Oleh Sam Edy
Yuswanto
Judul : S.O.S., Strategi Orang Sukses,
Bisnis
Penulis : Tim Bisnis Indeks
Penyunting : Andiek
Kurniawan
Penerbit : Tangga Pustaka, Jakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : xviii + 276 halaman
ISBN : 979-083-059-9
DR. Ponijan Liaw, M.Pd., Komunikator No.
1 Indonesia, dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa dunia bisnis adalah mesin
pemutar transaksi kehidupan masyarakat. Mesin itu akan menjadi ‘benar’ bila
didesain dan disusun dengan benar. Mesin yang ‘benar’ akan berfungsi
sebagaimana mestinya (benar) bila ia tidak dimanipulasi demi kepentingan serta
keuntungan sesaat pada saat pengoperasiannya.
Menjalankan bisnis, memang tak melulu bicara
soal keuntungan, modal, pasar, produk atau jasa, distribusi atau sumber daya
manusia. Tapi lebih dari itu, ada berbagai balutan dalam berbisnis yang akan membuat
usaha tersebut menanjak. Balutan bisnis terbagi dalam tiga bagian besar; Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) (hlm. 1).
Bisnis dan Intelligence Quotient (IQ) adalah dua hal yang saling berkaitan. Dengan
mengadaptasi IQ, seseorang akan lebih nyaman menjalankan bisnisnya. Pada
umumnya, pebisnis tipe ini telah mempersipakan diri dan bisnisnya secara
matang. Sebelum terjun ke dalam bisnis yang dipilih, ia tak mau sembarangan. Ia
akan mencari informasi terlebih dulu guna memantapkan langkah yang akan
diambil. Namun ia memiliki sisi negatif, yaitu sering telat memasuki pasar (hlm.
2-3).
Ciri-ciri pebisnis yang mengedepankan
emosi (Emotional Quotient/EQ) antara
lain; cepat belajar dan cepat pula mengambil keputusan. Ia lebih mengedepankan ‘feeling’
ketimbang rasio berpikir. Ia tak memiliki perhitungan yang rumit untuk memulai
bisnisnya. Sisi negatifnya, ia mudah dipengaruhi oleh sesama pebisnis. Sementara
tipe pebisnis yang membalutkan dirinya dalam Spiritual Quotient (SQ) biasanya lebih mengedepankan moralitas
serta etika. Mereka tak mau menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan
seperti yang kerap kita dengar dalam dunia kompetisi bisnis dewasa ini. Tak ada
sisi negatifnya bagi pebisnis tipe ini, karena ia memiliki prinsip ‘untung
sedikit tak apa, yang penting tidak membohongi publik dan bisa memuaskan
pelanggan’ (hlm 4-9).
Dalam melakukan interaksi sosial,
masyarakat setuju bahwa ada etika yang membuat tindak-tanduk seseorang tetap
berada dalam koridor yang telah disepakati bersama, meski tidak tertulis. Begitu
juga dalam dunia bisnis, terdapat etika-etika yang harus dipahami dan dilakoni
oleh pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya. Aturan bukanlah etika, tapi
merupakan rambu-rambu yang harus dipahami. Sedangkan etika lebih mencerminkan tindak
kesopanan, kebiasaan dan tata karma dalam berbisnis. Sayangnya, mayoritas
pebisnis lebih memuja keuntungan ketimbang mengedepankan etika. Ya, tujuan
berbisnis memang mencari laba, tapi laba yang dimaksud sebenarnya ‘tidak hanya’
dalam bentuk uang. Keuntungan masa depan dengan menjadikan etika sebagai
koridornya jauh lebih besar lagi. Diantara etika bisnis yang harus dipegang
teguh adalah kejujuran, tak menjelek-jelekkan kompetitor dan selalu menghormati
eksistensi orang lain (hlm. 11-14).
Kejujuran menempati urutan teratas dalam
berbisnis. Kepercayaan akan menjadi tinggi bila masing-masing pihak memegang
kejujuran. Memang sangat menggiurkan mendapat keuntungan besar dengan melanggar
kejujuran. Tetapi hal tersebut tak akan membuat bisnis kita berkembang menjadi
besar, bahkan ada kemungkinan akan menguncup, mengering dan mati. Keuntungan
memang akan didapat ketika ketidakjujuran diambil sebagai sebuah pilihan.
Sayangnya, keuntungan itu hanya datang sekali, sementara bisnis yang
berlandaskan kejujuran akan menyedot banyak keuntungan berulang kali (hlm. 16).
Setiap orang bisa menjadi pebisnis, namun
tidak semua orang bisa menjadi pebisnis sejati. Seorang pebisnis sejati akan
mencurahkan diri, waktu, dan pemikirannya untuk bisnisnya sendiri, tidak hanya
mencari keuntungan semata, tapi berusaha memberikan kesejahteraan pada
lingkungan dan masyarakat sekitarnya (hlm. 32). Seorang pebisnis sejati tak
akan pernah berhenti menambah ilmunya agar semakin pintar dalam menjalankan
bisnisnya. Para pebisnis sukses akan selalu menambah ilmunya dengan
membaca-baca buku yang sesuai dengan ilmu bisnis yang ditekuninya.
Sukses menjadi tujuan hampir semua orang
di dunia ini, apa pun latar belakangnya. Mark Elliot Zuckerberg adalah contoh
pebisnis sukses muda yang kreatif. Ia berhasil memanfaatkan kebutuhan jaringan
pertemanan melalui facebook-nya. Thomas A. Edison, penemu lampu pijar, dan
Konosuke Matsushita, pendiri Panasonic, adalah dua contoh pemuda antigalau pada
zamannya. Secara umum, orang muda yang sukses memiliki kesamaan generik, yaitu;
berani, kreatif, antigalau dan terus mencoba. Kegagalan dalam mencoba adalah
hal biasa. Yang terpenting adalah segera bangkit dan mencoba lagi dengan ‘cara’
lain (hlm. 115).
Buku yang kaya motivasi ini mengajak
pembaca untuk melakukan bisnis yang sesuai dengan etika bisnis dan kemoralan
yang berlaku secara universal. Menariknya lagi, di tiap bab disertakan
pengalaman suka-duka dari para pebisnis yang akan memotivasi sekaligus menginspirasi
pembaca.
Sam Edy Yuswanto, penulis lepas bermukim di Kebumen.