Oleh Sofi Muhammad
Padahal, motor
matic-ku baru satu minggu yang lalu kuservis. Tapi, dasar sial karena tiba-tiba
saja macet di jalan. Untung sedang tak berangkat, tapi pulang kerja.
Kaya mobil Derek
rasanya diriku ini. Agak lama juga aku menuntun motor. Capek, dingin, lagi.
Malam-malam begini, agak susah juga mencari bengkel yang masih standby di pinggir jalan.
Oleh karena ini
masih awal tahun, hujan pun masih sering datang. Jika berdampingan dengan aspal
yang berlubang, kadang aku kena juga cipratan air kotornya dari kubangan. Aduh,
semakin dingin saja rasanya. Padahal, sudah bawa jaket dan celana panjang.
Tapi, ternyata hanya sedikit saja yang mampu melindungi badan.
Sambil menggerutu,
terkadang kuamati juga para pengendara lain yang melintas dekat-dekat dengan
tepian jalan. Beberapa dari mereka adalah para wanita yang hanya pakai tank-top dan celana yang panjangnya
sepuluh centi di atas lutut.
Seksi, sih. Tapi,
apa sudah tak punya indra kedinginan tuh orang. Aku saja yang sudah lumayan
tertutup masih juga dingin kok. Kenapa mau begitu bahkan hanya untuk melayani
mata-mata nakal yang tentu saja gratis jika memandang.
Di lain detik,
kulihat juga sepasang pengendara, lelaki dan perempuan, sangat mesra sekali
duduk di satu jog motor. Tak terlalu cepat lajunya hingga mampu membuatku
memandangi mereka dalam waktu yang cukup lama.
Rapat banget hingga
tak ada sesenti pun jarak di antara mereka. Ditambah lagi dengan pelukan erat
si perempuan yang seolah-olah takut jika lelakinya itu di ambil orang, hingga
benar-benar membuat mereka kehilangan space
itu.
Iri, iya, tentu
saja. Siapa yang tak mau bermesraan dengan lelaki. Bercanda, menggombal satu
sama lain. Sampai kapan aku harus seperti ini. Jika lama sekali aku tak juga
mampu menemukan Arya, mungkin, ya, mungkin saja aku bisa nekat.
Kalau tidak Rio ya
barang kali malah Mas Hadi bisa juga kuterima tawarannya. Atau, boleh jugalah
teman kuliahan Santi yang katanya pernah nitip salam untukku lewat Santi. Meski
tak sebersih dan semodis Rio, tapi kurasa dia sedikit lebih baik hatinya. Beberapa
kali ketamu ketika dia mengonfirmasikan tugas kampus ke Santi, bicaranya sopan
sekali.
Mungkin, dulu dia
pernah suka Santi juga. Kalau tidak, mana mungkin mau repot-repot sampai
menyusulnya hingga ke tempat kerja hanya untuk memberikan tugas. Ya, wajarlah
jika memang beneran suka.
Ini, semakinlah
membuatku percaya akan cinta yang datangnya dari mata turun ke hati. Tapi,
cintaku pada Arya kurasa tidak demikian. Seingatku, saat pertama kali kami
bertemu kala ibu Arya jadi pembantu itu, aku tak begitu tertarik. Biasa saja,
bahkan enggan untuk melirik.
Mungkin karena
hanya dia satu-satunya penghuni yang masih muda maka aku lumayan nyambung jika
diajaknya bercanda. Tapi, bukan cinta pada pandangan pertama tentu. Aku yakin
sekali.
Jika diibaratkan,
aku lebih suka menyebut ini selayaknya istilah jawa; witing tresno jalaran soko kulino. Ya, oleh karena kami keseringan
bertemu, ngobrol bersama, maka jatuhlah perasaan ketergantungan itu.
