Oleh Khoirul Anwar
Beberapa waktu yang lalu, perseteruan antara Eyang Subur dan
Adi Bing Slamet cs, mengundang perhatian khalayak. Entah kebetulan atau tidak,
salah satu pihak mengatakan dirinya orang Jawa. Seperti kebanyakan orang Jawa
lainnya yang masih menganut kejawen. Sayangnya, pihak Eyang Subur dikatakan
sebagai paranormal, dukun atau sejenisnya. Yang dalam memutuskan perkara berdasarkan:
atas bisikan eyang gaib.
Hanya saja, saya
terusik ketika “kejawen” selalu disandingkan dengan dukun. Seakan jawa dan
kejawen dipreteli hanya menjadi dukun, kembang tujuh rupa, asap dupa, dan
kleniknya. Entah, siapa atau pihak mana yang memulai menyempitkan kejawen hanya
sebatas tataran tersebut. Sedangkan
dukun, tidak hanya dimiliki oleh Jawa. Di Kalimantan ada “dukun”, di pulau
nusantara lainnya pun ada. Bahkan, di belahan dunia lainnya juga ada. Hanya
penyebutannya saja yang berbeda. Lantas, benarkah kejawen itu dukun? Klenik
atau mistik? Benarkah, di era kepercayaan, kejawen lebih dekat dengan sesat dan
irasional?
Kejawen, jika mendengar, yang muncul bayangan asap dupa,
kembang tujuh rupa, dan sesajen. Atau, blangkon, keris terselip di pinggang.
Ya, apa yang nampak di depan mata terkadang mendahului yang seharusnya tidak
didahului. Yang di depan mata menjadi segenap ukuran bahwa “A” itu ya begitu:
yang terlihat sebagai “A”. Pandangan, cara berfikir pun mentok di titik yang
tersaji. Padahal, boleh jadi, “A” memiliki sejuta rupa yang tak terlihat,
sejuta makna yang tersembuyi, bahkan “A” bukan “A” yang nampak. Itu hanya
tanda, ada petanda di baliknya.
Kejawen bukanlah dupa. Bukan asap-asap kemenyan. Bukan
blangkon di kepala manusia. Bukan pula kemben wanita. Itu semua adalah penanda
dari sebuah petanda. Wilayah penanda lebih sempit dibanding petanda. Sebab, ia
hanya wakil. Ia hanya bentuk. Ya, kejawen memang tak lepas dari Jawa, bukan
pulau Jawa. Sedangkan, orang Jawa adalah nggone
semu.
Sayangnya, dalam Bahasa Indonesia, semu berkonatasi negatif:
tipu muslihat. Mungkin, yang tepat, semu “Jawa” dan semu “Indonesia” harus
dibedakan. Sebab, semu “Jawa” bukanlah tipu muslihat atau ingin mengelabui liyan. Memang, semu “Jawa” juga
tujuannya menutupi yang asli, tetapi bukan berarti itu menipu. Jika ingin
mengetahui semu “Jawa” berarti harus menelusuri tata laku hidup orang Jawa.
Pola pikir yang dianut dan tata cara hidup dengan liyan.
Orang Jawa selalu mengedapankan golek slamet, cari selamat. Ini bukan berarti mementingkan dirinya
sendiri, tetapi slamet sekabehane. Selamat
itu semacam harmonisasi. Ada keseimbangan (equilibrium)
di dalamnya. Dan, ini bisa ditempuh dengan pengendalian diri, mencegah friksi,
mengamalkan agama atau kepercayaan sebaik mungkin. Tak ayal jika dalam unen-unen ada angger-angger (hukum) dan wewaler
(larangan) yang harus dijalani dan dipatuhi.
Maka, dalam tradisi Jawa tak ada sesuatu yang diungkapkan
terus terang. Meski, itu sebenarnya layaknya diterusterangkan. Namun, manusia Jawa
tidak mburu kepiye benere melainkan kepiye becike. Mengedepankan bener lan pener. Ada empan lan papan yang diutamakan semua
itu, tujuannya hanya satu, yakni memayu
hayuning bawono, nggayuh slamet nir
sambikolo.
Saya yakin, jika orang-orang Jawa tidak wani ngalah, punya napas landing,
maka yang sering timbul hanyalah konflik. Bayangkan, sejak pra kerajaan sampai
demokrasi yang segala macam paham mudah
blusukan, orang Jawa masih siap menerimanya. Lantas, apakah sikap wani ngalah menunjukkan orang Jawa tak
punya keberanian? Penakut? Lebih suka di “bawah” daripada di “atas”?
