Oleh
Arafat AHC
Pagi itu, seolah langit runtuh menindih
angan yang bertahun-tahun kurangkai. Bukannya pagi memberi kado terindah di
1 Januari lalu, namun api panas yang menyulutkan kehancuran. Aku tak mengerti apa yang
diinginkannya terhadapku, ketika ku lihat di dinding biru kamarku terdapat tiga
carik surat. Satunya dari Pamanku Joshef, yang satunya dari Pamanku Ari, dan
yang satu lagi dari Kakakku Anwar. Satu persatu kubuka, dengan rasa berselimut kegelisahan.
Air mata mulai berjatuhan seiring terbukanya ketiga surat tersebut. Dan kini
telah membanjiri
wajahku yang muram setelah melihat ketiga
surat berinstrumen
penyudutan. Aku hanya
terdiam di sudut
kamar yang sering memainkan imajinasi untuk melahirkan karya-karya: meski karyaku tak pernah dimuat di media massa.
Pintu, jendela, dan lantai kamar tak lagi tertawa melihatku yang tak seperti
biasanya. Obituari kebahagiaan dan kesuksesan kini mengerutkan dahi dibalik
dinding kamar yang sedari tadi melantunkan nada kesedihan.
“ Tidak mungkin ini!!! Tidak mungkin ini
semua dari mereka bertiga “ kegelisahan
hatiku yang hanya terdengar oleh seisi kamar.
Keraguanku terhadap pintu, lantai kamar,
dinding kamar dan seisi kamarku yang menyaksikan tentang surat-surat yang
digantung oleh mereka, mulai menggerayangi pikiranku. Sesaat kejiwaanku mulai
tercecer di lantai-lantai kamar. Satu waktu, mengajakku untuk keluar dari jalur
yang selama ini kutempuh, dan mengikuti jalur yang sama persis seperti mereka.
Satu waktu, melarangku untuk keluar dari jalur yang selama ini kupijak. Satu
waktu lagi mengingatkanku terhadap masa laluku yang telah membenamkan aku dari
kehidupanku dan kehidupan keluargaku.
Detik
semakin
bertambah, semakin banyak pula kegelisahan yang menyelimutiku dengan berbagai
macam warna. Namun akhirnya sedikit demi sedikit beban itu pudar dari
pikiranku, setelah menghirup tembakau yang terbungkus rapi. Setelah pikiran stabil, lantas aku keluar kamar.
Waktu itu jam dinding menunjukkan pukul 11.15 WIB.
“ Uripmu neng pondok selama iki cuman
turu, mangan, lan ngentekke duit seng tak wenehi? ” Bentak Umi melihatku
keluar dari kamar pada waktu yang bertabur terik mentari di tengah bumi.
Sontak, ketenangan jiwa yang baru saja
tercipta, buyar dan hilang. Menghilang entah ke mana. Dengan emosi yang labil,
kubanting saja pintu itu, tanpa aku memerdulikan siapa yang ada di hadapanku.
“ Braakkkkk ” suara bantingan pintu yang tercipta dari
tumpukan emosi.
Akhirnya aku mengurung diri di kamar lagi. Hanya
ditemani beberapa benda yang menghuni kamar, yang sering kutinggal ke Kudus
utuk mengais sedikit sisa-sisa ilmu yang masih tercecer di jalan-jalan
kehidupan. Yang bisa kulakukan hanya meratapi kesendirianku. Di saat seperti
itulah biasanya aku selalu menyempatkan untuk menelpon saudaraku, Zahra. Lantas
aku mengambil handphone lama yang masih setia menemaniku ke mana saja dan
menelponnya.
Satu panggilan tidak dijawabnya. Panggilan kedua tidak
dijawab pula. Sedikit keputusasaan itu terobati ketika panggilan ketigaku
diangkat.
“ Assalamu’alaikum
“
“ Wa’alaikumussalam
“
“ Langsung to
the pointnya ya Kak “
“ Iya, ada apa Fa “
“ Sebenarnya apa yang diinginkan keluarga ini,
khususnya Umi? “
“ Mereka hanya menginginkan kamu menjadi baik “
“ Tapi menurutku tidak. Karena tiap kali aku jatuh,
aku hanya mendapat hujan amarah dari beliau. Tiap aku mencoba bangkit beliau
malah menyerimpung usahaku untuk bangkit. Dan ketika aku sudah bangkit, beliau
bilang, sudah terlambat. Itulah yang aku bingungkan tentang Beliau. Apa dengan
cara tersebut aku akan baik? Tidak Kak!!! Aku malah akan down lagi, karena tidak ada yang mendukungku untuk menjadi baik dan
terbaik. ”
“Semua itu karena kamu yang sebelumnya telah mengecewakan
beliau, kamu sudah sering berujar, Aku bangun, Aku bangun, dan Aku bangun.