***
Sementara itu,
bekerja di tempat karaokenya Mas Hadi mungkin tak kan kulanjutkan. Satu-satunya
yang masih membuatku bertahan adalah karena aku menunggu gaji saja. Orang-orang
banyak yang bilang bahwa gaji pertama itu nikmat sekali rasanya.
Okelah. Mungkin ini
hanya salah satu cara untuk melatih kesabaran. Memang tak ingin lagi
berlama-lama kuladeni setiap gurauan main-main dari Mas Hadi atau beberapa tamu
lelaki yang kadangkala lumayan ganteng.
Menurut perjanjian
dalam kontrak hitam di atas putih, gajiku dalam sebulan ini adalah lima juta.
Meski belum benar-benar sampai di tangan, tapi aku sudah mulai membayangkan.
Kira-kira, baju baru pasti tak mungkin bisa terlewatkan.
Selain itu, bedak,
mungkin. Tak usahlah yang semahal bedaknya Mbak Dian yang selalu berlangganan
beli di klinik Pak Dokter. Bagiku, di minimarket juga cukup. Yang penting, ada
iklannya di TV. Jadi, kalau-kalau ada kelainan di kulitku akibat bedak itu, aku
berani protes ke polisi.
Tapi, protes pun
harus punya KTP, kan. Parah banget aku ini hingga KTP saja tak punya. Ke mana
juga jika harus membuatnya, yang lewat dalam begitu. Pas kemarin ada e-KTP
massal, aku sama sekali tak dapat undangan dari kelurahan mana pun.
“Motornya mana?”
“Rusak, Mbak. Mplepek. Kemasukan air, kali.”
“La terus,
ditinggal di mana?”
“Di rumah orang.
Habis, dah malem, bengkel dah tutup semua, Mbak.”
“Pulang tadi
dijemput Pak Taksi?”
Sampai di rumah,
aku benar-benar malas mandi. Meski agak bau tapi aku pun tak peduli. Meski Mbak
Dian menyuruhku mati-matian tapi tetap saja ogah. Kami ini memang berbeda.
Sangat-sangat berbeda. Bagi Mbak Dian, keindahan tubuh wanita adalah segalanya.
Alah, sudahlah. Aku
capek dengan itu semua. Untung saja aku tak keceplosan menceritakan perihal Mas
Hadi yang lumayan menyebalkan akhir-akhir ini. Sementara Rio, aku semakin tak
bisa menolak kala ia iseng-iseng merayuku.
Rasanya, mau mati
saja kalau begitu. Semua ini seolah setengah-setengah. Jika saja tidak ada Arya
sekalian, mungkin aku bisa enjoy
menikmati kebersamaan dengan Rio, atau bisa juga dengan yang lainnya. Tapi,
Arya benar-benar menahanku, menggantungku dengan sebuncah ketidakpastian.
“Ras, Ras, tak
ceritain.”
“Apa, Mbak?”
“Tadi toh, kan aku
ketemu sama Pak Gubernur. Masa dia bilang mau beliin aku mobil kalau aku mau
jadi simpanannya selama setahun.”
“Lha jawabmu apa,
Mbak?”
“Ya, kubilang kalau
aku mau menikah. Lagian, mobilnya juga hasil korupsian. Kalau tiba-tiba dia
kegaruk KPK, aku bisa kena juga.”
“Iya juga, sih,”
jawabku. “kamu beneran yakin mau menikah, Mbak?”
“Lumayan yakin,
sih.”
Aku hanya tersenyum
kecut mendengar penuturan Mbak Dian itu. Entah bagaimana nantilah. Kurang
stabil juga itu orang. Kadang seperti ini, bisa juga dengan mudah jadi seperti
itu. Kalau saja anak tirinya sampai berani menjahatinya, awas saja! Aku pasti
bakal ikut turun tangan.
“Eh, kamu dah makan, belum?”
“Sudah,” jawabku,
“tadi makan nasi goreng di jalan,” memang sengaja kupilih itu, nasi goreng,
masakan yang sering dihidangkan Arya untukku dulu.