Oleh Dito Alif Pratama
Memprihatinkan, dalam
kurun waktu terakhir tindakan
kekerasan sesksual terhadap anak kian parah.
Agung Laksono, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra)
mengatakan, berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) 2012, sebanyak 3.871 kasus kekerasan terhadap anak yang
dilaporkan oleh masyarakat. Sedangkan kekerasan yang dihimpun KPAI melalui
media sebanyak 2.471 kasus. (Merdeka.com,
02/03/13).
Tentu
kita masih ingat
dengan tragedi kematian gadis berinisial RI (11), siswi kelas V SDN 22 Pulo
Gebang, Jakarta Timur, yang diduga diperkosa dan telah menjalani perawatan
selama seminggu di RSUP Persahabatan, Rawamangun Jakarta. (Suara Merdeka, 16 /1/13). Sangat disayangkan, RI harus meninggal dunia
setelah menjadi korban syahwat manusia-manusia biadab yang tidak bertanggung
jawab.
Fenomena semacam ini sudah
seharusnya dijadikan pelajaran berharga bagi kita bersama, khususnya bagi para
orang tua dan guru di sekolah untuk selalu meningkatkan kewaspadaan dan
senantiasa memberikan penjagaan dan pengawasan ekstra (ekstra protection) terhadap putra putrinya. Orang tua harus selalu mengetahui
kegiatan dan hal apa saja yang dilakukan oleh anak saat berada di dalam maupun
di luar rumah. Pun menjadi tugas guru
mengawasi anak didiknya saat mereka berada di sekolah. Tidak hanya orang tua
dan guru, fenomena ini pun mengindikasikan bahwa negara ini telah gagal menjaga
dan memberikan tempat yang nyaman bagi anak untuk berkreasi dan mengukir
prestasi demi meraih masa depan yang
lebih cerah.
Sebagaimana dipahami, Pelecehan
seksual terhadap anak merupakan segala bentuk tindakan atau ancaman tindakan
seksual yang dilakukan oleh orang dewasa, remaja, atau anak yang lebih tua pada
anak berusia di bawah umur. Praktek semacam ini bisa berupa memegang alat
kelamin anak, menyuruh anak memegang alat kelamin orang dewasa, hingga kontak
mulut ke alat kelamin maupun penetrasi vagina atau anus anak. Bentuk lain lain
dari tindakan ini bisa berupa menunjukkan alat kelamin orang dewasa kepada
anak, menunjukan gambar-gambar atau video porno hingga menjadikan anak sebagai
objek untuk melakukan hal-hal yang berbau porno. Dan umumnya, pelecehan seksual
terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat yang telah lama mengenal anak ataupun
sering kontak mata dengan anak, dan bahkan tidak menutup kemungkinan dilakukan
oleh sanak saudara dekat maupun jauh.
Kekerasan seksual terhadap
anak bukanlah suatu hal yang tidak mendatangkan dampak negatif bagi anak dan
masa depan, mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual bukan tidak mungkin
akan mengalami depresi dan tekanan mental berkepanjangan, kalau sudah begitu
akan berdampak negatif terhadap masa depan anak. Karenanya, hal semacam ini
sudah seharusnya kita berantas bersama dan sudah menjadi tugas kita untuk terus
melakukan upaya pencegahan (preventif)
dari hal yang tidak kita inginkan tersebut.
Pengawasan
Intensif
dari Orangtua
Banyak hal yang harus kita
lakukan untuk menjaga anak dari maraknya aksi kejahatan seksual, pengawasan intensif dari orang tua harus
selalu menjadi garda terdepan dalam membentengi anak dari segala jenis virus
kekerasan dan kejahatan, termasuk kekeresan seksual.
Penguatan karakter dan
ketahanan diri pada anak harus terus dilakukan, Butuh pengawasan intens dari
orang tua untuk terus mengenali putra-putrinya, mulai dari kebiasaannya hingga apa-apa
yang mereka lakukan di dalam maupun di luar rumah hingga di sekolahnya. Bentuk kasih
sayang orang tua tidak serta merta dengan membiarkan anak bermain bebas begitu saja
hingga bergaul dengan siapa saja kapanpun dan dimanapun, bagaimanapun jiwa anak
akan selalu membutuhkan pengawasan, perhatian dan kasih sayang dari orang
terdekat, khususnya orang tua terlebih dari sosok seorang ibu.
Anak di bawah umur umumnya lebih terbuka
dan lebih mempercayai sosok ibu untuk dijadikan tempat “curhat” dan menceritakan hal apa saja yang baru dialami dan
dikerjakanya. Karenanya, bimbingan dan nasehat seorang ibu akan memberikan
kenyamanan dan ketentraman dalam jiwa anak, itulah yang sejatinya sangat
diharapkan.
Tidak hanya itu, anak
kiranya juga harus diberikan pengenalan tentang hak dan tanggung jawab terhadap
kesehatan reproduksi sejak dini juga beberapa organ tubuh vital yang sensitif
yang harus benar-benar dijaga dan tidak boleh diperlihatkan begitu saja kepada
orang lain, upaya ini bisa dilakukan langsung oleh orang tua maupun guru di
sekolah di sekolah.
Dalam hal ini, pemerintah pun tidak boleh
tinggal diam, harus ada langkah konkret dan tegas untuk bisa memberantas aksi
kekerasan terhadap anak anak. Bagaimanapun masa depan anak juga merupakan
tanggungjawab dan tumpuan negara.
Penegakan hukum secara tegas
bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak kiranya perlu diterapkan sejak saat
ini. Sebagaimana diutarakan oleh Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan
Anak, hukuman yang pantas bagi pelaku tersebut minimal 20 tahun penjara dan
maksimal seumur hidup. (Kompas.com,
13 Januari 2013). Hal ini juga kiranya perlu dipertimbangkan lebih matang oleh
pemerintah dan secepatnya direalisasikan. Dengan begitu akan ada payung hukum
yang jelas dan siap mengawal anak dari hal-hal negatif yang tidak diinginkan.
Dan hemat saya, sistem penanganan pemerintah
dalam mengatasi kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak boleh hanya
terpusat pada upaya menghukum pelakunya saja, sehingga mengabaikan kepentingan
si korban dan keluarga korban. Dalam artian, pemerintah tidak boleh hanya fokus
memberikan efek jera hukuman kepada pelaku tetapi juga mau berupaya membantu
memulihkan korban dari penderitaan seumur hidupnya, baik dari depresi maupun
tekanan mental yang dirasakan korban maupun keluarga korban.
Namun akhirnya yang harus
kita sadari adalah bahwa kekerasan seksual terhadap anak-anak kita bisa saja
terjadi kapanpun dan dimanapun, meminjam pernyataan bang NAPI, dalam sebuah acara
di salah satu stasiun televisi-, kejahatan
terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan,
waspadalah!. Harapannya, kita selalu meningkatkan
kewaspadaan kita dan tidak sedikit pun
memberikan celah dan ruang gerak kepada orang-orang yang tidak bertanggungjawab
untuk merenggut kebahagiaan dan merusak masa depan anak-anak kita dan generasi terbaik
bangsa ini.
Dito Alif Pratama,
pemerhati
Sosial dari “Farabi Institute” IAIN Walisongo Semarang