Oleh Wahyu Eko Sasmito
Kegagalan pemerintah
(Kemendikbud) dalam melaksanakan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA/MA/SMK atau
sederajat secara serentak pada (15/4) kemarin, membawa arus gempuran yang negatif dari masyarakat terhadap penyelenggaraan
UN. Masyarakat semakin geram
terhadap pemerintah. Gerakan penolakan yang datang dari
masyarakat terhadap
pelaksanaan UN semakin heboh dan mengebu-gebu. Dan berbagai upaya telah dilakukan untuk menolak
pelaksanaan UN sebagai standar kelulusan nasional. Bahkan, masyarakat pun
sempat mendesak Menteri Kemendikbud (Muhammad Nuh) untuk segera turun dari
jabatannya karena dianggap sudah tidak pecus lagi dalam mengurusi pendidikan di
Indonesia.
Sebenarnya,
masalah ini merupakan masalah klasik dan setiap tahunnya selalu menjadi
perbincangan. Sejak awal mula UN diterapkan di negara ini, belum pernah
sekalipun mendapat renspon positif dari masyarakat. Hal ini terjadi karena di
setiap tahunnya penyelenggaraan UN selalu dihantui dengan berbagai masalah di
lapangan.
Sebagaimana
telah dilansir oleh Kompas edisi 17 April 2013, pelaksanaan UN
dari tahun ke tahun selalu dikelabui dengan permasalahan. Pada tahun 2009,
terjadi kecurangan pada guru dan siswa sehingga sejumlah SMA di daerah harus
mengulang UN karena ulah curang guru yang memberikan kunci jawaban pada
siswanya. Tahun 2010, tingkat kelulusan merosot tajam dari tahun sebelumnya.
Tercatat ada 267 sekolah yang seluruh peserta UN tidak lulus UN. Tahun 2011,
terjadi kecurangan pada guru dan siswa. Dan pada tahun 2012, terjadi kebocoran
soal. Polres Kota Kendari, Sulawesi Utara menangkap seorang mahasiswa yang
menjual bocoran soal dan jawaban UN palsu, sehingga ratusan siswa SMK menjadi
korban penipuan tersebut. Yang terakhir tahun 2013, saat ini, pelaksanaan UN
mengalami penundaan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pada jenjang SMA di
11 propinsi karena kendala teknis naskah soal di percetakan.
Menurut saya, semua permasalah di atas itulah yang mengundang kegalauan
masyarakat terhadap adanya pelaksanaan UN di negeri ini. Aksi
penolakan terhadap penyelenggaraan UN yang telah dilakukan oleh masyarakat saat ini, bukan karena alasan boleh atau tidaknya UN dilaksanakan, tetapi karena rasa
kecewa yang amat tinggi
terhadap amburadulnya pelaksanaan UN (kualitas penyelenggaraan UN). Coba saja, jikalau pelaksanaan UN dari dulu hingga sekarang dilaksanakan dengan cara yang profesional, jujur, serta tidak ada kecurangan di dalam prakteknya, sudah bisa dipastikan tidak akan ada aksi kontra dari masyarakat seperti yang terjadi saat ini.
Kebijakan pemerintah untuk tetap melaksanakan
UN tidak lain karena tuntutan globalisasi. Iklim persaingan global menuntut
Indonesia untuk lebih cepat mengejar ketertinggalan, demikian kasusnya dengan
Ujian Nasional yang jadi standar
kelulusan di Indonesia. Peningkatan standar kelulusan yang terus meningkat
setiap tahunnya adalah salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi pendorong
terhadap para pelajar dalam mengasah kemampuannya untuk terus bersaing dan
meningkatkan kemampuan dengan belajar yang tekun dan giat. Hal ini sesuai
dengan PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menyatakan bahwa
Ujian Nasional juga diperlukan sebagai
alat untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan.
Pun
demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Mohammad Nuh (dalam Haryo,
2010) mengatakan bahwa Ujian Nasional merupakan bagian dari metode evaluasi.
Hemat saya, UN itu berfungsi untuk menguji sejauh mana kemampuan anak didik
atau siswa terhadap pelajaran yang telah diberikan selama mereka sekolah.
Selain daripada itu, UN juga dilihat sebagai instrumen untuk melihat sebaran
kualitas pendidikan antar sekolah/daerah (pemetaan).
Pada
hakekatnya, pelaksanaan UN mempunyai tujuan yang baik. Tapi, yang menjadi
permasalahan sekarang ini adalah oknum-oknum yang berkecipung dalam pelaksanaan
UN itu sendiri. Mereka (para oknum) sering melakukan kecurangan dalam
pelaksanaan UN. Kecurangan tersebut bahkan cenderung terjadi secara sistematis,
dalam arti melibatkan banyak pihak (termasuk guru/sekolah dan murid). Biasanya,
semua ini dilakukan uang serta demi menjaga nama baik sekolah, orang tua, dan
bahkan pemerintah daerah setempat. Maka, tak ayal jika aksi kecurangan ini
terus berlanjut.
Dengan
demikian, pelaksanaan UN telah diselewengkan dari fungsi yang sebenarnya.
Mestinya, siswalah yang diuji. Namun, jika dalam mengerjakan soal ada guru yang
ikut campur tangan “memeberi jawaban” dan ditambah lagi pengawas yang hanya
sebagai pajangan “pura-pura tidak tahu” terhadap permainan petak kumpet di
dalam rumah pendidikan. Maka, yang terjadi adalah, bukan lagi siswanya yang
diuji, melainkan guru.
Salahfungsi
inilah yang menyebabkan pelaksanaan UN selalu mengalami problem, ada yang pro
dan ada pula yang kontra. Namun, perlu saya tekankan bahwa UN tak perlu
ditiadakan. Karena UN itu adalah salah satu sarana menguji kemampuan anak didik
terhadap penguasaan pelajaran yang telah mereka dapatkan selama sekolah. Bukan
permainan petak-kumpet antar oknum yang berkecimpung dalam pelaksanaan UN.
Jadi, melihat realita yang telah terjadi, pelaksanaan UN seharusnya tidak menjadi
permasalahan, melainkan para oknum penyelenggara UN-lah yang perlu
dipermasalahkan.
Mereka perlu diluruskan,
bahwasannya lembaga pendidikan bukanlah tempat permainan petak umpet atau
ladang untuk mencari uang, akan tetapi tempat pentransferan ilmu pengetahuan
dari guru kepada anak didik, supaya mereka menjadi orang hebat, cerdas,
tangguh, dan bertanggung jawab yang dapat membawa perubahan Bangsa Negara
kearah yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga!
Wahyu Eko Sasmito, aktifis di Aliansi
Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI)
IAIN Sunan Ampel Surabaya.
____________________