Oleh Muhammad Rois Rinaldi
Pergerakan jejaring sosial yang memiliki jangkauan luas, murah
dan mudah karena dibangun atas dasar prinsip membuka ranah pergaulan
tanpa harus dipengaruhi oleh jarak dan waktu, memungkinkan kita untuk melakukan
banyak hal dalam waktu sesingkat-singkatnya, dengan pencapaian sebaik-baiknya.
Jika hal ini dilihat dari segi disiplin ekonomi, tentu menjadi kabar
gembira, karena dengan modal sedikit, ia mampu menghasilkan untung yang
sebanyak-banyaknya. Sehingga muncul toko-toko online dengan berbagai merek
dagang menyerbu ruang-ruang jejaring sosial. Selain itu, mampu membuka ranah
komunikasi tidak langsung, dalam arti tanpa harus bertatap muka, siapapun dapat
meluncurkan rencana bersama. Semisal membuat antologi puisi berbagai Negara,
antologi cerpen berbagai daerah di Indonesia, dan sebagainya.
Jejaring sosial juga dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi yang tidak
memiliki keberanian cukup untuk menyatakan perasaan, ketidaksetujuan, dan
pendapat-pendapat yang sulit sekali diutarakan pada forum-forum langsung dan
terbuka. Ya, jejaring sosial favorit sejenis Facebook dan Twitter sebagaimana
dilansir oleh Wikipedia untuk dekade ini, telah berhasil merekonstruksi
pergerakan masyarakat bahkan sampai pada tatanan paling transenden sekalipun.
Akan tetapi dari semua manfaat jejaring sosial, ternyata ada persoalan
mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat yang dilupakan. Yakni mulai
ditinggalkannya kebiasaan melakukan kunjungan ke tempat kerabat atau kawan
dengan alasan sudah dapat berkomunikasi jarak jauh. Untuk keperluan sangat
penting saja, hal tersebut dapat dilakukan apalagi sebatas untuk keperluan
obrolan ringan atau temu kangen?
Seorang kawan pernah mengeluh pada saya, sebelum ia mengenal Facebook,
tidak begitu sulit untuknya bersosialisasi dengan orang lain/berbaur dalam
kegiatan. Sekarang jadi berbeda keadaan, ia lebih senang berselancar di dunia
maya ketimbang saling sapa di dunia nyata.
Lantas jika dilihat dari aspek sosialnya bagaimana? Tentu ini bukan hal
yang menggembirakan, dengan adanya jejaring sosial, semestinya cukup
dilandaskan pemikiran untuk menambah teman dari ruang-ruang yang awalnya tak
terjangkau tanpa mengesampingkan teman-teman yang jelas-jelas mudah dijangkau
dan dapat berkomunikasi dengan langsung. Karena seseungguhnya merekalah yang
akan memberikan reaksi pertama jika terjadi sesuatu pada diri kita.
Contoh, jika kita sakit siapa yang akan memberi pertolongan pertama
jika bukan orang di sekitar kita? Orang-orang dalam dunia maya meski mereka
benar-benar peduli tetap saja mereka terhalang ruang yang tidak dapat ditawar.
Lantaran itu Allah SWT berkata dalam An-Nisa’: 36
“Dan sembahlah Alloh, dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Alloh
tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Dalam ayat itu, setelah habluminallah
ada simbol “orangtua”, “karib”, “kerabat”, “yatim”, “miskin”, “tetangga dekat”,
“tetangga jauh”, dan sebagainya yang
mengisyaratkan secara runut dari orang-orang terdekat terlebih dahulu. Jadi
jika beranggapan cukup dengan dunia maya, maka salahlah anggapan tersebut.
Lantas apa penyebab seseorang bisa sedemikian mengisolirkan diri dari
dunia nyata? Saya mengindikasikan ini pada soal porsi, jika seseorang sudah
kecanduan, maka akan banyak yang ditinggalkan demi apa yang ia candukan. Dan
itu pun sangat mungkin terjadi dalam interaksi sosial, jika seseorang sudah
kecanduan dengan interaksi sosial dengan media seperti Facebook dan sejenisnya,
maka disadari atau tidak, bentuk prosesnya akan tertumpu pada sebatas dunia
maya dan yang maya itulah dianggap media primer.