Tunggu dulu, mengalah bukan berarti kalah. “ngalah” lebih
dekat dengan berjiwa besar, punya potensi menang tetapi lebih baik tidak
ditonjolkan. Sebab, menang dan kalah bukan terletak pada gebyar yang terlihat
mata. Pun, manusia Jawa tidak hanya punya senjata ngalah saja. Seperti yang dituliskan oleh Bambang Pranowo dalam
buku “Orang Jawa Jadi Teroris”, bahwa manusia Jawa punya tiga filosofi “Nga”: ngalah, ngalih, dan ngamuk. Ketiganya dijiwai oleh karakter wayang, yakni: ngalah itu sifatnya Puntodewo, ngalih lebih dekat dengan sifatnya
Arjuno, sedangkan ngamuk lebih dekat
dengan Werkudoro alias Bima.
Ketiganya mengarungi alam kasunyatan Jawa. Iman Budhi
Santoso menggambarkan dengan apik tentang Jawa, yakni sebagai telaga. Ia tidak
memanggil ikan, lumut, maupun ganggang dalam habitatnya. Ia tidak menetapkan
undang-undang patembayatan bagi
setiap makhluk dan benda-benda yang berada di sana. Ia hanya menampung,
menerima dengan tangan dan hati terbuka setiap materi dan fenomena yang berasal
dari mana pun. Maka, telaga itu pun tidak dapat diklaim sebagai milik ikan,
milik ganggang, milik cacing, melainkan milik semua yang tinggal dan tumbuh
kembang di dalamnya.
Fenomena tumpek bleg-nya
berbagai “barang” itulah yang kemudian memunculkan kejawen. Ibaratnya, kejawen
itu adalah sistem “metabolisme”: kapan mengunyah, kapan ia memuntahkan, kapan
pula dia tidak menelan, ada waktunya. Kejawen itu semacam penjaga keharmonisan
segala yang tumpah ruah di dalam telaga tersebut. Kejawen menurut para
penganutnya merupakan cara untuk menghayati dan mewujudkan nilai-nilai rohani
manusia agar yang bersangkutan dapat mencapai kasunyatan hidup sejati, berbudi
luhur, dan mewujudkan kesempurnaan hidup.
Ada yang bilang jika kejawen merupakan hasil akulturasi
maupun sinkritisasi dari budaya-budaya yang pernah ada di Jawa. Ya, mungki saja
begitu. Tetapi, saya cenderung menilai kejawen merupakan proses kreatif manusia
Jawa dalam menanggapi budaya-budaya lain yang ada di dalamnya.
Dalam sejarahnya, ketika modernisasi merambah dan merebak di
Jawa, muncul stigma negatif tentang kejawen. Seperti yang telah ditulis di
atas: kejawen selalu diasosiasikan dengan klenik, mistik, dan ornamen-ornamen
lain yang terkesan irasional. Boleh saja memandang begitu, namun jangan luput
dan berhenti memandang sebatas tataran tersebut. Perlu menyelam lebih dalam.
Memang, dalam kejawen, ada yang irasional. Dan, ini tidak
hanya kejawen yang memiliki: budaya lain pun ada, dan dalam agama pun juga ada
hal-hal yang irasional. Irasional sendiri bukan berarti hal yang tidak terjamah
oleh akal (rasional), melainkan belum/ketidakmampuan pikiran menembusnya.
Sehingga paling mudah menyebutnya sebagai irasional.
Dengan kata lain, irasioanal hanyalah bagian dari kejawen.
Kejawen tidak sama dengan klenik, mistik yang cenderung dirahasiakan. Meskipun,
mungkin, terdapat hal-hal seperti itu, namun mistik dan klenik hanyalah bagian
dari paham kejawen, sebagaimana terjadi pula pada paham-paham lain dalam adat
budaya dan kepercayaan lokal di Nusantara.
Kejawen adalah ide, pola pikir dalam bersikap, dan menata
batin serta kehidupan sebagaimana nilai-nilai yang diakui kebaikan dan
kebenarannya oleh manusia Jawa. Itu semacam filsafat, dan sekaligus konsep
hidup. Kejawen bukanlah agama dan tidak pernah akan dijadikan sebagai agama.
Nah, jika kita menemui blangkon, sorjan, atau bahkan yang
agak mistik, misalnya dupa, janganlah terburu-buru mengatakan itu kejawen.
Sebab, itu semua belum tentu kejawen seutuhnya. Toh, bukankah sekarang hal-hal
semacam itu mudah didapat dan mudah dipakai? Setiap perayaan budaya, misalnya,
banyak yang gegap gempita memperagakan meski laku hidupnya jauh dari panggang api
“kejawen”? Kejawen itu tata laku. Ia semacam “metabolisme” yang tujuannya
menjaga “telaga” Jawa agar tetap harmonis dengan segenap isinya.
Yogyakarta, 30 April 2013
*Disarikan dari Buku “Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, dan
Intisari Ajaran” karya Iman Budhi Santoso yang diterbitkan Memayu Publishing,
Yogyakarta (2012)