Oleh Ahmad Ubaidillah
Sumber: regional.kompas.com |
Hingga saat ini, dalam bidang politik, semangat reformasi yang pernah
digelorakan para aktivis mahasiswa, tokoh reformis, dan masyarakat umum, belum menciptakan
tatanan politik berkualitas tinggi. Alih-alih menerbitkan politik
mensejahterahkan rakyat, reformasi justru “mereproduksi’ tontonan politik yang
remeh-temeh, terutama sekali menjelang Pemilu 2014 mendatang.
Meskipun telah merentang selama 15 tahun pada Mei 2013 ini, namun realitas
politik yang diciptakan para politikus semakin menunjukkan sisi rendahnya.
Politik berkualitas tinggi, yang salah satunya dicirikan sikap idealisme
mengutamakan kepentingan rakyat, telah “’dibanting setir” menuju sikap
pragmatisme mengutamakan kepentingan diri dan kelompok (partai) nya.
Konsekuensi logis yang harus diterima akibat “daur ulang” banalitas politik
adalah hadirnya ruang-ruang
publik politik yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat dangkal,
yang
tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Berbagai tindakan politik
(pilihan politik, kebijakan politik, strategi politik, keputusan politik)
sangat dibentuk oleh sifat populerisme, sehingga terperosok ke dalam
“pengkerdilan politik”. Pendeknya, negara dikelola oleh politik yang
remeh-temeh.
Kasus-kasus
hukum seperti korupsi, pencucian uang, dan suap yang menyeret beberapa
politikus yang ditampilkan media massa akhir-akhir ini menunjukkan betapa para
politikus tidak becus menjalankan politik yang berwibawa. Kekusaan politik kini
dibuat alat untuk mengeruk kekayaan negara entah melalui kekuasaan legislatif,
eksekutif, atau yudikatif. Di sinilah politik telah menjelma menjadi “mastodon-mastodon”
yang siap memakan harta milik rakyat.
Politik
dinasti yang dinilai banyak kalangan telah mencederai prinsip demokrasi atau
fenomena keterlibatan calon legislatif (caleg) dari kalangan artis yang kemampuan
politiknya meragukan juga bisa dikatakan manisfestasi keremeh-temehan politik. Di
sinilah kita bisa menyaksikan betapa pemimpin-pemimpin parpol gagal menciptakan
kader-kader berkualitas tinggi dari internal partai. Di sini pulalah kita bisa
melihat betapa popularitas artis dijadikan “mantra politik” untuk mendulang suara rakyat.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa banyak praktik politik yang dijalankan politikus-politikus
di negeri ini berlumuran intrik dan tipu daya. Sudah menjadi pengetahuan rakyat
bahwa pemimpin partai politik sebagai “orang tua” seringkali melindungi
sebagian kadernya yang terlibat kasus hukum, misalnya korupsi.
Semua banalitas
politik tersebut jelas berpotensi besar merusak tatanan kebangsaan dan
kenegaraan. “Politik biasa-biasa saja” sangat mungkin menyebabkan lembaga eksekutif,
legislatif dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, mengalami krisis
kepercayaan dari rakyat. Masyarakat pun menganggap politik sebagai aktivitas
tipu daya, berbohong atau curang. Kalau sudah begini keadaanya, kehancuran
bangsalah yang akan terjadi.
Oleh karena
itu, menjunjung tinggi moralitas dalam berpolitik tak bisa ditawar-tawar lagi. Menjamah
kemerdekaan iman dan akal sehat dalam berpolitik harus dihindari sejauh mungkin.
Citra buruk politik akibat perilaku tak bermoral politikus harus disegera
dibenahi. Partai politik sebagai salah satu pilar negara demokrasi juga harus
ikut mendukung penuh penghadiran nilai-nilai moral dalam menjalankan mesin-mesin
politiknya.
Moralitas
Politik
Para
politikus di negeri ini, terutama yang terlibat korupsi, perlu menyadari bahwa
politik bisa menjadi baik apabila memiliki landasan moral yang kuat. Tingginya
moral politik akan menyebabkan keselamatan dan kesejahteraan bangsa dan negara.
Dalam konteks inilah politik memerlukan orang-orang yang baik, orang-orang yang
memiliki moral yang tinggi.
Sebenarnya,
di negeri Indonesia ini, jumlah orang baik tidak kurang untuk mengisi
struktur-struktur kenegaraan yang ada. Namun yang menjadi masalah mendasar
adalah mereka sering lupa, bahkan pura-pura lupa ketika sudah duduk di tampuk
kekuasaan. Wajah idealis mereka berubah menjadi pragmatis. Bahkan, politikus
yang baik, sengaja disingkirkan lawan politiknya demi politik pragmatis ini (memburu
kekayaan dan kekuasaan).
Adalah
suatu kewajiban bagi seorang politikus untuk tidak menciptakan ketegangan
antara moralitas dan politik. Anggapan sebagian besar masyarakat bahwa politikus memiliki integritas moral
yang rendah dan sering melakukan hal-hal
buruk, termasuk berbohong, korupsi, suap, dan sebagainya, perlu menjadi
perhatian utama elite-elite politik di negeri ini.
Ini
mengandung makna bahwa para politikus harus benar-benar menjalankan tujuan politik
itu sendiri, yaitu sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat dan menggapai
kebaikan bersama. Jangan sampai politik terus-menerus mendapat citra buruk dari
masyarkat karena kelakuan politikus yang tidak beradab, remeh-temeh dan banal.
Selain itu,
penting kiranya para politikus mengedepankan budaya politik toleran, yaitu
budaya politik di mana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus
dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar dan adil yang selalu membuka
pintu untuk bekerja sama secara efektif demi kepentingan rakyat banyak.
Para
politikus harus menghindari budaya politik yang memiliki sikap atau mental
absolut, yaitu budaya politik yang memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang
danggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Mereka harus mengutamakan
budaya politik yang memiliki mental akomodatif
yang terwujud dalam sikap keterbukaan dan kesediaan menerima apa saja
yang dianggap berharga, termasuk kritik konstruktif.
Ahmad Ubaidillah, mahasiswa
Program Magister
Studi Islam
UII
Yogyakarta