Oleh Hendra Sugiantoro
Judul
Buku : Menapak Jejak-Jejak Sejarah Kota
Lama Semarang
Penulis : L.M.F. Purwanto & R. Soenarto
Penerbit : Bina Manggala Widya, Bandung
Cetakan : I, Oktober 2012
Tebal : x+186 halaman
ISBN : 978-602-18659-2-7
Sebagai ibukota Jawa Tengah, kota
Semarang memiliki jejak sejarah yang panjang. Menyaksikan wajah kota Semarang
dengan peninggalan sejarahnya seakan-akan mengajak kita mengingat masa silam.
Seperti apakah kota Semarang tempo doeloe? Pemaparan yang tersaji dalam buku ini sedikit
banyak akan memuaskan dahaga keingintahuan kita terkait hal tersebut.
Kota Semarang tempo doeloe dapat terlihat dari beberapa bangunan lawas yang kini
masih berdiri. Kantor Lawang Sewu, misalnya. Di zaman kolonial Belanda, bangunan
yang didirikan pada tahun 1902 itu diberi nama Nederlansch-Indische Spoor Maatschappij (NIS). Bentuk langgam
arsitekturnya terasa kuat dipengaruhi gaya Romanesque Revival.
Ada juga Kantor Pos Besar di Jalan Pemuda.
Dibangun tahun 1906-1907, dahulu bernama Semarangsche
Hoofd Postkantoor. Jalan utama di kawasan kota lama Semarang adalah
Heerenstraat (kini Jl. Letjend Suprapto). Di jalan ini berdiri Gereja
Blenduk/GPIB Immanuel yang awalnya dibangun dalam bentuk sederhana oleh
orang-orang Portugis sekitar tahun 1753. Diberi nama Nederlandsch Indische Kerk, yang beberapa kali direnovasi di zaman
kolonial Belanda, termasuk dirancang kembali dalam bentuk berkubah seperti
sekarang ini (hlm. 26-33).
Boleh jadi tumbuh kembang kota Semarang
diawali pada abad 15 semenjak armada Kerajaan Ming pimpinan Chengho mendarat
dan membentuk komunitas Muslim Tionghoa dan pribumi di muara Kaligarang, di
kaki bukit Simongan pada masa sekarang ini. Tumbuh kembang berikutnya dirintis
oleh Ki Ageng Pandan Arang yang membuka sebuah daerah “Pengisikan” (daerah yang
berada di tepi laut) sekitar tahun 1575. Kawasan ini dikenal sebagai kawasan
Bubakan. Setelah itu Ki Ageng Pandan Arang membangun pusat pemerintahannya di
Bubakan, Jurnatan dan Kanjengan di mana beliau membangun bangsal kadipatennya
yang pertama. Ketika wafat, beliau digantikan putranya Ki Ageng Pandan Arang
II. Pada 2 Mei 1574, Ki Ageng Pandan Arang II diangkat pemerintah kerajaan
Demak sebagai Adipati Semarang. Tanggal tersebut lantas ditetapkan sebagai hari
jadi kota Semarang (hlm. 45-46).
Pada tahun 1678, wilayah Semarang pernah
diserahkan kepada VOC oleh penguasa Mataram ketika itu, Amangkurat II.
Penyerahan ini sebagai imbalan atas bantuan VOC memadamkan pemberontakan
Trunojoyo yang meluas sampai ke wilayah Kaligawe Semarang. Sejak itu, status
Semarang yang semula sebagai wilayah kerajaan Mataram menjadi daerah kekuasaan
VOC. Sebagaimana di kota-kota lainnya yang didirikan benteng, pemerintah Hindia
Belanda juga mendirikan benteng di Semarang yang dilakukan bertahap sejak tahun
1706. Karena bentuknya segi lima, benteng tersebut disebut “benteng
Vijfhoek”.
Perluasan benteng ini merupakan inti
pengembangan kota Semarang. Kota Semarang kian berkembang setelah tembok
benteng Vijfhoek dibongkar pada tahun 1758. Orang-orang Belanda mulai membangun
villa di sepanjang jalan Bojong (Jalan Pemuda) sampai Randoesari (Jalan
Pandanaran). Banyak juga orang-orang Belanda yang pindah ke wilayah-wilayah
lainnya.
Penataan wilayah dan pembangunan yang
dilakukan pemerintah Hindia Belanda perlahan memenuhi persyaratan Semarang
sebagai kota. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan, fasilitas sosial yang
tersedia, sistem administrasi maupun kondisi fisiologinya. Bahkan, pada saat
itu kota Semarang dapat disebut sebagai “Batavia Kedua” karena pelabuhan
dagangnya yang maju pesat. Selain itu, juga karena pertumbuhan wilayahnya yang
memiliki karakteristik yang spesifik (hlm. 48-51).
Kantor-kantor perdagangan yang didirikan
meramaikan jalan-jalan utama, seperti Heerenstraat (kini Jalan Letjend
Soeprapto), Hogendorpstraat (kini Jalan Kepodang), Handelstraat (kini Jalan
Jalak), Westerwalstraat (kini Jalan Mpu Tantular), dan jalan lainnya.
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Semarang sebagai kotapraja (gemeente) pada tahun 1906 (hlm. 64).
Ditinjau dari batas-batasnya, Stasiun
Tawang adalah batas sebelah utara kota lama Semarang, batas sebelah timur
adalah Jalan Ronggowarsito, batas sebelah selatan adalah Jalan Haji Agus Salim,
dan batas sebelah barat adalah Jalan Mpu Tantular dan Kali Semarang (hlm.
66).
Dalam buku ini, kita dapat melihat pula peta
kota lama Semarang yang dibuat pada tahun 1930. Nama-nama gedung dan nama-nama
jalan tempo doeloe juga turut dipaparkan.
Buku ini dilengkapi lampiran yang begitu tebal, seperti cerita rakyat tentang
Ki Ageng Pandanaran dan regents van Semarang sebelum 1945. Meskipun masih
terbuka peluang penelitian dan diskusi lebih lanjut, buku ini menarik dibaca
demi memahami sejarah kota Semarang tempo
doeloe.
Hendra Sugiantoro,
pembaca
buku, kini tinggal di Yogyakarta