Oleh T. Nugroho Angkasa S.Pd
Tingkat radikalisasi di Indonesia berbanding lurus dengan suhu politik di Timur
Tengah. Pergolakan sosial menuntut lengsernya para tiran di negeri pengekspor
minyak dunia tersebut niscaya berdampak pada peningkatan eskalasi aksi-aksi
kekerasan di negara kita. Pada 2010 silam, setidaknya telah terjadi 262 kasus
kekerasan berkedok agama dari Sabang sampai Merauke (Setara Institute,
2010).
Masih lekat dalam
ingatan kolektif bangsa ini tragedi kemanusiaan yang menimpa Ahmadiyah, Syiah,
HKBP Filadelfia, GKI Yasmin, Gereja Katolik Bukit Duri, dll.
Rezim yang berkuasa
di Timur Tengah tentu merasa panik. Selama ini mereka mengira bahwa mekanisme stick
and carrot (cambuk dan wortel) bisa meneror dan/atau meninabobokan
rakyat. Tapi faktanya, ancaman tembak di tempat dan gelontoran petro dollar tak
kuasa meredam aksi massa menuntut pergantian pucuk tampuk kepemimpinan.
Dulu minimnya SDA
(Sumber Daya Alam) menjadi kalkulasi tersendiri bagi pihak penguasa. Walaupun
harga minyak bumi terus membumbung tinggi, tapi bahan bakar fosil tersebut
tetap tak bisa diperbaharui lagi. Sekali habis, solusi satu-satunya ialah
mencari alternatif lain. Ironisnya, butuh waktu ribuan tahun untuk “membuat”
minyak bumi. Dan, hanya proses alam-lah yang bisa melakukannya.
Kini, pihak
penguasa masih memiliki cukup tabungan untuk membayar tentara dan menyuap
rakyat dengan hibah tak terbatas. Tapi sampai kapan modus operandi semacam itu
bisa dilakukan? Pasokan minyak kian menipis karena situasi keamanan tak
stabil. Bahkan pergolakan sosial turut mengganggu proses produksi dan
distribusi minyak. Alhasil, pemasukan kas negara juga berkurang drastis.
Selain itu,
ketimpangan sosial antara penguasa dan rakyat nyatanya menyulut api revolusi
yang lebih dahsyat. Selama ini, penguasa di sana terdiri atas keluarga raja,
kaum pengusaha, para ulama serta militer. Mereka menguasai 80 persen aset
bangsa. Sedangkan 20 persen sisanya, diperebutkan oleh rakyat. Inilah kondisi
obyektif yang potensial melahirkan pelopor perubahan sosial lewat proses
revolusi demokratik.
Invasi Modern
Negara-negara di
daerah Afrika dan Asia menjadi incaran Arab Saudi. Misalnya di Sudan, tanah
tersubur mereka disewa selama 80 tahun. Luas wilayahnya mencapai 800.000 hektar
lebih. Dengan demikian setidaknya satu generasi penduduk setempat akan terpuruk
dalam jurang kemiskinan. Kenapa? Karena tanah yang menjadi sumber produksi
mereka tak ada lagi, sudah disewakan oleh pihak penguasa kepada pihak asing. Di
Indonesia, tepatnya di Indonesia bagian Timur di daerah Papua, sudah mulai ada
tawaran untuk model penyewaan tanah seperti itu juga.
Namun yang namanya
pengusaha, yang terpenting baginya ialah meraup untung sebanyak-banyaknya
dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Mereka mencari cara agar bisa menguasai
lahan-lahan tersubur dan juga kandungan mineral di bawah perut bumi kita. Kalau
dulu Belanda menggunakan invasi militer, sekarang Arab Saudi memakai jalur
budaya. Sentimen keagamaan-lah yang dipakai. “Kita sama-sama satu umat.”
Padahal sejatinya,
Arab Saudi masih memberlakukan sistem monarki absolut. Suara Raja ialah suara
Tuhan. Sedangkan secara sistem keberagamaan, mereka masih menganut paham
Wahabi. Doktrinnya sederhana tapi mengerikan, yakni menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan. Pun termasuk membunuh, memfitnah dan menganiaya orang
lain. Itu semua halal dilakukan terhadap kaum kafir. Kaum kafir disini berarti
siapa saja yang berseberangan dengan pihak penguasa dan alim ulama Wahabi.
Ironisnya, ada
anak-anak bangsa yang dimanfaatkan untuk membuat onar dan menebarkan paham
kekerasam tersebut. Tentu dengan bayaran tertentu serta iming-iming bertemu
bidadari di surga. Padahal budaya leluhur kita begitu menghargai kebhinnekaan.
Saling hidup berdampingan walau berbeda agama, suku, ras dan golongan. Bila di
dunia ini kita tak bisa berdamai dengan tetangga sebelah, bagaimana bisa hidup
damai di surga?
Lebih lanjut,
secara sistemik struktural juga ada upaya mengganti dasar negara Pancasila, mengamandemen
pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Semua disesuaikan dengan rujukan utama
mereka. Tak lain ialah UUD Arab Saudi dan doktrin Wahabi. Terbukti dari
pengesahan UU Pornografi, SKB 3 Menteri, pelarangan Ahmadiyah, Syiah, HKBP
Filadelfia, GKI Yasmin, Gereja Katolik Bukit Duri, dan penerapan perda syariah
di pelbagai daerah.
Secara lebih
mendalam, sejatinya motif utama mereka sekedar meraup keuntungan dan kekuasaan.
Agama hanya dipolitisasi dan dibisniskan. Kenapa? agar mereka tak perlu lagi
menyewa lahan-lahan tersubur di Indonesia. Mereka hendak menjadikan Bumi
Pertiwi sebagai ladang Arab Saudi.
Dalam konteks ini,
visi pluralisme dan suara vokal yang setia pada NKRI, Pancasila dan UUD 1945
menjadi musuh utama mereka. Sebut saja kasus Anand Krishna, pelecehan
seksual hanya kedok untuk membungkam perjuangan kebangsaan dan kemanusiaan dari
Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006). Terwujudnya masyarakat
yang sadar bahwa perbedaan ialah sebuah keniscayaan sekaligus kekayaan yang dapat
membuyarkan semua agenda terselubung mereka.
Hingga artikel ini
ditulis, Anand Krishna masih mendekam di LP Cipinang, Jakarta sejak 16 Februari
2013 silam. Sudah hampir 3 bulan penulis 160 buku tersebut tak menghirup udara
bebas. Kini kasus tersebut telah menjadi sorotan dunia internasional.
Akhir kata, di abad
ke-21 ini pemerintah Indonesia musti belajar dari fakta sejarah tersebut. SBY
harus berani bersikap tegas. Sekarang atau tidak sama sekali. Pilihannya jelas,
“Hendak memilih visi kebangsaan/pluralisme atau membiarkan republik tercinta
ini dibajak kaum radikal berkedok agama. Kepada siapa Anda berpihak, Tuan?
T. Nugroho Angkasa
S.Pd,
guru Bahasa Inggris dan Penulis Lepas. Tinggal di Yogyakarta