Cerpen
Oleh Jufri Zaituna
Tak urung waktu, malam kian
mencekam. Seolah menyimpan kutuk bagi pekarangan rumahku yang lengang. Dingin mengendap-endap dalam
keheningan yang menyatukan diamnya segala benda-benda. Sesekali geretap
reranting kering jatuh, ketika kelelawar melesat cepat dari pohon mangga ke
pohon jambu di gardu.
Suara katak mengorek, jangkrik mengerik di semak-semak pagar seolah berlagu bersama suara kentongan yang
sesekali bertalu-talu. Cukup
membuat bulu kuduk berdiri tegang. Ketika suara lelaki itu memanggil-manggil
ayahku dari arah jalan. Suara
yang olah menggedor-gedor pintu rumahku. Sosok lelaki bertubuh kekar, berkumis
tebal seperti serat kelapa, dan memakai celana hitam. Berjalan tegak sambil
melambaikan sebilah celurit
di tangannya.
Seketika tangan
kekar ayah menarik pundakku.
Menyuruhku untuk
menemani ibuku yang terbaring lemas di atas kasur lapuk. Aku langsung beranjak pergi
setelah ayah keluar menemuai lelaki yang terus menerus memanggil nama ayah. Aku
hanya bisa mendengar sapaan ayah pada lelaki itu dari dalam rumah. Percakapan
pun terus berlanjut. Tanganku
bergetar ketika
mendengar percakapan yang semakin hangat. Kekhawatiranku pada ayah semakin kuat
menyergap alam khayalku. Aku hanya
bisa terdiam sambil memijat tangan ibu mengeluarkan suara lirih.
“Ayahmu di mana?”
“Ayah lagi menemui Pak Martaji, Bu”
Dengan
terbata-bata ibu menceritakan pesoalan yang sebenarnya telah terjadi: Ayah yang
mengusahakan membuatkan kartu Jamkesmas untuk ibu yang sedang menderita kangker
payudara. Demi kesembuhan ibuku yang sampai hari ini masih kritis dan
membutuhkan perawatan yang baik dari rumah sakit. Tapi hari ini ayahku masih
belum mempunyai uang sepeser pun untuk menebus kartu Jamkesmas.
Percekcokan
semakin gaduh. Aku hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga tidak terjadi apa-apa
pada keluargaku. Semoga pertengkaran ini segera berakhir. Tapi cercaan Pak
Martaji yang semakin sengit menampar hati ayah.
Ayah hanya bisa
meminta maaf, karena masih tak ada uang sepeser pun untuk membayar sisa
penebusan kartu Jamkesmas. Untuk mengantisipasi keluhan ibu yang merasa
tubuhnya terbakar. Ayah setiap hari tak bosan-bosan membuatkan ramuan
tradisional berupa daum mimba yang di ambil di sekitar rumah. Daun mimba
yang ditubruk sampai halus dan di campur dengan air putih. Lalu di peras
sarinya sampai satu gelas.
Tapi sampai
hari ini Pak Martaji tidak mau memberikan kartu itu sebelum ayah bisa melunasi
sisa penebusan kartu Jamkesmas yang telah selesai dibuat. Ayah berjanji akan
membayarnya nanti ketika menerima BLT. Tapi Pak Martaji tidak percaya kalau
ayah akan menepati janjinya.
***
Sumpah serapah
dan kata-kata kotor telah mengotori kesucian embun berguguran dari langit
mendung. Kegaduhan semakin mengundang banyak orang bertandang untuk menyaksikan
pertengkaran edan. Aku tidak berani keluar, karena ayah meyuruhku tetap menjaga
ibu yang sedang berbaring di tempat tidur. Orang-orang semakin banyak, namun
tak ada yang berani meredam pertengkaran yang terus berkobar. Orang-orang
seolah menyaksikan sabung ayam. Sebab kejadian seperti itu sudah terlalu sering
terjadi di kampungku. Dan selalu mengguratkan kesedihan mendalam bagi keluarga
bersangkutan.
“Bila kau masih
menaruh dendam padaku. Ayo! Selesaikan malam ini saja. Aku tahu! Kenapa kau
masih tidak percaya padaku!” Amarah ayah semakin memuncak, seolah memancing
emosi Pak Martaji yang kelihatan bingung melihat ayah mengeluarkan celurit di
punggungnya.
“Apa maksudmu,
Mar! Aku tidak pernah menyimpan dendam pada siapa pun. Apalagi padamu. Aku
hanya ingin tahu, seberapa jauh kesabaranmu untuk selalu berusaha membawa
istrimu ke rumah sakit. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat memberikan kartu
Jamkesmas itu padamu. Tapi aku masih sibuk mengurus pekerjaan lain yang lebih
penting daripada mengurus kartu yang kamu pesan itu,” jawab Martaji.
“Pekerjaan apa
yang masih belum kau selesaikan? Apa kau tidak tahu kalau istriku sedang
sekarat dan harus dibawa ke rumah sakit. Kau benar-benar kepala desa yang tidak
punya perasaan! Kau lebih busuk dari calathong!” emosi ayah semakin
naik.
“Bangsat kau,
Mar! Kau sudah sangat keterlaluan!” Teriak Martaji. Dengan cepat Pak Martaji membuka
sarung celurit yang dipegangnya dan menyambar tubuh ayah dengan celuritnya.
Dengan sigap pula ayah menghindar dari sabetan celurit Pak Martaji seperti
kilat yang tiba-tiba menyambar dari wajah langit. Namun Pak Martaji terjatuh
tersungkur karena kakinya tersandung batu. Dengan cepat pula ayah mengalungkan
celuritnya pada leher Pak Martaji. Namun ayah tidak langsung menarik celuritnya
yang sudah siap memenggal leher Pak Martaji.
Ayah masih saja
tidak cepat-cepat menarik celuritnya dan lengah ketika melihat aku yang
berlarian dari arah rumah. Dengan cepat pula Pak Martaji menepis celurit yang
melingkar di lehernya dan dengan segera Pak Martaji menebas leher ayah sekuat
tenaga. Begitu cepatnya kepala ayah terlempar jauh. Tepat di depanku yang
datang membawa kabar kematian ibu.
Madura, 2008-2009
Catatan:
- Daum Mimba: daun untuk yang bisa dijadikan obat penenang panas, (Bahasa Madura)
- Calathong: Kotoran sapi, (Bahasa Madura)
Jufri Zaituna,
lahir di Sumenep, Madura, 15 Juli 1987. Puisi puisinya dimuat di Majalah Sastra Horison, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Minggu Pagi,
Merapi, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Jurnal Sajak, Suara Merdeka, Radar
Madura, Kuntum, Muara, Bakti, Sumut Pos, Harian Lahat, Tikar dan beberapa
antologi bersama: Ya Sin
(PBS,
2006), Merpati Jingga (PBS, 2007),
Annuqayah dalam Puisi (BPA,
2009), dan Mazhab Kutub (
Pustaka Pujangga, 2010), kumpulan cerpen pilihan
koran Minggu Pagi Tiga Peluru (Trataq
Media,
2010), Penganten Tamana Sare (Bawah
Pohon,
2011), dan Antologi Puisi Suluk Mataram:
50
Penyair Membaca Yogya, (GREAT Publishing, 2012).