Oleh Setyo Pamuji
Secara
garis besar, ada empat tujuan awal terbentuknya negara Indonesia. Keempat
tujuan tersebut termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinia empat, yakni
melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dari
keempat tujuan besar bangsa ini, tanpa menafikan tujuan lainnya, yang menjadi
dasar adalah melindungi segenap bangsa. Tanpa sebuah jaminan perlindungan
keamanan, Indonesia tak akan dapat mewujudkan kesejahteraan umum. Tak adanya
keamanan, bangsa ini tak bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa hilangnya
perasaan takut dan was-was Indonesia tak akan bisa ikut serta dalam
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Logikanya, jika bangsa sendiri tak tertib dan aman,
mana mungkin dapat dipercaya untuk ikut andil dalam ketertiban dunia. Lalu apakah
negara ini telah berhasil melindungi segenap bangsanya?
Homo
Homini Lupus
Pernyataan Thomas Hobbes dalam membaca realita
kehidupan berabad-abad tahun lalu, hingga ia sampai mengkristalkan sebuah
ungkapan yang sangat fenomenal, yakni Homo
Homini Lupus, yang bermakna bahwa manusia adalah serigala bagi manusia
lain, saat ini masih sangat relevan.
Saat ini
kepemimpinan masih dianggap sebagai kedudukan semata, bukan sebuah amanah dari sang Khalik. Akibatnya, banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang
pemimpin dengan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan tersebut.
Berawal dari membeli kedudukan dengan uang, menjilat atasan, menyikut pesaing atau teman, ataupun
cara lainnya guna memperoleh posisi pemimpin. Sehingga, hal tersebut melahirkan
pemimpin yang tak dicintai, tak disegani, tak ditaati, dan bahkan dibenci. Pada
umumnya, kepemimpinan seperti ini justru mempergunakan kekuasaannya untuk
mengarahkan, memperalat, atau menguasai orang lain, bahkan orang yang dipimpinnya
dijadikan boneka yang harus menuruti segala keinginannya.
Pada akhirnya, kepemimpinan
yang melanggar garis etika kemanusiaan ini terus membudaya di masyarakat, maka
tak dielakkan bahwa pemerintahan justru melahirkan ketidakpercayaan rakyat pada
pemerintah. Rakyat tak akan lagi mengindahkan aturan-aturan yang dibuat
pemerintah. Bagaimana rakyatnya bisa patuh pada pemerintah jika pemimpinnya
saja melanggar aturan dalam memperolah jabatan?
Governmentless?
Ironis,
pemerintahan yang secara legitimate berkuasa, tapi seperti tak
ada pemerintahan. Betulkah seperti itu? Tengoklah, Jakarta dan kota-kota besar
lainnya, bukankah setiap hari penduduk kota selalu merasa tak aman dan was-was.
Pasalnya, mereka setiap hari bergelut dengan penodong, pencopet, garong,
pencuri, dan bahkan teror bom. Bagaimana dapat dikatakan memiliki pemerintahan
jika penduduknya saja seperti hidup di hutan belantara.
Menurut kepala
badan Reserse Kriminal Polri pada akhir Desember 2010, Irjen Sutarman,
mengatakan bahwa di wilayah hukum Polda Metro Jaya terjadi kejahatan di Jakarta
setiap 9 menit 56 detik. Itu artinya, intensitas kejahatan terjadi sekitar 6
kali selama satu jam. Jika demikian, mana bisa rakyat dapat tidur nyenyak.
Katakanlah, waktu yang digunakan untuk tidur adalah 6 jam, berarti terdapat
potensi kejahatan yang menimpa rakyat saat waktu lengah ini sebanyak 36
kejahatan.
Kejahatan yang
terjadi bukan saja merampas harta, tapi juga nyawa. Semisal, Raafi Aga Winasya
(17) ditusuk di sebuah kelab malam, Christoper Melky Tanujaya (16), siswa
peraih olimpiade sains Nasional yang sedang belajar di St Joseph Institution di
Singapura, meninggal ditikam oleh orang tak dikenal di Jalan Pluit Selatan.
Seorang mahasiswa Universitas al-Azhar Indonesia, Ahmad Yoga Fudholi, tewas
ditangan seniornya hanya gara-gara helm. Bahkan, Lebih miris, berita Kompas,
Senin, 12 Desember yang mengabarkan seorang istri kepala unit reskrim diperkosa
di rumah sendiri, Depok. Selain itu, pelaku kejahatan juga mengambil sejumlah
emas dari korban.
Padahal, dalam perspektif
hak asasi manusia, rasa aman dan bebas dari rasa takut merupakan hak asasi
manusia yang sudah jelas-jelas tertuang dalam konstitusi. Pemenuhan terhadap hak
atas rasa aman adalah tanggung jawab pemerintah untuk memberikan rasa aman
kepada tiap warganya. Tapi, ketika melihat para oknum alat negara, bahkan yang
bertugas untuk menjaga keamanan menjadi sasaran kejahatan, maka apa salah jika
rakyat bertanya, apakah negara ini sudah tak mempunyai pemerintahan lagi (governmentless)?. Bahkan markas
keamanan, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B Cebongan, Sleman,
Yogyakarta menjadi tempat aksi brutal kejahatan.
Terciptanya kondisi
aman dalam mayarakat merupakan tugas bersama, namun tak menafikan bahwa yang
menjadi pemangku utama adalah para aparat keamanan. Pemerintah harus bersikap
tegas terhadap tindak kejahatan. Selain itu, cepat-tanggap dalam menyelesaikan
masalah juga diharapkan. Semoga
Setyo
Pamuji,
peneliti di Pusat Kajian Filsafat
dan Politik
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya