hujan, temperatur wilayah
Kota Semarang bisa sampai empat puluh derajat celcius, bahkan bisa lebih. Tandanya,
bisa kok ditemukan di sepanjang jalan. Kala melewati lampu lalu lintas di jalur
Kota Besar, bisa dilihatlah rambu-rambu modern yang menampilkan derajat suhu juga.
Macet
dan panas sebenarnya adalah dua porsi yang pas untuk mengibaratkan jalanan
seputaran Semarang bawah; ditambah satu lagi, yakni banjir kala musim hujan
begini. Meski musim hujan pun, tapi nyatanya masih sangat panas kalau
mataharinya tidak tertutup awan.
Rambu-rambu
itu, ada baiknya memang, tapi juga lengkap dengan keburukan. Meski ada penanda
waktu, tempat, serta temperatur tadi itu, tapi justru malah tidak ada
detikannya. Otomatis, ya kesulitanlah jika harus mengancang-ancang sendiri.
Kalau
mau jalan, sebelum tiba lampu hijau sih memang ada; dengan aba-aba 4, 3, 2, 1.
Tapi, yang hijau menuju merah itu justru tidak ada. Padahal, itu sangat
penting. Dalam posisi semrawut, mau mempercepat laju, takut jika kepergok lampu
merah. Namun, jika hendak memelan takut masih lama hijaunya.
Kalau
kelamaan berhenti padahal masih hijau bisa dimarahi banyak orang, termasuk juga
polisi yang sukanya mencari sensasi. Tidak cukup itu saja, tapi sensasinya pun
harus diikuti dengan suguhan berbagai macam penawaran.
Tapi,
berhubung kini sedang agak gerimis, sepi di jalan. Ya, tidak sesepi itu juga,
sih. Namun, ya lumayanlah dari pada saat kondisi jalan sedang fit.
***
Tepatnya,
di sebelah Barat lebih sedikit dari kampus UDINUS, kusisihkan motorku di dalam
gerbang kos-kosan milik Bu Sur. Usai melepas jas hujan yang sangat belepotan
oleh cipratan air comberan di sepanjang jalan, aku siap untuk menarik uang.
Kos-kosan
Bu Sur ini membentang dari timur ke barat; ada sepuluh kamar di sana. Sedang di
berandanya, tak ada genteng penadah hujan hingga menuju pintu gerbang; yang ada
hanyalah genteng dengan tepian satu meter di depan-depan pintu kos. Padahal,
hanya tiga meter saja jarak antara pintu gerbang dengan berandanya.
Hujan-hujan
begini, pasti pada males keluar. Buktinya, semua pintu tertutup, beserta
sekotak jendela berukuran seperempat meter yang bertengger di samping
masing-masing pintu itu. Harus kuketuk satu per satu agar keluar penghuni dari
kamar kos yang berukuran tiga kali tiga meter itu.
Pada
pintu pertama, seorang lelaki yang kupikir masih seumuran denganku, dengan
hanya mengenakan kaus dalam saja, keluar mencari tahu. Ketukanku itu memang
sengaja kukeraskan agar tak kalah saingan dengan kebisingan kendaraan juga rintikan
hujan.
“Siapa
ya?”
“Aku
perwakilan dari Bu Sur,” jawabku tanpa basa-basi, “mau menagih uang kos-kosan.”
Penghuni
kos itu melihat KTP Bu Sur yang kutunjukkan padanya.
“Ooo,
sebentar ya,” jawabnya yang kemudian masuk ke dalam dan keluar lagi dengan
membawa uang dua ratus ribu untuk diserahkannya padaku.
“Terimakasih,”
kataku yang langsung bergegas hendak mengetuk pintu-pintu selanjutnya tanpa
melipat selembaran tanda tangan pembayaran uang kos yang kutenteng.
“Anaknya
Bu Sur, ya?” tanya penghuni kos di pintu selanjutnya.
“Ah,
bukan,” jawabku, “cuma pembantunya.”
“Namanya
siapa, Mbak?”
“Laras,”
jawabku tak hendak basa-basi; kalau mas-mas yang tadi sebenarnya aku mau tapi
kalau yang ini, ah, tidak dulu, deh.
“Mbak,”
cegah penghuni kos di kamar nomor lima.
“Ya.”
“Kamu
nggak gantian tanya namaku?”
Tak
terlalu kuhiraukan cowok-cowok yang belum matang itu. Melihat wajah imut-imut
mereka sudah tak menghilangkan nafsu birahiku. Masih pada kecil begitu, kok.
Mungkin baru masuk kuliah di tahun pertama ini kali.
Kalau
mas-mas yang tadi sih kayaknya sudah dewasa. Tapi sayangnya, justru dia yang
tidak meladeniku lebih jauh lagi. Hualah, dasar sial.
Tapi
ngomong-ngomong, sepertinya memang ada semacam konspirasi besar di antara para
penghuni kos-kosan di komplek ini. Belum sempat mengetuk pintu saja, sudah pada
keluar itu para penghuni. Seolah-olah kayak ada kabel penghubung yang segera
disalur-salurkan oleh penghuni kos yang satu ke lainnya.
Mungkin,
pada SMS-an di dalam sana. Meskipun, jelas tidak semua. Buktinya, kamar nomor
sembilan tetap tertutup rapat sekali. Saat kuketuk pun, agak lama juga membukanya.
“Siapa?”
tanya penghuni kos yang ada di dalam sebelum ia keluar menemuiku.
“Dari
Bu Sur, mau narik uang kos,” jawabku setengah berteriak.
“Sebentar.”
Sebentar,
sebentar tapi ternyata cukup lama juga. Mungkin, sedang ketiduran atau
bagaimana. Tiga menit kemudian, pintu itu baru terbuka. Menyusul kemudian,
sesosok lelaki bermata elang yang sudah aku kenal, muncul dari balik pintu
nomor sembilan.
Sejenak,
mulutku sempat tersenyum reflek dengan binar-binar di mataku yang hampir
memecah saking tidak percayanya. Jantungku pun berdetak kencang sekali begitu
mendapatinya mematung kaku selayaknya aku.
Lelaki
yang hanya mengenakan kaus dalam beserta celana pendek itu terlihat kusut
sekali wajahnya. Memang baru bangun tidur sepertinya. Ketika mendapatiku yang
agak melongo dengan mataku yang melotot penuh keheranan, kudengar dia menyebut
namaku dengan nada suaranya yang mengisyaratkan rasa setengah tak percaya pula.
“Laras?!”
Ketika
mulutku ini belum sempat gantian mengucapkan namanya, seorang perempuan muncul
pula dari dalam kamar kos nomor sembilan itu.
“Siapa,
Beb?” tanyanya sambil setengah merapikan rambutnya yang agak acak-acakan.
Perempuan
itu juga hanya mengenakan celana pendek yang berkisar sepuluh centi di
atas lutut. Sedang atasannya, dia hanya mengenakan BH yang dilapisi dengan
kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan.
Begitu
melihatku, perempuan itu malah mendekat dan menggelendot erat sekali pada
lelaki yang masih mematung di hadapanku itu.
Kontan
saja, ekpresi di wajahku itu kurasakan berubah dengan sendirinya.
“Dia
siapa, Beb?” ulang perempuan itu.