Oleh Mokhamad Abdul Aziz
Judul di atas
terinspirasi oleh konsepsi filsafat Rene Descartes, seorang fisuf Perancis pada
tahun 1619; “Cogito
Ergo Sum” (aku berpikir, maka aku ada). Pendapat ini bisa jadi memacu para
pemikir-pemikir kala itu untuk lebih meng-eksplore ide-ide mereka.
Bahkan tak hanya berhenti kala itu saja, kini konsepsi itu masih mengakar pada
para akademisi, tak terkecuali mahasiswa. Mereka dituntut agar selalu memperbaharui
pemikiran, seiring dengan zaman yang senantiasa berkembang, sehingga manusia
mempunyai peradaban yang lebih baik dan maju.
Martin Heideger
pernah berbeda pendapat dengan Rene Descartes soal konsepsi tersebut.
Menurutnya, konsepsi itu lebih tepat diubah menjadi, “Aku ada maka aku
berpikir”. Dengan alasan manusia diciptakan terlebih dahulu, baru kemudian
berpikir. Namun, terlepas dari semua itu, kedua pendapat itu mengacu pada
“eksistensi manusia”. Descartes mengajarkan kepada para filsuf sesudahnya,
bahwa seseorang akan diakui keberadaanya, jika ia berpikir. Itu artinya, ketika
seseorang–terlebih mahasiswa—tak mau menggunakan akalnya untuk selalu
memikirkan hal-hal baru, maka bisa dikatakan orang itu telah “mati”.
Begitu juga
dengan pendapat Heideger yang mengacu bahwa ketika seseorang telah berada di
bumi, maka mau tidak mau ia harus berpikir. Namun, ketika kita melihat kondisi
filsuf—mahasiswa—saat ini, sepertinya konsepsi itu pantas berubah menjadi “copenicullus
ergo sum” (aku bergaya, maka aku ada).
Mahasiswa
sekarang seolah mengalami keterlemparan dalam suatu arus budaya yang memaksanya
bergaya. Sulit memang, ketika seseorang yang hidup dalam kultur kontemporer,
kemudian harus menghindar dari gaya hidup. Dunia modern memang tidak bisa
dilepaskan dari gaya hidup. Sebab,
siapa pun yang hidup dalam masyarakat modern, ia akan menggunakan gagasan
tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan
orang lainnya.
Gaya hidup
seseorang selalu berkembang seiring dengan kehidupan manusia yang dinamis. Bisa
jadi gaya itu mengikuti tren, melawan tren, atau bahkan melampaui tren yang ada.
Gaya hidup tergantung
pada bentuk-bentuk kultural, tata krama, cara menggunakan barang-barang, tempat, dan waktu tertentu yang merupakan
karakteristik suatu kelompok.
Bergaya di Kampus
Mahasiswa
menempati strata tertinggi dalam konteks pendidikan di Indonesia. Karena
itulah, banyak mahasiswa yang betah menghabiskan waktu selama 14
semester di kampus, hanya untuk menunjukkan eksistensinya. Menempati status
mahasiswa sudah barang tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi seseorang.
Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah mahasiswa mempunyai tanggung jawab
moral dan sosial terhadap masyarakat. Sebab, mereka bisa kuliah bukan
semata-mata biaya yang ia keluarkan, tetapi juga dari pendapatan pajak-pajak
rakyat oleh negara; melalui subsidi pemerintah atau beasiswa.
Menurut
Idi Subandi Ibrahim, seorang pakar cultural studies, persoalan
gaya-bergaya manusia modern merupakan dampak dari pengaruh globalisasi dan
kapitalisme. Semakin banyaknya shopping mall,
industri kecantikan, industri kuliner, industri gosip, industri mode atau
fashion, apartemen, kawasan huni mewah, real estate, serta gencarnya iklan
barang-barang super mewah merupakan dampak kapitalisme konsumsi.
