Oleh Arif Saifudin Yudistira
Penulis : Puitri Hati Ningsih
Penerbit
: Pawon Solo
Tahun : 2012
Tebal : 156 halaman
Harga : Rp. 30.000,00
“Puisi saya tak akan kemana-mana”. Itulah awal
dan kunci memahami dan menemukan puisi Puitri Hati Ningsih. Rumah adalah
metafor kedua untuk menyelami dan mengikuti puisi Puitri. Rumah penyair dalam
puisi Puitri digambarkan dengan rumah yang ada disekitar realitasnya. Dunia
perpuisian yang seperti ini mencoba memasuki dunia melalui rumah. Rumah, corong
bagi puisi Puitri. Simaklah sajak berikut: “Perempuan
pengupas bawang/harum gelung rambutmu/sesegar bawang/tubuhmu semurni
bawang/…….kau kehilangan/ dan telah lupa rasa bawang. (Perempuan Pengupas Bawang).
Puisi
tadi menunjukkan betapa mata penyair adalah mata kata yang bisa melampaui yang
dilihatnya. Puitri lihai memakai diksi dan tiba-tiba bergerak dari mata visual
kepada mata realitas. Kau kehilangan dan telah lupa rasa bawang, kalimat itu
sebagai akhiran sekaligus menutup cerita tentang perempuan pengupas bawang.
Perempuan pengupas bawang adalah cermin perempuan yang lalai dan lupa akan
bawang itu sendiri. Dunia pasar dan perempuan hadir di sana, menelisik, mengkritik,
dan menampar,tapi pelan tak berteriak.
Ia
menunjukkan betapa dari rumah Puitri bisa menikmati perjalanan dan pengembaraan
mata visualnya pada rumah disekelilingnya. Ia memaknai taman, putik, bunga,
kelopak, cinta, hingga pada kupu-kupu yang hinggap dalam puisinya. Simaklah
judul-judul puisi berikut ini : “Suara Lumut Basah”,”Kamboja Kuning”, “Puisi
Buah Apel”,”Benalu dan Daun Belimbing”, “Batu dan Embun”. Judul puisi seperti
mengajak kita untuk merasakan taman sebagai teman yang bisa bercakap, yang hidup,
dan tak bisa berlalu begitu saja. Sebab taman dalam puisi Puitri seperti tak
terlupa dari hidupnya.
Mata
visual bergerak bersama mata batin penyair, puisi Puitri adalah puisi yang
memang dibangun dalam dan bersama rumah. Cinta
:cinta adalah lebah yang menyengat
bunga-bunga bayam tua/di bawah rimbun daun mengkudu. Tak berlebihan tapi
sarat makna. Tidak seperti Sapardi yang menggunakan hujan dan kesederhanaan
dalam mengungkap cinta. Puitri pun tak kalah sederhana dan lirihnya
membahasakan cinta. Cinta aalah lebah yang menyengat bunga-bunga bayam tua.
Dalam
tiga bab puisi Puitri, kita juga akan menemukan penyair dengan Tuhan, penyair
dengan cintanya, hingga penyair dengan teman dan sahabat-sahabatnya. Rumah
puisi puitri adalah ketiga bab itu sendiri. Mari kita beralih pada puisi yang
benar-benar jujur dan apa adanya dalam puisi “Sebuah Kamar”: pinjami aku kamar untuk menangis/ pinjami
aku kamar untuk menenteramkan dosaku.
Puitri
Hati Ningsih menggeluti sastra dan puisi bersama komunitas Pawon. Di pawon
itulah para penulis saling belajar dan saling mengenal. Puisi yang berikut ini
adalah sebuah persembahan kecilnya untuk kawan tercintanya, yakni Bandung Mawardi.
Esais dan pedagang buku bekas. Saya tak mengerti, betapa terbuka dan polosnya
puisi Puitri hingga tak ada tabir dalam puisinya. Di Antara Buku-Buku Bekasmu: Tempatku di antara buku-buku
bekasmu,sahabat/ yang lupakan aku dari kesedihan malam ini. Kita akan merayakan kata itu selalu katamu/
bukan merayakan laptop, telepon, tas, sepatu dan mesin pencuci pakaian. Jadi
berapa hutang bukuku padamu?.
Puisi ini mengisahkan betapa hubungan penyair dengan esais
memberikan berkah, memberikan kenangan dan membekas di hati penyair. Kita akan
merayakan kata adalah kalimat penanda, bahwa perempuan (penyair) tak merayakan
kosmetik, merayakan tas, hingga aksesoris yang menempel di tubuh perempuan.
Penyair merayakan kata bersama esais dan merenungi perjumpaan dengannya. Takjub
pada teman ini ditutup dengan kalimat pungkasan yang menggoda. Jadi berapa hutang bukuku padamu?. Kalimat
penutup ini tidak bisa mengurai betapa beruntungnya penyair mengenal buku-buku
dari temannya.
Membaca
tiga bab dalam kumpulan puisi ini adalah memasuki rumah dan dunia kepenyairan Puitri.
Sebagaimana dalam kata sahabat, Indah Darmastuti menulis: ”puisi itu puitri”. Buku ini adalah jawabannya. Kumpulan puisi Puitri
ini adalah rumah kata yang penuh dengan sajak lirih, diksi yang mengagetkan,
dan kepolosan yang begitu terasa dari seorang penyair. Mampirlah ke rumah Puitri.
Arif Saifudin Yudistira, penulis adalah pencinta puisi,
buku puisinya “Hujan di Tepian Tubuh” diterbitkan Greentea
2012