Oleh Waode Nurmuhaemin. Spd.Med
Reaksi keras yang ditunjukan para pakar
pendidikan Indonesia, tidak lantas menyurutkan niat Kementerian Pendidikan menerapkan kurikulum 2013. Sikap keras dan optimisme
menteri Nuh menjelang tiga bulan penerapan kurikulum 2013, tidak mengubah fakta
bahwa kebingungan masih terus menyelubungi sebagian besar guru-guru di Indonesia.
Pelatihan guru-guru terkesan tidak optimal dan
tidak efisien. Bukan hanya keluhan yang terlontar, namun juga
penolakan-penolakan terus disuarakan dari berbagai daerah. Betapa tidak,
pemerintah seolah menutup mata terhadap ketidaksiapan pihak sekolah dalam
penerapan kurikulum baru ini. Padahal semua mahfum, kalau
pelaksana di lapangan adalah pihak sekolah, sebagai
ujung
tombak kesiapan.
Tidak hanya itu, perubahan kurikulum sejatinya bukan masalah biasa. Departemen
pendidikan seharusnya melakukan riset yang mendalam dan uji coba yang matang,
bukan sekedar uji publik yang tidak jelas maksud, tujuan dan sasarannya. Penggantian
kurikulum secara tidak langsung akan mengubah cetak biru pendidikan Indonesia. Ada beberapa komponen
yang seharusnya menjadi pertimbangan
ketika kurikurum dirubah:
Kesiapan Guru
Ketika kurikulum 2013 terus dipaksakan dan
disosialisasikan di seluruh indonesia, muncul gerakan penolakan guru-guru.
Bahkan banyak yang kemudian membuat jejaring maya untuk kemudian boikot dan menolak kurikulum
ini.
Ketua PGRI menyatakan bahwa mereka tidak
dilibatkan dalam penyusunan kurikulum ini. Mereka hanya diminta untuk
menyiapkan wakil guru yang akan mengikuti training
di Jakarta. Dan sampai detik ini, para guru hanya mengetahui bahwa kurikulum
akan berubah, bahwa bulan Juli tahun ajaran baru mereka akan
mengajarkan pelajaran yang diintegrasikan satu sama lain. Bahkan ada guru yang terancam
tidak mengajar karena mata pelajaranya dilebur dalam mata pelajaran lain.
Muncul kekhawatiran lanjutan, bagaimana nasib sertifikasi
guru? Seperti yang kita ketahui bersama, sertifikasi menyaratkan guru mutlak
mengajar 24 jam. Jika mata pelajarannya saja dihilangkan, dari mana angka 24
jam itu terpenuhi? Disinilah sesungguhnya akan muncul masalah baru yang berpotensi
menimbulkan masalah baru yang tidak kalah pelik.
Tidak mustahil, akan ada “pencurian jam mengajar, pengalihan wewenang,
dan menimbulkan ketidakharmonisan disekolah”. Guru akan dipaksa “gerilnya” memenuhi
jam wajib sertifikasi. Di samping itu, masalah yang
paling besar adalah para guru ini, karena mereka belum mengetahui apa dan
bagaimana kurikulum 2013. Sama seperti masyarakat awam, pengetahuan mereka
hanya sebatas bahwa “kurikulum dirombak”. Kalaupun mereka tahu biasanya hanya
di tataran pengenalan, bukan subtansi kurikulum 2013 itu sendiri.
Kesiapan Siswa-Siswa
Komponen kedua yang paling merasakan
penderitaan akibat kurikulum baru ini adalah siswa. Masih setali tiga uang
dengan kebingungan para guru, siswa secara otomatis akan menjadi korban
percobaan dari tafsir yang berbeda dalam penerapan kurikulum 2013 ini. Mereka akan
diajar oleh guru yang bingung terhadap kurikulum itu.
Kalaupun kemudian guru mampu menerjemahkan
kompetensi dasar, siswa juga dituntut untuk bisa menerjemahkan kompetensi itu
dalam keseharian melalui mata pelajaran yang tidak sinkron akibat adanya peleburan mata pelajaran yang dialih-istilahkan menjadi integrasi.
Bayangkan, alangkah panik dan bingungya mereka, ketika mata pelajaran agama di
ajarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia misalnya.
Kalau kemudian salah satu stimulus di otak
siswa belum bisa merubah paradigma pembelajaranya, maka dia akan menolak
pelajaran itu. Siswa akan memberikan respon yang salah terhadap
informasi mata pelajaran yang diajarkan, diperparah lagi dengan, katakanlah, guru yang mengajarkan mata
pelajaran bahasa indonesia tidak paham agama, bisa dipastikan miskomunikasi
akan terjadi.
Jika dalam persiapannya
terkesan prematur, bagaimana nanti dalam pelaksanaanya. Saya sangat setuju
terhadap pandangan anggota dewan kita di DPR RI yang mengkritik
kurikulum 2013 untuk tidak menjadikan siswa-siswa Indonesia sebagai kelinci
percobaan.
Kesiapan Buku Pelajaran
Wacana mendistribusikan buku pelajaran dari
pusat sebenarnya perlu diapresiasi, karena di samping untuk menghindarkan
materi-materi yang tidak sesuai dan menyimpang seperti beberapa kasus buku
pelajaran yang bermasalah itu, juga demi menjaga kualitas dan isi buku
pelajaran. Penyeragamkan buku pelajaran akan mengurangi
beban orang tua murid dalam hal pembelian buku. Murid akan mendapat buku secara
gratis.
Yang menjadi masalah, tahun
ajaran baru semakin dekat kurang lebih tiga bulan lagi, namun sampai saat ini distribusi
buku pelajaran kurikulum baru gratis yang dijanjikan pemerintah masih belum
nampak. Bahkan pihak Mendikbud mengatakan sekolah akan memakai buku
pelajaran yang lama dan secara bertahap akan diganti dengan buku baru. Artinya, sekolah-sekolah tidak serta merta
langsung memakai buku kurikulum baru 2013. Tentu saja hal ini menimbulkan
pertanyaan besar. Bagaimana guru akan mengajar dengan model kurikulum baru yang
mengintegrasikan pelajaran satu kepada pelajaran lainnya kalau
bukunya masih model kurikulum lama? Lalu di mana barunya? Jangankan tanpa buku,
ada buku saja belum tentu guru-guru bisa
mengajar dan memahami kurikulum 2013.
Berdasarkan paparan di atas, semestinya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengkaji ulang
kesiapan kurikulum 2013. Kalau memang persiapanya belum matang, ada baiknya ditunda untuk sementara
waktu. Pendidikan terlalu berharga untuk dijadikan pertaruhan kepentingan.
Jangan sampai kurikulum baru 2013 hanya akan menambah daftar panjang proyek
kegagalan kurikulum yang lalu –lalu.
Waode Nurmuhaemin, Spd., Med,
Dosen
FKIP Universitas Muhamadiyah Kendari