Namun apa? Kamu tidak bisa dipercaya untuk bangun.“
“Kalau memang
mereka benar-benar menginginkan aku menjadi baik. Kenapa mereka menutup jalan
untuk menjadi baik. Apa dengan cara menghukumku dibiarkan di kejelekan akan
membuatku menjadi baik? Tidak Kak!!!! Itu semua malah akan menjadikanku lebih
jelek daripada sekarang. “
“Ya sudah. Sekarang yang kamu inginkan itu apa?“
“Aku ingin laptop dan motor. Dan juga kuliah lagi.“
“Mikir to Fa, Umi kan lagi tidak punya uang.“ dengan
nada emosi, yang, barangkali sudah memuncak di ubun-ubunnya.
“Kan masih ada tanah yang bisa digadaikan. Lagi pula
ingin laptop dan motor untuk kemajuan kita. Laptop kugunakan sebagai sarana untukku
berorganisasi dan berkarya, dan juga bisa kugunakan untuk mendesaign
apabila ada pemesanan yang berupa undangan, majalah atau yang lainnya.
Sedangkan motor kugunakan untuk mencari relasi dan juga untuk bekerja mengembangkan
usaha krupuk rambak beliau. Dengan usaha itu, mungkin bisa melunasi utang-utang
atas penggadaian tanah. Untuk kuliah, aku ingin bakatku yang terpendam selama
ini bisa matang. Sedikit demi sedikit, bakatku mulai tergali. Meski fosilnya
belum utuh ditemukan dalam jiwaku. “
“ Oke, kalau itu yang kamu mau. Entar tak bilangin
sama Umi. Ada masalah lagi? “
“ Tidak Kak. Makasih ya. Sudah mendengarkan curhatku. Wassalamu’alaikum warahmatullah. “
“ Wa’alaikum
salam Warrahmah. “
Sedikit reruntuhan langit mulai terangkat berkat
bantuan saudaraku Zahra. Setelah puing-puing reruntuhan langit yang sebagian
telah terangkat, aku mencoba merenungkan masa depan agar tidak berantakan
seperti masa lalu.
***
Dulu aku telah mendustai Beliau tentang
tunjanganku untuk membelikan handpone, dengan dalih kalau aku menggunakannya
untuk menjalin hubungan dengan keluarga, namun malah kugunakan untuk menjadi playboy
busuk. Dulu juga Aku mengkhianati Beliau tentang tunjangan buat sekolah yang kupergunakan
untuk bersafari ke Pekalongan, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan kota-kota
lain. Sekolahku juga pernah berantakan karena mempertahankan pacarku yang tidak
direstui Beliau, namun pacarku tersebut malah seenaknya pergi meninggalkanku,
dan bayangannya masih menggema di memoriku saat ini.
“ Rafa“ terdengar panggilan dari Beliau
terhadapaku, seketika lamunanku buyar. Dan Aku bergegas membuka pintu. Lantas
kubuka pintu dan menemui beliau.
“ Njeh, wonten nopo Mi? “ tanyaku
“ Merene, Aku mau bar ditelfon
Mbakyumu. Aku meh ngomong karo kowe. “
Setelah itu, kami berbincang-bincang
asyik, antara aku dan Beliau. Membahas tentang rencanaku untuk menjadi manusia
yang baik. Dan juga membahas tentang rencanaku untuk membuat usaha RAFA
Corporation’s, yang menerima jasa pembuatan undangan, buletin, majalah,
spanduk, MMT/Banner, sablon kaos, cetak foto, pengetikan, dll. Tidak hanya itu,
tapi juga membuka penjualan pulsa electric beserta perdana-perdananya.
Membahas usaha Beliau PR. Rambak Fathimiyyah, yang menerima pesanan snack
pernikahan, sunatan, hajatan, seminar dan even-even lain. Tidak hanya itu, PR.
