Oleh Abdul Gaffar
Selama
ini paradigma pendidikan selalu bermuara pada keberhasilan secara makro yang
sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro yang bernama “sekolah”. Setelah
lulus, seolah Ijazah memberikan kehidupan lebih sempurna dan menjanjikan secara
ekonomi (pragmatis). Persoalannya adalah benarkah ijazah satu-satunya penentu nasib kehidupan bagi yang
sekolah? Benarkah orang yang tidak bersekolah identik dengan predikat orang
yang tidak berpendidikan?
Dalam konteks ini, penulis teringat dengan buku yang ditulis oleh seorang romo
pastur berkebangsaan Austria, keturunan Kroasia-Yahudi, bernama Ivan Illich. Ia
pernah menulis sebuah buku kontroversial, Deschooling Society
(1971) “Masyarakat Tanpa Sekolah”. Ivan
Illich menyatakan sekolah formal yang selama ini ada tidak banyak gunanya buat
mencetak orang-orang yang berkualitas tinggi.
Belajar Pada Bajak Laut
Secara singkat model belajar bajak laut adalah strategi
belajar alternatif dibanding dengan metode belajar yang sudah kita
kenal selama ini. Sebagaimana lazimnya, seorang calon pelaut akan dilatih dulu
di darat dengan berbagai kepandaian yang diperlukan di laut, seperti
tali-temali, navigasi, prosedur keselamatan, mesin dll.
Armada laut kerajaan memiliki rencana dan strategi yang
matang, mereka memperluas kekuasaan dengan penuh perhitungan. Sebaliknya, bajak
laut mencari celah-celah kekuasaan di laut dan biasanya mampu mempertahankan
kekuasaan di suatu wilayah tertentu. Seorang bajak laut pembelajar
berpeluang besar untuk menjadi ekspert di bidang wilayah tertentu.
Bajak laut belajar dengan mencoba dan terus mencoba.
Sehingga, ia akan menyadari dan memilih sendiri keterampilan apa yang
dibutuhkan untuk bertahan hidup di atas laut. Maka bercita-citalah menjadi bajak laut dalam
belajar.
James Marcus Bach -pencetus strategi belajar bajak laut-
melaui buku Secrets
of A Buccaneer Scholar,
mengatakan para bajak laut mencari kekayaan material, seperti emas batangan,
permata, dan mata uang perak kuno yang dinamai pieces of eight. Kekayaan
yang dicari oleh orang-orang yang belajar seperti bajak laut adalah kekayaan yang
tidak dapat disentuh, tetapi bukan berarti kurang berharga: berbagai jenis
pengetahuan, keahlian, rahasia-rahasia besar, keterkaitan dengan
pikiran-pikiran lain dan pribadi yang terus-menerus tumbuh menjadi lebih kuat.
Strategi proses belajar-mengajar
harus menekankan pada pemikir
bebas yang tidak terikat oleh suatu otoritas tertentu, baik otoritas ilmiah,
struktural ataupun sosial. Pada bidang-bidang yang
memiliki tradisi yang kuat, strategi bajak laut terdengar terlalu radikal.
Namun, semangatnya tetap dapat diaplikasikan secara fleksibel pada kondisi apapun.
Pendidikan yang Serba Tergantung
Ketergantungan masyarakat
terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan semacam ini menurut
Illich merupakan suatu bentuk pelembagaan nilai yang mau tidak mau pada
akhirnya akan menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan
ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam
kerangka hubungannya dengan lembaga sekolah. Misalnya, di Meksiko kaum miskin
dirumuskan sebagai orang yang tidak menempuh pendidikan sekolah tiga tahun, dan
di New York orang miskin adalah orang yang berpendidikan di bawah dua belas
tahun.
Di Indonesia, kritikan
senada ditulis oleh seorang Ajib Rosidi melalui buku menomentalnya “Hidup Tanpa Ijazah; Yang Terekam dalam Kenangan” (2008). Buku itu, tidak
lain merupakan rekaman hidup Ajip
Rosidi sendiri yang tidak asing di jagat sastra Indonesia. Percikan-percikan
pemikirannya telah memberikan konstribusi yang sangat luar biasa terutama bagi
sastra dan kebudayaan Indonesia.
Namun siapa sangka, seorang Ajib Rosidi menjadi guru besar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas
Bahasa Asing) Jepang ini bahkan tidak
memiliki ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Baginya, hidup tidak
harus digantungkan pada secarik kertas bernama ijazah. Prestasi kerja,
kemampuan dan pengakuan masyarakat terhadap seseoranglah yang dapat menentukan
seseorang dapat bekerja atau tidak.
Pada dasarnya, guru dapat memilih dan menggunakan
strategi yang tepat dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran. Karena pemilihan
suatu strategi yang tepat guna merupakan salah satu faktor penentu tercapai
tidaknya suatu tujuan pembelajaran yang memungkin materi pelajaran yang
tersusun dalam suatu kurikulum pendidikan.
Penerapan strategi pembelajaran yang kurang bervariasi
dan bersifat monoton membuat situasi dalam kelas
kurang menyenangkan sehingga siswa tidak tertarik pada materi pelajaran yang
diajarkan. Hal itu disebabkan karena dalam proses pembelajaran guru secara
aktif memberikan pengetahuan kepada siswa
sedangkan siswa hanya
pasif menerima pengetahuan dari guru.
Dengan penggunaan strategi yang bervariasi menyebabkan
suasana kelas lebih menyenangkan, sehingga motivasi dan semangat belajar siswa
timbul dengan sendirinya. Selain itu, penggunaan strategi
pembelajaran yang tidak tepat akan menjadi hambatan kelancaran jalannya
kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan
seorang guru, baru mendapat suatu hasil yang optimal jika mampu mencapai tujuan
pembelajaran yang ditetapkan.
Belajar tidak cukup hanya sekadar menguasai ilmu dan
menghafal semua teori yang dihasilkan orang lain. Belajar berarti melakukan proses
berpikir dengan melatih peserta didik agar berpikir kritis terhadap setiap
fakta yang ditemukan. Cermat dalam menemukan masalah dan kreatif dalam
menggagas solusi penyelesaiannya.
Setelah kita telusuri, model gaya belajar Ajib Rosidi
menggunakan strategi gaya bajak laut. Mari kita ajak siswa-siswa kita menjadi
bajak laut sejati dalam menentukan pilihan disiplin ilmu pengetahuan, sehingga
perkembangannya tidak terus saja terpaku kepada sekolah namun di luar sekolah.
Metode belajar mengajar sangat memengaruhi
proses pembentukan jati diri seseorang untuk berprestasi mengejar impaiannya.
Selama ini, metode baku yang digunakan di sekolah-sekolah jauh dari metode
bajak laut, karena orientasinya pada penguatan nilai ijazah.
Abdul Gaffar, pengamat Pendidikan Islam di
Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta