Oleh Eko Hartono
Namaku
Bejo. Inilah pengakuanku yang jujur. Mungkin kalian tak akan percaya mendengarnya,
tapi begitulah kenyataannya…
Pertama, aku ingin bercerita tentang
jati diriku. Terlahir sebagai anak petani yang miskin, aku hanya bisa mengecap
pendidikan hingga sekolah dasar. Ketika usiaku menginjak lima belas tahun,
seorang kerabat membawaku pergi ke kota .
Mulanya aku diajak bekerja di proyek bangunan, tapi karena tak betah berjemur
terik matahari dan tak kuat bekerja berat, aku memilih berhenti.
Seorang teman menawari aku bekerja di
rumah keluarga kaya sebagai pembantu. Gajinya kecil. Tapi makan dan tidur di
dalam. Rumah keluarga kaya itu benar-benar besar dan mewah, dikelilingi pagar
tembok setinggi empat meter. Mirip bangunan kraton.
Keluarga kaya itu terdiri dari pasangan
suami istri muda dengan dua anak yang sudah besar. Mereka sangat sibuk sekali.
Hampir tiap hari sang suami pergi ke kantor dari jam
delapan pagi hingga delapan malam, terkadang beberapa hari tidak pulang.
Sementara istrinya juga kerap pergi keluar, entah itu arisan, shopping, menghadiri
undangan, dan lain-lain.
Kedua orang anak mereka pun sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Selain pergi ke sekolah mereka kerap kelayapan bersama
teman-temannya ke diskotik atau tempat hiburan lainnya. Aku tahu hal ini,
karena sering menemukan surat
panggilan dari sekolah mereka yang menyatakan bahwa mereka kerap membolos.
Mereka sering pulang malam dalam keadaan mabok.
Kupikir orang yang berpendidikan, kaya,
dan terpandang seperti mereka berperilaku santun dan beradab seperti bayanganku
tentang sosok priyayi atau bangsawan. Ternyata semua itu keliru. Aku sangat
kaget ketika mendengar mereka berbicara dalam bahasa preman jalanan saat
memerintah, marah, kesal, atau sedang bertengkar. Kata umpatan seperti;
bajingan, anjing, bangsat, bego, tai, lonte, brengsek, perek, jahanam, celeng,
dan lainnya kerap terlontar.
Meski aku hanya orang kampung dan tak
berpendidikan, tapi orang tuaku selalu mengajarkan berbicara dan berperilaku
sopan santun kepada orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua. Sungguh,
aku seperti tak percaya. Padahal mereka termasuk keluarga publik figur. Aku
tahu hal ini, karena saat nonton televisi aku pernah melihat tampang tuan dan
nyonya menghiasi layar kaca.
“Lihat, mbok. Itu kan wajah tuan dan nyonya. Kok bisa ya,
masuk tivi?” ujarku pada Mbok
Inah , pembantu yang sudah lama
mengabdi di rumah itu.
“Dasar, ndeso! Katrok! Apa kamu tidak tahu, bapak dan ibu itu orang
penting. Mereka orang terpandang, sering diwawancara sama tivi!” tukasnya.
Aku manggut-manggut. Aku agak bingung
dengan istilah orang terpandang dan penting. Aku juga bingung dengan pembawaan
majikanku yang amat kontras saat tampil di televisi dan di rumah. Di layar kaca mereka terlihat berwibawa, anggun,
santun, ramah, dan familier. Ini sangat bertolak belakang dengan pembawaan
mereka di rumah. Bahkan dalam hal berperilaku.
Lihat saja perilaku nyonya majikan.
Suatu hari, saat rumah sepi, nyonya majikan pulang bersama seorang pemuda.
Mereka tampak bergandengan mesra memasuki kamar. Nyonya majikan memanggilku dan
meminta dibuatkan minuman. Saat minuman kuantar ke kamarnya, mataku terbelalak.
Saat itu pintu tak terkunci dan kulihat nyonya majikan sedang bercinta dengan
pemuda itu. Aku hendak berlalu pergi, tapi nyonya majikan memanggilku dan
menyuruh masuk.
Aku jadi kikuk dan jengah melihat
sepasang manusia berperilaku seperti binatang. Mereka malah tertawa terkikik
melihatku tersipu malu. Nyonya majikan menyerahkan sebuah handycam dan
memintaku merekam adegan mesum mereka. Aku sudah menolak, tapi nyonya majikan
marah-marah dan mengancam akan menembakku. Akhirnya, kuturuti permintaannya.
Badanku panas dingin dan jiwaku terguncang hebat melakukan semua ini.
