Oleh Moh.
Ariyanto
Ujian
Nasional (UN) memiliki porsi lebih besar mengawal kelulusan siswa. Sistem
pendidikan di Indonesia 84% kelulusan itu ditentukan oleh ujian. 60% hasil UN,
24% Ujian Akhir Sekolah (UAS), dan 16% dari penilaian lain. Kebijakan
pemerintah memaksa sekolah untuk melaksanakan UN merupakan masalah serius yang
dihadapi bangsa di sektor pendidikan. Pemerintah tidak adil dalam mengevaluasi Pendidikan
Nasional. Evaluasi harusnya bukan hanya kepada siswa, tetapi juga kepada sistem
pendidikan. Jika siswa gagal dalam UN, sistem belajar dan ujian bisa menjadi
penyebabnya dan wajib dibenahi, bukan lantas siswa yang terkorbankan.
Prosedur
Ujian Nasional sebagai measurement tool (alat pengukuran) yang mengukur
kompetensi siswa, kurang lebih tidak ubahnya termometer untuk suhu. Termometer
suhu mengukur sesuatu yang dapat dilihat atau setidak-tidaknya dapat dirasakan.
Sedang yang diukur dalam UN ini adalah kompetensi yang tidak dapat diraba dan
dilihat bentuk fisiknya. Tujuannya sebagai penentu kelulusan peserta didik dari
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Gambaran
umum tentang Ujian Nasional adalah “tes obyektif dalam bentuk pilihan ganda”
yang berisikan materi pelajaran yang harus dikuasai siswa. Indikasi dari model
tes ini adalah kecenderungan siswa belajar dengan metode menghafal, trik-trik
tertentu (jalan pintas), drilling, bimbingan belajar, dan tray out.
Walhasil, ujian hanya akan menghasilkan generasi yang pandai menghafal dan
pintar menggunakan jalan pintas, bukan menghasilkan generasi yang dapat
berfikir logis, bernalar kreatif dan inovatif.
Hal
ini menunjukan kegagalan pemerintah mengawal pendidikan Indonesia. Evaluasi
pendidikan yang didomonasi oleh ujian adalah cermin ketidakmampuan pemerintah
mencerdaskan anak bangsa. Pemerintah tidak kooperatif mengurusi pendidikan yang
menjadi tuntutan zaman periode ini. Seharusnya penilaian (evaluasi) yang
dilakukan terhadap pendidikan khususnya di level dasar (Sekolah Dasar), SLTP
(Sekolah Menengah Pertama) dan SLTA (Sekolah Menengah Atas) dilakukan
bersama-sama oleh semua unsur, bukan semata oleh ujian yang nantinya berfungsi
membina dan mempertumbuhkan.
Pemerintah
mengabaikan prinsip evaluasi komprehensif, yaitu penilaian menyeluruh meliputi
semua aspek. Penilaian pada anak atau pada guru yang didasarkan pada satu aspek
saja tidak akan memenuhi syarat. Jika UN saja yang dijadikan evaluasi terpenting
pendidikan, maka siswa yang terkorbankan. Siswa yang gagal dalam UN tak
memiliki kesempatan mengevaluasi diri, akhirnya harus mengulang setahun lagi. Kapan
anak bangsa akan cerdas bersaing dengan negara maju jika begitu banyak waktu
terbuang akibat kebodohan pemerintah dalam dunia pendidikan?
Tinjauan
inilah yang ingin penulis paparkan. Melakukan evaluasi seharusnya dalam proses
belajar, bukan di akhir pembelajaran, agar siswa dan guru juga sekolah memiliki
kesempatan untuk membenahi diri.
Menurut
penelitian Prof. DR. H. Soedijarto MA (2012), dampak model tes Ujian Nasional
ini berakibat tingkah laku peserta didik yang dipengaruhi oleh perkiraan
tentang apa yang akan diujikan. Pertama, peserta didik akan mempelajari,
umumnya menghafal, tentang apa yang akan diujikan. Kedua, guru akan
membantu melatih peserta didik cara menjawab soal-soal. Ketiga, sekolah
akan berusaha keras menyusun program, termasuk mengadakan kegiatan bimbingan
tes. Keempat, Orang tua akan mendorong anak-anaknya untuk persiapan
Ujian Nasional. Kelima, Pemerintah daerah dan pejabat pendidikannya ikut
berupaya agar perserta didik, kalau bias, lulus semua. Dan keenam,
penerbit buku berlomba-lomba menerbitkan buku soal-soal UN dan jawabannya.
Akhirnya,
dari perilaku akibat kegiatan UN, banyak hal yang diabaikan. Aspek kemampuan yang
terlalu dibutuhkan dalam UN mengabaikan aspek kepribadian dan sikap. Padahal
aspek kepribadian menunjukan watak atau karakter seseorang, dan itu penting.
Sedangkan sikap adalah yang paling dibutuhkan dan merupakan bagian terpenting
bagi hidup siswa kelak. Evaluasi idealnya dilakukan dalam ketiga aspek secara
bersama-sama, bukan aspek kemampuan saja melainkan juga kepribadian dan sikap.
Penilaian
(assessment) terhadap siswa sudah seharusnya tidak didominasi oleh
ujian. Sebab, assessment bukan dilakukan di akhir, tetapi di sepanjang
masa sekolah. Perlu ada evaluasi sistem pendidikan Indonesia secara
keseluruhan.
Assessment terhadap siswa harus digunakan
sedemikian rupa untuk memberikan dukungan siswa dalam belajar. Salah satunya, assessment
oleh guru karena lebih nyata dan valid bila mendapat pelatihan yang tepat dan
efektif, sebab guru lebih dekat kesehariannya dengan siswa.
Moh. Ariyanto, mahasiswa
Prody Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta