Oleh Khoirul Anwar
Dia (John Rambo) datang ke kota ingin mencari salah satu
dari teman-teman seunitnya, semasa perang di Vietnam. Namun sayang, di tengah
perjalanan, ketika memasuki kota, dia ditangkap oleh seorang sheriff (Teasle).
Apa sebab dia ditangkap? Rambutnya yang gondrong, jampang yang lebat, kumis tak
terurus —tetapi berbadan tegap dan gempal— dan bermantel militer kumal
menunjukkan dia adalah gelandangan dan
sudah menjadi kebiasan umum: gelandangan —dengan bahasa yang halus— harus
diamankan. Bukankah kota harus streril dari pemandangan yang tidak sesuai
dengan peradaban kota?
Cerita beranjak dari sini. Dia ditangkap, dibawa ke kantor
sheriff setempat. Di kantor para penegak hukum sipil itu dia dimasukkan ke bui.
Sekali alasannya lagi, demi keamanan. Pertanyaan yang menggenlitik adalah:
apakah bui (sel tahanan) mampu merubah sikap dan penampilan seseorang? Apakah sel
tahanan sama halnya lembaga suci yang terisi para nabi yang dengan mukjizat
tongkat dan seragam kebesarannya mampu mengubah setan menjadi malaikat?
Di sel tahanan dia diperlakukan selayaknya gelandangan yang
harus dirapikan, yang harus diselaraskan penampilannya dengan penampilan
manusia kota. Satu kesalahan, yang kelihatannya disengaja untuk memantik
cerita; para polisi itu bersifat arogan. Memandang yang bukan dirinya (sheriff)
adalah barang mainan, yang bisa diperlakukan seenaknya. Rambo tak luput dari
persepsi tersebut. Dia diperlakukan seperti boneka yang kapan saja, sekehendak
penguasanya, dapat digonta-ganti model sandangan dan aksesoris rambutnya. Jampang
dan kumis yang tak terurus dan menjadi ciri khasnya itu, harus dibabat habis
oleh sheriff.
Para sheriff itu mengeluarkan pisau cukur, dengan gaya
seperti akan melukai orang yang ada di hadapannya. Rambo yang merupakan mantan
pasukan elit Amerika tersebut tersadar. Ingatan tentang kekejaman perang di
Vietnam muncul, kilatan pisau cukur sama dengan kelebatan pedang musuh yang
telah membabat teman-temannya. Luka lama kembali perih. Endapan-endapan kesengsaran
perang timbul dari congkak tawa para sheriff dan silaunya pisau cukur.
Sudah selayaknya, sebagai mantan mesin perang yang tak kenal
rasa sakit, perihnya getih, dan
setiap musuh dihadapannya harus dilumat, Rambo memberontak. Disikat habis para
sheriff yang mencekalnya: tak tanggung-tanggung, sheriff satu kantor
dilumpuhkan. Maklumlah, sebagai tentara yang dilatih perang, menghadapi sheriff
kantoran seperti mengahadapi nyamuk: tes..tes..tes,
nyamuk pun klepek-klepek.
Apakah cerita berhenti di sini: di kantor sheriff yang
berantakan karena ulah Rambo? Ternyata tidak! Kisah harus berlanjut. Para
sheriff harus menunjukkan kalau mereka juga punya kekuatan dan jangan
disepelekan. Apakah para sheriff itu tidak tahu jika Rambo adalah veteran
perang Vietnam yang dianugerahi Medal of
Honor? Mereka tahu, tapi apakah dengan mengetahui jika Rambo adalah harimau
rimba Vietnam mereka menjadi keder?
Boleh dong jika para sheriff itu
menerka-nerka: siapa tahu harimau rimba Vietnam itu sudah kehilangan taringnya?
Pun, sekali-kali mereka boleh menjajaki seberapa hebat manusia yang mendapat
anugerah Medal of Honor tersebut?
Toh, mereka juga punya kekuatan, penguasa kota yang bisa menentukan
merah-hijaunya seseorang.
Cerita perburuan pun dimulai. Rambo melarikan diri ke hutan,
seakan harimau yang menuju ke habitatnya. Di habitatnya dia adalah raja, yang
menguasai. Para pemburu meski dengan peralatan yang mampu melumpuhkan buruannya,
tetapi terkadang juga gagal melumpuhkan. Kenyataannya memang demikian: Rambo
sulit ditaklukan, bahkan dari pihak sheriff ada yang mati.