Tapi yang lebih edan lagi perilaku kedua
anak majikan. Si sulung yang sudah mahasiswa itu pernah mengajak teman-temannya
party di kamarnya. Mereka menghisap shabu-shabu. Aku dipaksa ikut nyabu. Aku
tak berdaya. Saat aku teler, mereka mempreteli pakaianku hingga telanjang.
Kedua tanganku diikat dan diletakkan di dinding. Mereka ramai-ramai memotret
dan merekam gambarku dalam video ponsel. Betapa malunya aku!
Sementara anak bungsu majikan yang masih
gadis dan duduk di bangku SMA tampaknya memiliki penyimpangan. Dia sering
menyuruhku pergi menyewa DVD porno. Dia menyetelnya sendirian di dalam kamar.
Bisa seharian dia tidak keluar kamar. Dia juga pernah menyuruhku membeli alat-alat
pemuas libido di sexshop. Aku jadi
malu saat berhadapan dengan pelayan toko. Dia menatapku curiga.
“Enggak salah beli ini, Mas?” ujarnya
seolah meragukan identitasku.
“Bukan. Itu pesanan teman… perempuan,”
jawabku gugup.
“Oo…!”
Begitulah. Di
rumah itu selain sebagai jongos dan gedibal, aku sering diperlakukan seperti
binatang. Aku sebenarnya tak betah dan ingin berhenti, tapi majikanku tak
mengijinkan. Mereka membutuhkan pembantu polos, lugu, dan penakut seperti aku.
Dengan berbagai cara mereka berusaha
mempertahankan aku. Dilimpahinya aku dengan uang dan fasilitas. Tapi apalah
artinya semua itu bila hidupku tersiksa dan terpenjara?
Kebobrokan orang-orang di rumah itu
memang sudah demikian parah dan keterluan. Tingkah laku mereka amat menjijikkan.
Aku selalu disuguhi tontonan maksiat. Majikan laki-laki yang semestinya menjadi
imam dalam keluarga dan membimbing ke jalan lurus malah jadi contoh yang tidak
baik. Aku sendiri bingung menilai kepribadiannya. Ketika di luar dia tampak
sebagai sosok berwibawa, alim, tegas, dermawan, dan rendah hati.
Tapi hal itu ternyata cuma sebagai
topeng. Pernah aku diajak majikan laki-laki pergi ke suatu tempat. Tepatnya di
sebuah villa yang sepi dan berada di kawasan pegunungan. Di
sana sudah menunggu dua orang wanita muda
berdandan menor. Kupikir, dia akan berperilaku binatang seperti istrinya. Tapi
apa yang terjadi…? Dia malah menyuruh aku bercinta dengan dua PSK murahan itu.
Jika menolak, aku akan didor dengan pistolnya.
Begitulah. Sambil menahan kepedihan aku
menuruti keinginannya. Aku dicekoki obat pembangkit libido. Kedua perempuan itu
pun seperti macan betina yang kelaparan, mencabik-cabik tubuhku. Sementara
tuanku dengan santai duduk di kursi menonton pertunjukan gila itu. Dia pun
tertawa terkekeh-kekeh. Dia seperti tak tergerak untuk menggantikan
kedudukanku. Kini, tahulah aku kenapa istrinya sering membawa laki-laki muda ke
rumah. Karena suaminya impoten!
Benar-benar keluarga sinting! Semua
orang di rumah itu sudah edan. Tuan sableng, nyonya gendheng, dan anak-anaknya gelo!
Tak ingin terus menerus tenggelam dalam
lautan maksiat, diam-diam aku pergi dari rumah itu. Aku lari sejauh-jauhnya.
Kepada semua orang kuceritakan apa yang terjadi di rumah besar dan mewah itu.
Tapi tak ada seorang pun yang percaya. Mereka menuduhku membual, bicara ngawur,
omong kosong, dan bahkan menuduhku menyebar fitnah. Bagaimana mungkin keluarga
dermawan, dan santun seperti mereka bisa berperilaku seperti itu?
Suatu hari, aku melihat spanduk besar
terpasang di pinggir jalan. Di sana terpampang wajah bekas majikanku yang akan maju dalam
pemilihan kepala daerah. Aku tersentak. Nuraniku tergugah. Terbetik keinginan
membuka mata publik agar tidak memilih dia sebagai pemimpin di kota ini. Tapi apa dayaku,
testimoni orang kecil sepertiku hanya akan dianggap angin lalu. Boleh jadi aku
dituntut ke pengadilan; dituduh mencemarkan nama baik!
Akhirnya tak ada yang bisa kulakukan
selain menuliskan pengakuan ini. Moga-moga ada yang mau membaca dan
mempercayainya!