Hal
itulah yang terjadi di lingkungan kampus saat ini. Dari segi bangunan saja,
setiap kampus berlomba-lomba untuk mendirikan gedung yang megah untuk menaruh
perhatian publik bahwa kampusnyalah
yang paling modern dan terbaik. Dengan dalih meningkatkan sarana-prasana untuk
menjamin proses belajar mengajar, kini kampus terjebak dalam “hedonisme pendidikan”.
Tak
hanya kampus yang berlomba-lomba bergaya, mahasiswa pun tak mau ketinggalan
menunjukkan gayanya di kampus. Dimulai ketika mereka berangkat ke kampus, motor
dan mobil mewah pun siap mengantarkan mereka pergi-pulang kuliah. Melihat hal
itu, kampus dengan cepat merespon dengan menyiapkan tempat parkir yang luas
bagi mahasiswa. Sesampai di kampus, kantin-kantin layaknya restoran modern
menyapa dengan sangat anggun. Tak pelak, kampus bagaikan mall yang sarat akan
hiruk pikuk pengunjung.
Dalam
proses pembelajaran, mahasiswa tak lagi membawa banyak buku seperti bapak-ibu
kita dulu. Cukup hanya dengan laptop dan modem, mahasiswa mempraktikan budaya
dialektika ala Plato, meski kadang arahnya tidak jelas. Pamer alat komunikasi;
handphone, blackbarry, smartphone dan lain sebagainya menjadi agenda rutin saat
mahasiswa selesai kuliah.
Bergaya dengan Buku
Akibatnya,
pusat studi kajian buku dan diskusi menjadi sepi dan senyap. Bahkan,
perpustakaan hanya ramai ketika mahasiswa butuh menyelesaikan tugas kuliah, misalnya
membuat makalah, laporan, skripsi, dan lainnya.
Tak cuma perpustakaan yang sepi, forum-forum diskusi; seminar juga tak banyak
peminatnya. Lucunya, banyak yang menghadiri diskusi tetapi ketika ditanya, ia
hanya menginginkan sertifikat atau piagam penghargaan untuk memenuhi syarat
studinya.
Buku-buku
yang dulunya sebagai sumber referensi, kini juga ada sebagian mahasiswa yang
memanfaatkannya sebagai perhiasan. Keberadaan buku bagi akademikus sebagai
bahan pengembang dan pengayaan intelektualitas, sebagai sumber referensi dan
inspirasi, dan sumber penelitian memang sangat urgen (meski sekarang ada e-book).
Mahasiswa
yang mampu menguasai buku-buku berat yang membutuhkan pemahaman yang mendalam,
ketika di dalam kelas akan terlihat cerdas dan cekatan saat diskusi. Hal itu
akan mendongkrak popularitas dan eksistensinya di kampus. Maka, tak heran jika
banyak mahasiswa yang setiap langkahnya senantiasa membopong buku-buku besar
dan tebal. Namun, ada juga sebagian mahasiswa yang hanya menjadikannya sebagai
gaya saja. Artinya, mereka membawa buku bukan untuk dipelajari, tetapi hanya
untuk dianggap bahwa dirinya adalah akademisi yang cerdas, intelek, dan
berpengetahuan luas.
Fenomena itulah
yang menyebabkan penulis mengganti konsepsi filsafat yang semula “Cogito Ergo
Sum” (aku berpikir, maka aku ada) menjadi “copenicullus ergo sum” (aku
bergaya, maka aku ada). Oleh sebab itu, perlu kesadaran kolektif dari mahasiswa
untuk mengembalikan pendapat Rene Descartes tersebut. Jika tidak mahasiswa,
siapa lagi yang akan meneruskan budaya berpikir para filsuf dan dialektika
Plato.
Mokhamad Abdul
Aziz, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
IAIN Walisongo Semarang, Perdana Menteri Monash Institue dan Aktivis HMI.