Oleh Ahmad Faozan
Judul Buku : Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Naoura Book
Cetakan : I, Februari 2013
Tebal : 213 Halaman
Harga :45.900
Salah satu tujuan hidup manusia di dunia ini adalah meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat. Demi kebahagiaan, seseorang rela berjuang
mati-matian untuk mendapatkannya. Ironisnya, kebanyakan orang saat ini mengukur
kebahagiaan serba material. Seolah, tanpa harta, kebahagiaan sulit terwujudkan.
Sesungguhnya, penyebab manusia modern yang acapkali galau dan
cepat putus asa yakni, karena faktor krisis spiritual. Konon, krisis yang sedang
melanda umat manusia saat ini karena sikap menjauh diri dari nilai ajaran
agama. Padahal, agama merupakan sumber pembuka kebahagiaan bagi siapa saja.
Dengan agama, manusia mampu mengendalikan nafsu serba keduniaan.
William James, seorang filsuf dan psikolog Amerika awal abad
20 pernah menuturkan dalam bukunya yang sangat terkenal, Varieties of
Relogion Experience, yakni, betapapun kehidupan akan menarik manusia ke arah
yang bertentangan (materialistik), dan betapapun dikerumuni banyak orang,
manusia tak akan pernah berbahagia sebelum ia bersahabat dengan The Great
Socius (Sang Kawan Agung) Tuhan. Artinya,
manusia tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari Tuhan.
Buku bertajuk “Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan”
karya Haidar Bagir ini, menuntun pembaca untuk menyelami ajaran tasawuf.
Pasalnya, melalui ajaran tasawuflah sumber-sumber kebahagian mudah diraih.
“Kebahagiaan seseorang akan muncul ketika tidak ada kesenjangan antara apa yang
kita dambakan dan hasil, atau keadaan aktual kita”. (hlm.13).
Sesungguhnya berawal dari sikap kesedihan diri yang menjadikan
seseorang mampu mengidentifikasi dan merasakan kebahagiaan. Dengan begitu
seseorang akan selalu tampil bersemangat dan bergairah dalam menjalani segala
hal yang ia cita-citakan dalam hidupnya. Penting kiranya mengaktualkan dan
merawat kebahagiaan dalam diri.
Bukankah, Syaidina Ali, sahabat Nabi Muhammad Saw pernah
mengingatkan kepada kita bahwa, seseorang tidak akan merasakan manisnya kebahagiaan
(sa’adah), sebelum dia merasakan pahitnya kesedihan (syaqawah)”. Ironisnya, saat ini banyak orang yang
mengingkari fitrahnya sebagai manusia. Tak pelak, jiwa dan pikiran seseorang
menjadi kacau balau. Hidupnya pun menjadi semrawut. Wajar, jika manusia selalu
merasa tak bahagia, tak puas dan tak cukup dengan apa yang telah diberikan
Tuhan. Baik pemberian bersifat materi maupun non materi. Bukankah, sejatinya
manusia sudah bisa bernafas dan hidup sehat saja dalam kehidupan sehari-hari
sudah amat berharga nilainya.
Menurut CEO Penerbit Mizan ini, ada tiga hal yang harus diperjuangkan
seseorang untuk mencapai hidup yang penuh bahagia. Pertama, bekerja
keras untuk mengupayakan dan memenuhi apa saja yang kita dambakan dalam hidup
ini. Meskipun dalam hal ini, terdapat kelemahan, yakni tidak akan pernah mampu
mewujudkannya.
Kedua, mengurangi
atau menekan kebutuhan. Dengan berkurangnya kebutuhan, kemungkinan tak
terpenuhinya kebutuhan kita menjadi kecil. Ketiga, memiliki sikap batin
sedemikian rupa sehingga apapun yang terjadi atau datang pada diri kita selalu
disyukuri. Membangun suasana batin yang di topang dengan sikap sabar dan rasa
syukur yang kokoh seperti ini akan mampu meredam kondisi-kondisi yang
berpotensi menimbulkan kegelisahan dalam hidup. (hlm.14)
Pada dasarnya kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan kenikmatan,
mengingat begitu banyak orang yang dalam kehidupannya dipenuhi kenikmatan
tetapi tidak merasa menikmati. Di tengah kondisi kehidupan yang penuh hiruk
pikuk seperti sekarang ini, di mana banyak orang bersikap egois dan merasa
paling hebat, belajar menaklukkan sikap egoisme dalam diri sendiri terlebih
dahulu menjadi sesuatu yang sangat penting. Bukankah sebagai manusia, kita tak
bisa hidup sendiri dan pasti senantiasa membutuhkan bantuan orang lain.
Bukankah, dengan membantu orang lain dapat membukakan pintu kebahagiaan yang
abadi bagi diri kita kelak?
Dengan menaklukan kekakuan dan egoisme dalam diri, menjadikan
seseorang kembali menyatu dengan Tuhan. Paling tidak, seseorang akan dapat
meraih kebahagiaan lahir batinnya sendiri. Belajar mengurangi suplai bagi
pengumbaran nafsu diri akan membantu seseorang menaklukkan sikap keegoisan
dalam diri. Sebab musuh utama dalam diri manusia yang egois adalah berkorban
dan memberi kepada orang lain.
Kehadiran buku setebal 213 halaman ini, membantu Anda merenungi
lebih jauh tentang makna hidup dan mengajak diri kita untuk rajin mengisi
mensuplai spiritualitas. Selamat membaca!
Ahmad Faozan, pembaca buku tinggal di
Yogyakarta.