Oleh Bonnie Eko Bani
Judul Buku :Ali Sadikin; Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi
Penulis : Ramadhan K.H.
Penerbit : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : xviii + 612 halaman
Jakarta
selalu heboh dengan berita SARA, tawuran warga, kebakaran, kriminal, keamanan
dan masalah sosial kemanusiaan lainnya. Namun yang pasti, Jakarta punya cerita
tentang macet setiap hari dan banjir langganan musim hujan. Masalah-masalah itu
selalu menjadi headline media cetak
maupun elektronik. Sebagai miniatur Indonesia, Jakarta selalu dipantau
masyarakat daerah maupun luar negeri yang berkepentingan.
Ungkapan
“ibukota lebih kejam dari ibu tiri” mewujud dalam belantara kehidupan Jakarta.
Etalase Indonesia itu tumbuh menjadi kota yang bising, sumpek, dan terkadang
tidak manusiawi bagi kaum pendatang. Bahkan kaum Betawi, sebagai warga asli
Jakarta serasa menjadi orang asing di rumah sendiri. Semua itu memunculkan
pertanyaan, bagaimana membenahi dan memanusiawikan Jakarta?
Sebuah
pertanyaan yang harus dijawab Jokowi selaku gubernur DKI dengan karya dan
tindakan nyata. Bukan sekadar slogan bombastis maupun janji-janji manis.
Masyarakat sudah pengang dengan slogan dan bosan dengan janji-janji tanpa
realisasi. Untuk membenahi dan memanusiawikan Jakarta, kita bisa belajar kepada gubernur fenomenal Jakarta di masa
lalu, Ali Sadikin.
Kerja Nyata
Melalui
buku Ali Sadikin; Membenahi Jakarta
Menjadi Kota Yang Manusiawi kita bisa belajar bagaimana cara tepat mengubah
Jakarta. Bang Ali –panggilan akrabnya– memimpin Jakarta dari 1966 hingga 1977.
11 tahun memimpin Jakarta, Bang Ali mampu membuat ibukota menjadi tempat
tinggal yang nyaman dan teratur. Ia menjawab tantangan memimpin Jakarta dengan
satu jawaban: Bekerja Keras. Bukan hanya duduk di belakang meja, apalagi dibelakang
pembantu-pembantunya.
Penulisnya buku, Ramadhan KH,
menulis secara detail pembaruan, modernisasi, dan perubahan yang dilakukan Bang
Ali. Ketiga proses itu dilakukannya secara menyeluruh terhadap semua bidang
yang memengaruhi hajat hidup orang banyak. Dari pendidikan, ekonomi, sosial,
budaya, pers, film, jalan, bahkan got-got mampet hingga gelandangan tua yang
sakit tak luput dari perhatian dan tindakan Bang Ali. Di bidang pendidikan, Bang Ali berhasil membangun 1.140-an dan merehabilitasi 860
gedung sekolah (SD dan SL) sejak tahun 1967 hingga 1976/1977 (hlm. 79). Bang Ali juga membantu pembangunan gedung pihak swasta
atau yayasan yang bergerak pada bidang pendidikan.
Humanisme
Di
bidang ekonomi, saat Bang Ali berencana membangun jalan, ia rela berpanas-panas
di bawah terik matahari dan basah kuyup kehujanan. Dengan sabar Bang Ali
menjelaskan pentingnya jalan untuk menggerakkan ekonomi kepada masyarakat yang
tanahnya tergusur untuk pembangunan maupun pelebaran jalan. Bang Ali pun tidak
mengambil untung dari proyek jalan. Ia hanya berusaha menyelesaikan persoalan
besar di tengah kehidupan Jakarta.
Cerita
humanis Bang Ali terjadi kala suatu malam ia melewati Taman Surapati di depan
gedung Bappenas. Di sana terdapat tiga patung Kartini. Namun, malam itu Bang
Ali melihat seperti ada empat patung yang salah satunya hidup. Merasa aneh,
Bang Ali menghentikan sopirnya dan turun dari mobil melihatnya. Rupanya
“patung” keempat itu bukan patung, melainkan gelandang tua yang sakit dan
tiduran di antara ketiga patung. Merasa trenyuh
dan tidak seorang pun memerhatikan gelandangan itu, Bang Ali segera datang ke
pos polisi terdekat. Ia meminta polisi mengurus dan membawa gelandangan tua itu
ke rumah sakit untuk diobati (hlm.
145).
Humanisme
Bang Ali menjadi sisi pelengkap kepemimpinannya yang visioner, berkarakter,
berani mengambil resiko, dan bertanggungjawab. Bang Ali pemimpin yang “keras
kepala” dengan keputusannya yang diyakininya akan berguna bagi rakyat banyak. Saat
melantik Bang Ali, Bung Karno mengatakan, “Jakarta
membutuhkan seorang yang keras kepala untuk menertibkan ndoro ayu dan tuan-tuan
yang suka seenak perutnya saja. Kelak suatu hari, orang akan mengenang apa saja
yang telah dikerjakan oleh Ali Sadikin”.
Buku
ini bisa menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin mengetahui dan belajar
bagaimana membenahi dan memanusiakan kota –tidak hanya– Jakarta. Bagi warga Jakarta
(atau kota manapun), membaca buku karya Ramadhan KH –peraih penghargaan
IKAPI/UNESCO– ini hampir sama wajibnya dengan memiliki kartu tanda penduduk
(KTP) DKI Jakarta. Bang Ali (Sadikin), Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, tak
hanya berjanji, tetapi mewujudkan apa yang dijanjikannya.
Bonnie Eko Bani,
alumnus Universitas Muhammadiyah Solo
(UMS)