“Don’t push it..or
I’ll give you a war you won’t believe…” kata Rambo pada Teasle yang merupak
kepala sheriff tersebut. Apakah kata-kata ini gertakan? Saya kira tidak.
Kalimat itu malah semacam peringatan awal kepada pihak sheriff. Kata tersebut
juga sebagai penegasan jika Rambo masih harimau yang bertaring tajam. Sebagai
veteran perang besar, dia punya banyak strategi “mengalahkan” yang tidak bisa
diduga oleh Teasle. Tetapi, apakah Teasle mengurungkan niatnya? Apakah hanya
karena aumannya harimau sang pemburu menjadi keder? Ternyata Teasle memang pemburu dengan libido yang tinggi,
meski miskin strategi. Yang diandalkan Teasle adalah besar pasukan, bukan
kecakapan pasukan.
Teasle sebagai kepala sheriff yang mempunyai hak penuh
penguasaan keamanan kota merasa direndahkan. Bagaimanapun juga, sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati,
dan itu harus! Teasle meminta bantuan dari pasukan Garda Nasional. Pegunungan
itu menjadi laga pertempuran. Rambo dikepung oleh satu kompi pasukan Garda
Nasional dan kepolisian, ditambah dengan peralatan serbu yang canggih.
Sedangkan Rambo hanya bersenjata belati militer, panah dan ditambah kecakapan
perang hutan.
Seimbangkah dan seadilkah pertempuran ini? Jelas tidak. Tetapi
apakah perang modern perlu keseimbangan dan mengenal keadilan? Bukankah tujuan
perang saat ini adalah mengalahkan, melenyapkan pihak lain? Di zaman yang serba
canggih teknologi masih adakah sikap kesatria dalam perang: beradu jarak dekat?
“Lihatlah di seberang sana, nun jauh, para tentara semakin ciut nyali, sehingga
perang harus diwakilkan pada robot-robot, mesin perang nir awak!”
Rambo terdesak ke mulut gua bekas pertambangan. Kesempatan
ini digunakan oleh pasukan Garda Nasional untuk melumat Rambo. Diroketlah mulut
gua itu. Rambo yang berada di dalamnya dikira sudah tewas. Namun sayang,
perkiraan mereka meleset. “Lakon kok
mati, ora iso!” kata seorang teman. Rambo belum mati, ia berhasil keluar
melewati lorong-lorong dalam gua.
Rambo yang sudah berubah menjadi macan sekaligus banteng ketaton tak tinggal diam. Di
benaknya, yang ada adalah balas dendam. Perang yang tak disangka, seperti yang pernah
diucapkan, harus diwujudkan. Kepolisian itu memang harus dibungkam mulutnya
supaya tidak meremehkannya.
Titik klimaks cerita harus segera dimulai. Rambo yang
selamat dari kepungan pasukan koalisi, berhasil membajak truk angkatan Garda Nasional
yang berisi perlengkapan senjata. Segera dia menuju kota. Sasaran utama adalah
kantor kepolisian di mana Teasle duduk manis, dan dari meja itu, prahara
dimulai.
Di kota, Rambo meledakan pom bensin, mematikan jaringan
listrik. Inilah strategi perang kota. Sebagai mantan pasukan elit, ia harus
memetakan musuh yang harus dilibas. Korban harus diminimalisir. Yang bukan
target utama jangan dikorbankan. Rencana yang bagus dan terkesan profesional.
Kantor kepolisian diobrak-obrik, sebagaimana gua
persembunyiannya diporak-porandakan. Teasle kecut menghadapi Rambo. Kata-kata
yang pernah didengar terwujud. Nyalinya ciut. Kini bayangannya adalah malaikat
maut yang nitis pada sosok veteran
perang Vietnam dengan senjata otomatis: sekali sentil kepalanya bisa pecah.
Kenyataannya memang demikian: Teasle mati namun tidak tragis, hanya terkena
tembakan yang dilesakan dari sikap Rambo yang membabi buta.
Cerita berakhir di sini: saat Teasle, sebagai antagonis,
mati. Kita kembali disajikan drama dengan cara yang sama: sesuatu berhenti
tatkala kematian musuh tiba. Apakah Rambo menang dan Teasle kalah? Tentu
definisi kemenangan dan kekalahan tak semudah dibaca hanya dari kematian
seseorang.
Sikap kesatria
yang memudar
Film Rambo yang tediri dari banyak jilid tersebut bukanlah
ditujukan sebagai film action semata.