Bahkan yang lebih memprihatinkan, seorang kawan pernah mengeluh soal
anaknya yang jarang sekali berbicara langsung. Ia menggunakan aplikasi ‘inbox’
di Facebook sebagai media menyampaikan gagasan atau keinginannya. Komunikasi
dalam keluarganya jadi serba kaku dan tidak harmonis. Hal ini bukan soal sepele
yang bisa dianggap sambil lalu, dikarenakan menyangkut harkat dan martabat
manusia, serta penanaman nilai-nilai humanisme sesuai dengan karakteristik dan
sifat-sifat bangsa Indonesia. Yang serba terbuka, gotong royong, musyawarah
untuk mufakat dan sebagainya.
Diperparah dengan anggapan bahwa gelombang jejaring sosial adalah
bagian dari kebudayaan baru. Saya mencoba keluar dari paham-paham Barat menyoal
budaya ini, dan mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara: “Kebudayaan berarti buah
budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni
zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan
damai”.
Pemahaman kebudayaan yang saat ini berkembang sangat berbahaya, yang juga perlu dikaji
ulang. Semisal pengertian kebudayaan yang beranggapan bahwa budaya adalah
sesuatu yang berjalan terus menerus dan dilakukan secara komunal dan diamini
masyarakat sehingga jadi kebiasaan, dan dari kebiasaan itulah disebut budaya,
tanpa menyaring nilai-nilai kearifan lokal.
Harus juga dipahami bahwa apa yang diyakini dan diamini oleh masyarakat
di negara-negara seluruh dunia bukan
berarti harus juga diyakini dan diamini oleh masyarakat Indonesia. Paham
akulturasi, kesetaraan, dan kebebasan untuk turut berperan aktif dalam kegiatan
sosial dunia perlu disaring agar lebih mengena pada corak dan pergerakan bangsa
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Yang perlu digarisbawahi adalah kalimat “keadilan sosial”. Keadilan
sosial di sini tidak semata berbicara pada diskriminasi atau sejenisnya. Akan
tetapi pola-pola penggunaan jejaring sosial masa kini juga termasuk pada
praktik ketidakadilan sosial di kalangan masyarakat sosial itu sendiri.
Maka jangan heran jika kita hampir saja sampai pada keadaan yang paling
riskan, karena ruh ke-Indonesia-an dalam pribadi-pribadi bangsa tengah dibugar
menjadi pribadi-pribadi kekinian yang kehilangan warna dan coraknya sendiri. Jejaring
sosial turut mengambil pengaruh dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
keterjebakan seseorang dalam
media sosial dapat memutuskan komunikasi langsung yang jauh lebih substansial
ketimbang komunikasi mediasi. Sehingga muncul kesalahpahaman antara sesama yang
mengkerucut pada persoalan-persoalan personal yang sulit untuk dipecahkan.
Karena jalan pemecahan telah tertutup oleh cara hidup yang salah. Yakni
memandang jejaring sosial sebagai jalan utama, bukan sebagai jalan alternatif.
Bagaimanapun besarnya manfaat jejaring sosial harus dipandang sebagai
jalan alternatif, bukan sebaliknya. Tawaran kemudahan harus digunakan sesuai
dengan porsinya agar jejaring sosial tidak menjadi jaring laba-laba yang
menyekap gerak tubuh, hati dan kepedulian pada kenyataan. Ya, kepedulian pada
dunia senyata-nyatanya dunia.
Saatnya kembali ke tatanan masyarakat yang Indonesia. Saling sapa,
saling mengunjungi, saling asah, asih dan asuh. Senang bergotong royong dan
mengemukakan pendapat dalam pertemuan-pertemuan yang akrab dan hangat. Inilah
Indonesia. Salam Merdeka Jiwa dan Badan!
Cilegon, 2013
Muhammad Rois Rinaldi, Ketua Komite Sastra Cilegon