Puisi
Hujan Tengah Malam
Ada yang lebih bahagia dari
hujan tengah malam
:kunang-kunang yang masih
ditakdirkan terbang
tanpa desir bisik pada langit
tentang terang yang jangkit
diam-diam.
Ada yang lebih bahagia dari
hujan tengah malam
:rintik yang berendam di
kubang
secumbu dingkis menimang
waktu
sebelum angin fajar
membawanya tiada.
Ada yang lebih bahagia dari
hujan tengah malam
sebuah surau terpukau
seorang ‘abid mencuri Tuhan dari
sujudnya
dilihatnya lebih tenang dari
rintik
diterkanya lebih girang dari
kunang-kunang
menggenang cinta.
Semarang, Januari 2013
Bagi Sebuah Surau
Usai dilanda hujan
Gigil lantai beku tak karuan
Adzan-adzan terus meloncat di atas
mimbar,
Namun dibiarkan berkoar-koar
sendirian.
Duhai sepi
Teman yang paling dicari sufi
Duhai sepi
Yang paling berapi
Mencuri Ilahi di bawah
sajadah
Aduhai sepi
Kini membuat surau galau
Menyebut-nyebut nama Ilahi
dan Nabi
Berkali-kali hanya kau hiraukan sendiri.
Semarang, Januari 2013
Hikmah
hidup adalah rentetan kisah
yang kita himpun dari
ejaan hujan, tempias senja,
gelembung matahari,
udara pagi yang menghembuskan
cinta
lalu kita sedia membacakannya
pada langit
yang terbata mengeja dunia.
“kisah akan menjamahmu
menjadikan kaca paling
jelma.”
Semarang, Februari 2013
Membelah Kabut
Bayang-bayang cahaya
di depan menjelma
setitik bintang yang lindap
dalam kornea.
Bintik-bintik asa,
seseduh kopi yang
membantun wajah-Mu.
Dingin menyekap
urat-urat terperangkap
didekap arah jagat nan gelap.
Aku terus berjalan
membelah kabut
mengurai mau
tak usai menjemput bayang-Mu
lalu terpental di sajadah
yang basah embun.
Semarang, Maret 2013
Kwatrin Senja
:Agus Imam Haromain
Senja kubiarkan berkaca di
segara
Dan puisi kubiarkan berkata
apa saja,
Tentang harapan yang
terpental angin,
Dan sesal yang mengental
dingin.
Akukah yang berteriak parau
Sembari menjangkau-jangkau
dermaga
Sedangkan kau telah hempas
nun jauh
Menciumi tanah, meniduri
lembah,
Akukah ketam yang kehilangan
kaki
Menggerogoti waktu di debur
ombak
Sedangkan sayapmu telah kepak
Memenuhi jantungku yang
koyak.
Mirip Malin
Aku bahkan tak memedulikan
telaga
Yang mengalirkan kasih
sayangnya kepadaku,
Kerut matanya kubiarkan
bertahan sendiri
Diserang sampah dan racun
selokan
Dan beberapa masalah hak
keasasian.
Setahun berselang kurang tiga
bulan
Mataku mulai terkungkung
ketakutan
Di lembah sepi penuh hitam
ngarai sunyi
Hanya mencipta puisi-puisi
iba, puisi atas dosa.
Lalu kubacakan kepada udara
dini dan gelembung pagi.
Aku berharap tak ada yang
mengutukku menjadi arca
Yang siap tenggelam bersama
air mata telaga
Yang suda rindunya, tinggal
duka
Sebab ibu kehilangan anaknya.
Semarang, Februari 2013
Puisi Untukmu
Pacarku adalah sepi.
Ia setia menemaniku di mana
saja
di perpustakaan, di tempat
hiburan,
di jalanan kota,
apalagi saat aku bersama
seorang wanita
yang menarik.
Biasanya ia langsung mencubit
pahaku.
Cubitannya sangat keras
hingga terdengar jerit
sakitku oleh wanita itu,
yang lalu pun menjauhiku.
Kau tahu, beberapa wanita
pernah
sesal mendekatiku
karena pacarku adalah sepi.
Pacarku bilang bahwa tak ada yang
boleh mengusikku,
:termasuk puisi yang
mengatasnamakanmu.
Semarang, Maret 2013
Faizy
Mahmoed Haly, nama pena mahasiswa jurusan Tafsir Hadis IAIN
Walisongo Semarang, lahir
di Demak, 28 Juli 1991. Belajar di komunitas sastra Soeket Teki, Forum Lingkar
Pena (FLP) Ngaliyan dan Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat. Beberapa sajaknya terbit di media lokal, serta terhimpun
dalam antologi Ayat-ayat Ramdahan (2012), Antologi Bulan Sembilan (2012),
Semesta Cinta Untuk Gaza (2012) dan lainnya.