Rambak Fathimiyyah juga menjual krupuk rambak baik mentah maupun matang.
Setelah berjam-jam berbincang-bincang
mengenai apa yang aku inginkan agar sesuai dengan apa yang diharapkan Beliau.
Beliau hanya berpesan agar aku komitmen terhadap apa yang telah kuajukan
kepadanya, agar tidak ada kesalahan-kesalahan seperti masa lampau. Dan Beliau
berpesan agar aku rajin untuk beribadah, dan berakhlak serta harus bisa
membanggakan di perguruan tinggi nanti.
***
Setengah tahun telah berlalu, akhirnya
aku bisa menjadi seorang mahasiswa di perguruan tinggi di kota Semarang, pada Fakultas
Ushuluddin, jurusan Perbandingan Agama. Aku mengambil study bagian itu
karena aku suka hidup damai bersama agama-agama lain. Tujuanku masuk kuliah
mengambil study perbandingan agama, tidak lain tidak bukan, karena aku
hanya ingin persamaan agama, yang sama-sama bertuhan. Tidak sepatutnya kita
bermusuhan dengan agama lain, karena kita tidak tahu apa kita nanti yang
selamat dari hari akhir nanti, atau justru mereka yang akan selamat. Dan kita
juga tidak tahu, mana yang benar dan mana yang salah. Karena kita tercipta
dengan perbedaan, dan hanyalah Tuhan yang maha mengetahui kebenaran.
Di kampus itulah, yang akhirnya
mengantarkanku menjadi seorang sastrawan dan organisator ulung, yang memandang
perbedaan adalah sebuah rahmat. Meski sebelumnya aku telah menanamkan diri
tentang permasalahan perbedaan adalah rahmat, sejak SMP dulu. Setelah namaku
menjadi topik terhangat perbincangan di kampus. Bukan karena berita-berita
negatif, namun disebabkan aku telah menjadi orang terhebat di kampus. Hingga
akhirnya pacarku yang dulu meninggalkanku, kembali lagi kepadaku. Sebelumnya aku
ragu tentang dia yang kini mengajakku untuk menyemai cinta, yang waktu dulu pernah
tersemai di masa abu-abu lalu. Namun karena dialah yang telah membuat aku sadar
akan makna playboy: yang menyakitkan perasaan wanita. Tanpa pikir
panjang, akhirnya aku menerimanya kembali. Dengan syarat agar dia tidak
mengulangi perbuatannya di masa lampau.
Setelah Rofiq --temanku sejak SMP, yang
selalu mendukung apa yang aku inginkan— mengetahui aku menyemai cinta dengan
Nurul. Rofiq pun angkat bicara tentang hubungan kami.
“Dengar-dengar kamu balikan sama Nurul?”
tanya Rofiq.
“Sorry aku lupa memberitahumu. “
“ Bukan itu yang menjadi masalahku.
Namun apa kamu tidak mengingat masa lampau, tentang apa yang telah diperlakukan
Nurul kepadamu. “
“Tapi Dia juga banyak berjasa
terhadapku. Ketika dulu Aku yang playboy, sejak mengenalnya aku tidak
lagi berani memainkan hati seorang wanita. Ketika Dia meninggalkanku,
inspirasiku untuk bersastra semakin dahsyat. Meskipun Dia juga punya dosa yang
banyak terhadapku. Manusia tempat kesalahan. Dan buat apa Tuhan menciptakan kata
maaf, kalau manusia tidak boleh bersalah. “
Kudus, 2012
Habib Arafat, tulisannya
tertempel pada: Antologi Puisi, “Selayang Pesan Penghambaan” (Pustaka
Nusantara, Grobogan-2012), “Ayat-Ayat Ramadlan” (AGP, Yogyakarta-2012), “ Dari
Sragen Memandang Indonesia” (DKDS, Sragen-2012), “Indonesia Dalam Titik 13”
(DKKP, Pekalongan-2013), dan pada beberapa media: Rumah Diksi Buletin, Buletin
eL-Insyaet, Majalah Ath-Thullab, Buletin Perahu Sastra, Wawasanews.com,
Kartunet.com, al-Bratva, Buletin Keris, Majalah Frasa, Majalah Papirus, dll.
Penulis sekarang bersibuk diri di Laborat keilmuan “Arafat Library” di Demak.