Cerbung Episode ke 42…
Oleh
Sofi Muhammad
Pertemuan
kami ini kurasakan mampu untuk mengembalikan setiap kepingan jiwaku, khayalan
kosongku yang sempat terputus di tengah jalan. Meski pada kenyataannya memang
tak sesempurna sebagaimana yang aku harapkan. Tapi, hati kecilku tak pernah
menuntut kesempurnaan itu.
Arya,
dia kembali saja aku sudah bahagia tiada terkira. Kalau sedang tidak sibuk pun,
dia mau juga menemaniku menarik uang kos. Lagi pula, cemburu katanya kalau
sampai aku sendirian ke mana-mana.
“Nanti
kalau kamu kecantol cowok lain gimana?”
“Ah,
maunya sama kamu saja, Ras.”
“Gombal
banget itu,” jawabku ketus sekali, “kemarin saja sampai syok banget aku lihat
kamu.
“Pasti
kamu mau bunuh diri, kan?!”
“Iya!”
Kini,
sudah tak hendak bunuh diri lagi. Maunya terus hidup hingga tiada akhir.
Menikmati gumpalan awan yang melintas di atas kepala. Merasakan kabut yang
muncul di pagi hari sembari mendengarkan suara cicit burung yang bertengger di
atas dahan.
Semua
mentari, ribuan kunang-kunang, serta seikat mawar di halaman, tak patut sangat
jika begitu saja aku tinggalkan. Begitu pula dengan dedaunan baik yang
menguning atau menghijau. Satu per satu, semuanya mengguyur bak lautan pelangi
yang mengguyurkan sinarnya di atas kepala.
“Laras,
kalau aku lagi bercinta sama cewekku to, yang aku bayangin pasti kamu.”
“Bohong!”
“Sumpah!”
“Dasar
kamu playboy banget ternyata,”
kukatakan itu sambil tersenyum tentu.
“Kan
cuma nyambi, Ras,” jawabnya, “kalau sudah ketemu kamu, aku gak bakal nakal lagi
kok.”
Iya,
iya, wanita memang senang sekali kalau digombali. Meski ya tidak percaya
seratus persen tapi senang saja begitu. Seolah-olah, itu memang sudah menjadi
garam yang tak akan boleh lepas dari segala jenis hubungan antar sayur.
Kalau
tak digombali malah serasa tak berarti sekali hidup ini. Hambar, pengap, gelap.
Seolah kata-kata tak berbobot itu malah menjadi kebutuhan yang tak bisa
dihindarkan.
“Biar
aku yang nagih, Ras,” kata Arya, “kamu nunggu di motor saja.
“Aku
saja nggak papa. Kamu yang di motor.”
“Biar
aku saja, Bawel.”
***
Hingga hari-hari berikutnya, Arya semakin
sering mengunjungiku. Jika malam pun, rasanya sepi sekali jika berlalu tanpa
kegombalan kami masing-masing. Melalui telepon atau pesan singkat, apa sajalah.
Mulai
kepulanganku sekitar jam empat sore, Arya biasanyanya sudah standby. Kuliahnya yang sudah sampai
semester sepuluh pun malah semakin ia biarkan begitu saja. Jika bosnya sedang
berada di luar kota seperti itu, bisa tambah santailah dia mengunjungiku.
“Kamu kelihatan cantik kalau pakai baju itu,Ras,” katanya yang mulai menggombaliku lagi. Memang baru mandi juga sih
tadi.
“Emang
biasanya nggak cantik?” tanyaku pada Arya yang sedari tadi mengamatiku menyisir
rambut basahku di depan cermin.
“Ya,
tambah cantik saja, begitu,” tambahnya yang segera mendekatiku kemudian
memberikan belaian tangannya untuk menyibakkan rambut yang menutupi leherku.
Kami
hanya berdua saja di kamar kosku. Usai menyalakan TV dengan mengeraskan
volumenya, dia kembali mendekatiku yang tengah duduk bersandar pada tepian
kasur dengan menghadap ke TV 14’ yang aku miliki.
“Kamu
sudah sejauh apa kalau pacaran, Ras?”
Jantungku
mulai berdegup keras sekali ketika ia semakin merapatkan tubuhnya yang selalu
diolesi minyak wangi itu.
“Yang
jelas, tidak sejauh kamu pasti,” jawabku pura-pura tak bereaksi.
“Emang
kamu tahu aku sejauh apa?”
“Tahu.”
“Kamu
salah paham, Laras.”
“Aku
yakin nggak!”
Arya,
dia sudah melepas jaket warna abu-abunya kemudian melemparkannya ke tepian
kasur yang berada di atas kepala kami. Setelahnya, diurut-urutnya bekas luka
tembak di lengannya itu
“Agak
nyeri, Ras,” imbuhnya.
“Sakit
banget, ya?” tanyaku lembut.
“Ras,
aku belum bilang sesuatu.”
“Apa?”
“Ah,
lupakan.”
“Ih,
Arya. Nyebelin.”
Tanpa
sadar, tanganku pun tergerak untuk meraba lenganya itu, mencoba merasakan
kesakitannya yang kuharap mampu merambati lenganku juga. Iya, karena memang
lengan itulah yang paling berjasa untuk bisa menyelamatkan hidupku, jiwaku dari
kematian yang lebih menyengsarakan dari sekadar kematian.
“Aku
sayang banget sama kamu, Arya,” kataku.
Demi
mendengar sanjunganku tadi, Arya buru-buru sekali menangkap bibirku dengan
bibirnya. Dikulumnya lekat-lekat hingga membuat dadaku ini sesak sekali
lantaran tangannya pun secara reflek meremasnya dengan sekuat tenaga.
Hari
sudah semakin menurun. Sebentar lagi, barangkali gelap akan turun. Santi belum
juga pulang meski pada jadwalnya harusnya sudah sangat sudah. Sedang penjual
bubur keliling yang biasanya kutunggu untuk mengganjal perut pun khusus hari
itu kuabaikan begitu saja.
Dari
luar kamar, tentu jelas sekali bahwa TV di kamarku pun masih dinyalakan.
Suaranya, aku yakin pasti mampulah untuk membuat tetangga kamar jadi kesulitan tidur.
Untungnya, Santi, tetangga kamarku itu memang belum pulang.
Lampu-lampu
di kamar tetangga sudah mulai dinyalakan. Namun, di kamarku sendiri tetap mati,
padam sebagaimana sore tadi. Yang ada hanya cahaya remang-remang dari pantulan
cahaya TV yang sedari tadi aku cueki.
Semakin
lama, semakin gencar saja nafas kami saling sesenggalan; bersaingan dengan
suara reporter investigasi yang sedang melaporkan maraknya pengguna formalin
pada bakso, mie ayam, dan beberapa makanan sejenisnya. Hingga sang gulita malam
benar-benar datang, kami bahkan sedetik pun, belum juga sempat keluar kamar.
Bersambung Episode ke 43…