Oleh
Aminuddin
Setelah kita sering
dipertontonkan oleh berbagai pelanggaran sosial, budaya, hukum, dan lainnya,
baru-baru ini, kita lagi-lagi dipaksa
menyaksikan peristiwa keji yang dilakukan oleh salah perusahaan.
Praktek keji tersebut terjadi
di salah satu perusahaan limbah
aluminium, Lebak Wangi, Tangerang, Banten. Praktek perbudakan itu baru
terungkap setelah hampir delapan bulan. Hal ini terkuak ke permukaan setelah salah
satu pekerjanya berhasil melarikan diri. Selain tidak memperoleh gaji selama hampir
delapan bulan, para korban di tangerang tersebut tidak mendapatkan makanan,
pakaian yang layak, dan tempat tinggal yang memadai.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) Februari 2013 tercatat, dari jumlah angkatan kerja yang
mencapai 121,2 juta orang sekarang, terdapat sekitar 7,17 juta pengangguran.
Masih banyak pencari kerja dengan kualitas rendah yang sangat mengharapkan
pekerjaan. Dari data tersebut dapat dipahami bahwa masih banyak orang yang
menganggur atau tidak punya pekerjaan. Sementara kebutuhan hidup kian
meningkat.
Masih maraknya kasus perbudakan disertai penyekapan dan
penyiksaan puluhan buruh di sebuah pabrik kuali di Tangerang, menjadi bukti
betapa lemahnya pengawasan pemerintah terhadap praktik-praktik tidak manusiawi tersebut. Tindakan dan perilaku yang melebihi batas
normal dan menjurus ke penjajahan menjadi contoh kesejahteraan para buruh
sangat jauh dari harapan.
Ada
beberapa langkah untuk menghentikan praktik perbudakan yang mesti segera dilakukan. Pertama, meningkatkan
kontrol tehadap pabrik-pabrik dan perusahaan yang ada di berbagai daerah. Di sini peran masyarakat sebagai kontrol sosial harus berperan aktif dan lebih jeli dalam melihat
gejala-gejala yang terjadi di sekitarnya.
Jika ada
pbrik atau perusahaan yang mencurigakan,
partisipasi masyarakat adalah melaporokan ke pihak berwanang. Peran organisasi
kemasyarakatan menjadi penting mengingat organisasi tersebut merupakan salah satu organisai
yang bisa mewadahi aspirasi masyarakat, sehingga memudahkan untuk mengontrol ke
tingkat paling bawah. Di sisi lain, peran Kepala Daerah sangat penting untuk tidak
sekedar memberi teguran kepada peusahaan yang nakal. Sudah saatnya meghetikan berbagai
tindak pelanggaran yang membuat kesengsaraan dan kesenjangan kepada orang lain.
Kedua, membuat regulasi terkait dengan pabrik-pabrik atau
perusahaan, sehingga memudahkan aparat untuk mengontrol perusahaan yang “nakal”.
Dengan demikian, pemerintah akan lebih leluasa untuk mengatur segala
kemungkinan yang terjadi di masyarakat, termasuk meningkatkan control lebih
solid. Pemerintah juga bekerja sama dengan oragasisasi kemasyarakatan yang ada
di setiap daerah. Dengan demikian, pemerintah semakin jeli dengan praktek
pelanggaran yang ada di masyarakat.
Ketiga, menghentikan pabrik-pabrik yang terindikasi melanggar berbagai
pelanggaran yang telah ditentukan. Dalam hal ini, pabrik atau perusahaan sudah tidak bisa ditolerir lagi apabila hampir
semua aktifitas yang dilakukannya melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku di masyarakat atau dalam hukum formal. Jika hal itu terus dibiarkan,
hukum sebagai perangkat yang canggih (super body) akan mudah dijinakan
hanya dengan kepentingan induvidu atau
kelompok.
Upaya di atas hanyalah
sebagian kecil dari upaya kita untuk
memberantas berbagai praktek-praktek perbudakan di pabrik atau perusahaan.
Masih banyak ha-hal yang bisa dilakukan untuk mengihentikannya. Semoga adanya
upaya-upaya kecil tersebut pemerintah, wakil rakyat, dan masyarakat tidak lagi
tersandera oleh pelanggaran-pelanggaran sosial.
Aminuddin, lahir di Pamekasan,
mahasiswa Program Studi Matematika, Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.