Oleh Achmad
Marzuki
Judul :
Republik #Jancukers
Penulis : Sujiwo Tejo
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Ketiga, Desember 2012
Tebal :
400 Halaman
ISBN :
978-979-709-677-9
Di Negeri
Jancukers mobil kepresidenan mengalah pada mobil yang mengangkut perempuan yang
akan melahirkan, siapapun perempuan itu: pakai tas hermes atau pun tas keresek
(hlm. 54). Di Negeri Jancukers akan diundangkan bahwa tidak tersenyum lebih
kejam daripada pembunuhan (hlm. 185). Dan believe it or not, di Negeri Jancukers
nyaris tak pernah ada bentrok antarsuporter bola. Karena di stadion, telah
disiapkan prasmanan. Demikian beberapa peraturan yang ada di Republik Jancukers.
Republik
Jancukers adalah negara idaman buah perenungan Sujiwo Tejo. Republik yang
rakyatnya tiada kemunafikan. Masyarakat penghuni Republik Jancukers memiliki
budaya keterbukaan. Negara Republik Jancukers tidak seutopia yang digagas
Plato, tetapi ideal seperti yang dicita-citakan para pendiri negeri ini.
Demikian kata Jakob Oetama pada pengantar. Dia melanjutkan bahwa kreativitas
yang dimiliki Sujiwo Tejo cukup nyentrik dan orisinil. Referensi yang
dipakainya berasal dari petuah-petuah kuno pewayangan. Penulisan buku ini
beraroma campur sari.
Pengasuh
rubrik mingguan (Wayang Durangpo) Harian Jawa Pos ini dikenal sebagai bapak Presiden
Jancukers. Di media, supaya jancuk tidak disensor harus ditambah “ers”.
Padahal, menurutnya, jancuk itu sebenarnya lebih merupakan simbol keakraban, simbol
kehangatan, simbol kesantaian, lebih-lebih di tengah khalayak yang penuh dengan
kemunafikan saat ini (hlm. 397). Justru jancuk harus dibudayakan. Sebab orang
yang berani bilang jancuk pada orang lain, dia telah berkata sejujur-jujurnya.
Entah saat dia marah atau sekadar menyapa teman karib.
Walaupun
buku ini berjudul Republik #Jancukers bukan berarti hanya berisi
cerita-cerita yang mengoleksi kata jancuk. “Ada banyak hal yang cuma bisa
disampaikan melalui akting, musik, dan seni rupa. Tapi juga ada banyak hal yang
cuma bisa disampaikan melalui kata-kata". Demikian alasan mengapa buku ini
ditulis oleh suami Rosana Nurbani. Buku ini berisi refleksi sang Dalang Edan terhadap
keadaan sekitar, mulai dari perilaku masyarakat hingga petinggi-petinggi negara.
Seperti
tulisan Sujiwo Tejo lainnya. Olah pikirnya cenderung ngawur dan keluar dari
jalur kebiasaan. Melihat judulnya saja pembaca akan diajak untuk tersenyum
sendiri. Bagaimana tidak, dia memberi judul seperti Jempol, Skandal Jepit,
Jomblo, Motivancuk, Toilet, Gigi, Rokok, Kemayu, Semut, Janin, Pipis, Tisu,
Tahu, Kumis, Mesin Cuci, Payudara, Masturbasi, Air Liur, Celeng, Ngeles,
Terasi, Guru TK, Cicak, Ngantuk, Rok Mini, Mens, Ngutang, dan pamungkasnya paling
terakhir berjudul Jancuk.
Dalam
tulisannya berjudul Cermin (hlm. 358-360) ia menulis, di Indonesia, entah itu
lelaki atau perempuan, jika melihat kaca cermin pasti akan bercermin.
Penampilan luar selalu saja direkayasa agar terlihat cantik, tampan, dan
menarik. Saking rajinnya bercermin, kaca hitam mobil jadi layar tatapan, bahkan
cat mobil yang kinclong jadi sasaran. Tidak demikian di Republik Jancukers.
Para ilmuan mulai berusaha membuat cermin jiwa. Caranya dengan memperbaiki
prilaku pribadi masing-masing. Sehingga siapapun yang melihatnya seakan
bercermin dan akan merubah prilakunya menjadi lebih cantik, tetapi bukan
pencitraan belaka.
Dari
tulisan Cermin ini, pembaca diajak untuk instrospeksi diri agar tidak hanya
mempercantik tampilan luar saja. Tetapi yang terpenting adalah tampilan jiwa,
tampilan hati. Tidak sedikit kita melihat para koruptor selalu menebar senyum
dan janji pada rakyat. Sekarang bukan waktunya lagi tertipu. Masyakarakat kian
cerdas, seyogianya para pemegang kuasa berbenah diri dengan melaksanakan
tugasnya secara profesional dan bertanggungjawab.
Menelusuri
halaman demi halaman pada buku setebal empat ratus halaman ini, membuat kita
merasakan betapa uniknya gagasan seorang Dalang Edan. Keberaniannya menyatakan
diri sebagai sosok yang ngawur
menjadikan ia kian langka. Pada dasarnya, apa yang ia kerjakan hanya berdasar
keinginan hati, meskipun terlihat ngawur di mata pecinta kesopanan. Dunia
sekarang ini terlalu mementingkan kesopanan ketimbang tatakrama. Seperti
perampok negara yang berjas safari dan menebar senyum.
Dalam
artikel lainnya yang berjudul Toilet (hlm. 21-24), Dalang Edan mengajak kita
agar selalu menjaga kelestarian ekologi bumi. Toilet masa kini tidak lagi
memiliki air, melainkan tisu. Bagi Sujiwo Tejo, air lebih praktis. Dari sisi
sampah, air tidak memerlukan tempat sampah. Hanya diperlukan saluran air yang
meresap ke tanah. Dengan tisu, kita membutuhkan tong sampah dan menguras hutan.
Mendingan kayu hutan dijadikan kertas buku daripada dibuat hanya untuk
membersihkan bokong.
Menghibur
sekaligus mencerahkan. Jenaka tanpa harus melupakan persoalan bangsa. Begitu
kuat kecintaan dan kerinduannya terhadap sejarah masa lalu serta budaya yang
diwarisi. Sebesar kecintaannya terhadap negara, sehingga ia mau menghabiskan
energinya untuk membedah beragam peristiwa teraktual dengan sudut pandang yang
beraneka. Itulah kesan dan apresiasi atas sosok bernama Sujiwo Tejo dalam buku
ini.
Achmad Marzuki, Pegiat
Farabi Institute,
Anggota CSS MoRA
IAIN Walisongo Semarang