Oleh Bernando J. Sujibto
Dalam sebuah kesempatan di
penghujung tahun 2012, Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan
Fauzi memberikan penilaian kritis tentang pemekaran wilayah yang telah bergulis demikian
cepat hingga hari ini. Dalam sebuah evaluasi yang dilakukan di internal kementerian, dia menyampaikan bahwa pemerintah telah evaluasi
205 DOB yang terdiri atas 7 provinsi, 146 kabupaten, dan sisanya kabupaten kota
yang menyimpulkan bahwa pemerkaran wilayah belum memuaskan bagi kesejahteraan
rakyat. Gamawan bahkan mengatakan
dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah, ada 70 persen dari 205 daerah
otonom baru (DOB), gagal,
Kita perlu mencermati hasil
evaluasi dari Bapak Menteri untuk melihat secara proporsional tentang dampak pemekaran wilayah yang hingga hari ini terus
didengungkan di beberapa daerah. Kesadaran untuk melihat secara kritis kasus
ini adalah sebagai upaya untuk melihat sejauh mana efektifitas pemekaran daerah
bagi kesejahteraan rakyat di daerah.
Namun faktanya, ada
kecenderungan naif yang terjadi di beberapa daerah yang telah resmi menyandang
DOB yaitu terjadinya kebuntuan proses reformasi pemerintahan lokal untuk perbaikan
pelayanan publik. Upaya memperbaiki layanan publik untuk kesejahteraan bersama
di daerah, sebagai spirit dasar di balik otonomi, sama sekali tidak diurus
secara serius. Sehingga, keberadaan DOB tidak meningkatkan pelayanan publik
secara signifikan. Jika diprosentase, mengacu kepada hasil evaluasi Kementerian
Dalam Negeri, hanya 30 persen saja yang benar-benar menjalankan amanah.
Kasus Musi Rawas
Kasus Musi Rawas yang
sedang mengemuka di pentas nasional, khususnya sejak 29 April, menjadi
pelajaran penting. Korban nyawa dari rakyat sipil berjumlah 4 orang harus
ditanggung oleh “mainan” proyek bernama pemekaran kabupaten di Sumatera
Selatan. Pasalnya, demonstrasi yang dilakukan untuk mendukung pemekaran
Kabupaten Musi Rawas menjadi Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) telah memakan
korban rakyat sipil di Kecamatan Muara Rupit, Kabupaten Musi Rawas. Konsentrasi
massa yang semakin tak terkendali, akhirnya bentrok dengan aparat keamanan.
Kantor Polsek pun menjadi sasaran amuk warga. (Suara Merdeka, 30/4).
Kasus kekerasan di balik upaya
pemekaran wilayah di beberapa daerah kerap terjadi. Pemanfaatan gerakan massa
dengan mengumpan rakyat sipil sebagai ujung tombak yang berakibat fatal hingga
kematian adalah pola lama yang kerap kali ditemukan dalam aksi-aksi kekerasan sipil
di berbagai daerah di Indonesia. Lawanya selalu sama, yaitu aparat keamanan
sendiri yang tidak mampu mengelola konflik dan menemukan negosisasi dengan cara
yang elegan dan damai.
Padahal negara sudah
mempunyai Undang-Undang dan sejumlah kriteria dan indikator yang mengatur
secara ketat pengajuan pemekaran di sebuah daerah, seperti yang tertuang dalam No 32 Tahun 2004. Di samping itu, PP 129/2000 yang diganti
dengan PP 78/2007 telah menjelaskan proses pemekaran daerah yang harus berdasarkan
kepada aspirasi dari akar rumput secara eksplisit. Tapi sayang sekali, dalam
banyak praktiknya, rakyat kecil hanya
menjadi umpan yang sengaja dipasang oleh sebagian kelompok berkepentingan untuk
menyuarakan dukungan pemekaran. Dalam kondisi masyarakat kita yang sudah terbiasa
dijejali dengan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di daerah lain, memungkinkan kekerasan menjadi jalan yang akan ditempuh
ketika chaos dan kebuntuan terjadi. Akhirnya amuk massa, sebagai ciri khas kekerasan masif yang melekat dengan masyarakat kita,
menjadi salah satu jalan yang harus terjadi dari anomali dari kultur kekerasan
yang terbentuk tanpa ada manajemen konflik yang konprehensif.
Sindrom kekerasan akhirnya
menjadi semacam simtom bagi masyarakatnya. Sintom kekerasan dan amuk massa akan
semakin menghinggapi “kesadaran” masyarakat dengan menunjukkan ekses ketidakpercayaan
terhadap aparat negara. Hal ini tentu tidak diharapkan terjadi di Indonesia. Siapun
dari rakyat Indonesia tentu tidak ingin mendengar lagi hasil survei yang
diperlihatkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang merosotnya kepuasan
publik terhadap penegakkan hukum, sehingga masyarakat setuju untuk menegakkan
keadilan dengan main hakim sendiri.
Untuk itu, semua pihak
harus menyadari beberapa pelajaran yang sudah ditunjukkan secara konktrit dalam kasus-kasus pemekaran wilayah. Menurut catatan
Zuly Qodir (2012), setidaknya ada enam masalah yang ditemukan dalam kasus-kasus
pemekaran wilayah: (1) yuridis: tidak jelasnya batas daerah dalam Undang-Undang
Pembentukan Daerah; (2) Ekonomi: Perebutan Sumber Daya (SDA, Kawasan Niaga/Transmigrasi,
Perkebunan); (3) Kultural: Isu terpisahnya etnis atau sub etnis; (4) Politik
& Demografi: Perebutan pemilih & perolehan suara bagi anggota DPRD/KDH,
(5) Sosial: Munculnya kecemburuan sosial, riwayat konflik masa lalu, isu
penduduk asli dan pendatang; dan (6) Pemerintahan: Jarak ke pusat pemerintahan,
diskriminasi pelayanan, keinginan bergabung ke daerah tetangga.
Lebih lannjut ada catatan
menarik tentang evaluasi dampak pemekaran wilayah yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerja sama Dengan United Nations
Development Programme (UNDP). Bappenas menurunkan laporannya bahwa dari aspek kinerja
perekonomian daerah ditemukan dua masalah utama yang dapat
diidentifikasi, yaitu:
pembagian potensi ekonomi yang tidak merata, dan beban penduduk miskin yang
lebih tinggi.
Di sisi keuangan daerah, disimpulkan bahwa daerah baru yang terbentuk melalui
kebijakan Pemerintahan Daerah menunjukkan kinerja yang relatif kurang optimal
dibandingkan daerah kontrol. Sementara
dari sisi pertumbuhan ekonomi, hasil studi menunjukkan bahwa daerah
otonom baru lebih fluktuatif dibandingkan
daerah induk yang relatif stabil dan meningkat. Dari sisi pengentasan
kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalan daerah induk. Dari sisi
ekonomi, ketertinggalan daerah otonom baru terhadap
daerah induk maupun daerah lainnya pada umumnya
disebabkan keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia (Bappendas, 2008).
Bernando J. Sujibto, penulis
adalah sosiolog, alumnus Cultural and Language Program University of South
Carolina Amerika Serikat.