Di balik film Rambo ada semacam kangen, penegasan, perang urat syaraf, sikap
yang tak mau “mengakui”. Film Rambo, kecuali First Blood I, biasa tampil di luar wilayah Amerika. Film itu
seakan menegaskan kalau kekuatan perang Amerika tak terkalahkan, meski pasukan
Amerika pernah kocar-kacir menghadapi gerilyawan Vietnam.
Film Rambo First Blood
juga menyadarkan pada kita semua, jika kebanyakan para veteran perang dipandang
sebelah mata. Veteran selalu dilupakan jasanya, tersingkirkan dengan kecongkakan
angkatan-angkatan bersenjata baru. Mereka tak dihargai, padahal di medan tempur
jiwa tertekan, psikologisnya gonjang. Di hadapannya tertinggal pilihan: aku
atau dia yang mati —yang dibumbui dengan kata-kata membela negara.
Belum lagi masalah kesejahteraan yang dihadapi. Sebagai manusia
tentunya hal wajar bisa merasakan kesejahteraan hidup yang layak. Memang benar,
dalam hidupnya mereka dilatih untuk tahan hidup dalam kondisi krisis akut,
makan apa adanya, mengobati rasa sakit dengan obat yang tak seharusnya, tapi
bukankah itu hanya berlaku dalam medan perang? Jika mereka kembali pada
kehidupan normal apakah juga selayaknya dan seterusnya harus hidup ngempet?
Jika disimak awal mula dari huru-hara First Blood adalah prasangka. Prasangka Teasle pada Rambo yang
berperawakan acak-acakan, mirip gelandangan. Sayangnya, cara penyelesaian
kepada Rambo sebagai pihak liyan
kurang pas: selalu dengan cara kekerasan. Rambo yang dalam dirinya ada trauma
perang kembali bangkit: yang di hadapannya musuh dan pilihannya melawan!
Teasle sebagai pihak yang berkuasa di kota itu merasa
terancam kekuasannya. Jika Rambo tak ditangkap, maka wibawanya sebagai kepala
keamanan terancam. Maka, meminjam istilahnya Yasraf Amir Pilliang,
dihembuskanlah wacana hororsophy:
sebuah wacana untuk menciptakan trauma psikologis dan kekacuan, sebagai satu
cara mempertahankan kekuasaan—power of
horror.
“Pikiran-pikiran horor tersebut adalah pikiran-pikiran orang
yang telah kehilangan akal sehat, orang yang tenggelam, kegilaan, orang yang
tidak mampu lagi mengendalikan hasrat berkuasanya dan lantas membela hasrat
tersebut dengan pikiran-pikiran jahat, tindakan-tindakan gila, dan aksi-aksi
yang menyeramkan” ungkap Deleuze & Guattari di dalam A Thousand Plateau: Capitalism and Schizophrenia.
Pilihan Teasle adalah menangkapnya dengan berbagai cara. Bahkan
meminta bantuan pasukan Garda Nasional. Memang terasa lucu dan menunjukkan
betapa lemahnya kekuatan Teasle dan kroninya: menghadapi satu orang saja perlu
satu kompi pasukan. Teasle kehilangan kearifan “dikena iwake aja nganti buthek banyune”. Kebalikannya, Teasle tidak
dapat ikannya, tetapi terlanjur memperkeruh airnya.
Orang-orang yang seharusnya tidak terlibat ternyata
dilibatkan. Institusinya ditunggangi kepentingan pribadi. Hukum tak lagi bicara,
yang ada tinggal unjuk kekuasaan dan kekuatan: “aku punya kekuatan!” sikap ngluruk tanpo bolo tinggal petuah jauh
nun di seberang.
Ironisnya, setiap permasalahan sepele ternyata dan kebanyakan diselesaikan dengan cara kekerasan.
Seakan kekerasan mampu membungkam lawan, malah sebaliknya kekerasan hanya akan
melahirkan kekerasaan berikutnya.
Film itu baru berhenti saat Teasle mati. Seakan kematian
adalah terputus dan terhentinya perkara. Jika ‘dia’ terkapar, tergelatak tak
berdaya, porak-poranda tempat tinggalnya, ‘aku’lah yang menang. Bukankah kini
kita hidup di zaman modern, yang konon sangat menjujung cara-cara
intelektualitas, tetapi kenapa kekerasan masih menjadi pilihan? Harus diaku, semakin modern peralatan perang semakin pudar
pula sikap kesatria, semakin surut sikap menang
tanpo ngasorake.
Yogyakarta, 10 Maret 2013