Cerpen
Oleh Arie Fajar Rofian S,E
Banyak orang yang berkata bahwa aku
ditakdirkan untuk menjadi orang melarat, tapi aku tak percaya. Bagiku melarat
bukanlah takdir, melainkan nasib. Nasib itu bisa diubah, tergantung seberapa
kuatnya manusia mampu berusaha. Maka dari itu aku lebih memilih berusaha
daripada terjebak dalam definisi semu ‘takdir’ dalam pemikiran manusia-manusia sinis.
***
Padahal baru tiga bulan aku menjalani
profesi ini, namun aku sudah harus menerima kenyataan pahit bahwa tadi pagi
perusahaan memutuskan untuk menaikkan jumlah uang setoran. Ah, semakin sulit
saja hidupku ini. Apalagi ada wacana yang beredar bahwa harga BBM akan segera
dinaikkan. Tanpa dinaikkan sekalipun, penghasilan yang kudapat setiap hari
hampir seluruhnya terkuras habis untuk membayar setoran.
Di dalam taksi aku terduduk dengan
tatapan mata yang kosong. Hatiku gusar lantaran takut menghadapi segala
kemungkinan buruk. Aku termenung. Aku bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana jika
hari ini setoranku kurang? Mau makan apa anak dan istriku? Semua pertanyaan itu
muncul satu per satu tanpa bisa kutemukan jawabannya. Tuhan, bagaimana aku
mengatasi kesulitan ini?
Bangunan di hadapanku laksana samudera
luas berisi ribuan ikan yang sedang bermigrasi. Orang-orang berjalan hilir
mudik dengan berbagai macam barang bawaannya. Mereka tampak sibuk dengan urusan
masing-masing, saling berpapasan satu sama lain, namun tak saling tegur sapa.
Tak ada senyum, apalagi jabat erat yang menyapa raga. Mereka seumpama kumpulan
robot yang bergerak tanpa jiwa. Saling acuh karena urusan perut yang kian mengerut.
Kesibukan semakin bertambah seiring
datangnya kereta api yang kebetulan berhenti untuk menurunkan penumpangnya. Ya,
para penumpang itulah yang mungkin akan menjadi bagian dari pendapatanku hari
ini. Aku tak berharap banyak, tapi aku akan berusaha lebih keras dari yang biasanya.
Tuhan, izinkanlah aku mendapat rizki-Mu hari ini.
Mikrolet, Metro Mini dan Bajaj sudah
mendapat bagiannya masing-masing, kecuali aku. Mataku sibuk mencari-cari calon
penumpang, sesekali aku berteriak “taksi” kepada siapa saja yang melintas di
depanku. Namun mereka sepertinya sudah menetapkan pilihannya sendiri-sendiri.
Seorang kakek renta dengan banyak barang
bawaan tampak sedang kebingungan. Ia seperti tak tahu arah mana yang akan ia
tuju. Tak ada yang membantunya, bahkan supir Bajaj yang berada di dekatnya
enggan untuk menanyakan perihal kesulitan apa yang sedang melanda kakek itu.
Aku segera masuk ke dalam taksi dan
menghampiri kakek itu.
“Mbah, mau ke mana?”
“Mau ke pondok bambu, le.” jawabnya
lirih dengan logat khas daerah Jawa Tengah.
“Mari kuantar.”
“Ndak usah, biaya taksi kan mahal,
uangku tinggal lima puluh ribu.”
“Tenang mbah, jarak dari stasiun ini
menuju pondok bambu lumayan dekat. Lima puluh ribu aku rasa cukup, seandainya
kurang pun tak apa, anggap saja sebagai bonus penglaris.”
Dengan hati senang, kakek itu beranjak
ke dalam taksiku. Ia tersenyum bahagia, memperlihatkan barisan giginya yang
bolong-bolong karena sudah termakan usia. Di sisi lain, aku juga sangat
bersyukur karena sang kakeklah yang menjadi pelanggan pertamaku hari ini. Hal
ini tak akan kusia-siakan, akan ku layani kakek itu sebaik mungkin.
“Mau ke rumah saudara, mbah?” tanyaku,
memulai sebuah obrolan hangat.
“Bukan, mau ke rumah anak. Sudah dua
tahun ia tinggal di Jakarta, tapi ndak pernah pulang ke kampung.”
“Memangnya kerja apa, kok sampai begitu
sibuk?”
“Aku juga ndak tahu, tapi sejak piala
dunia kemarin, ia jadi orang sibuk.”
Aku tak tahu pekerjaan macam apa yang dimaksud
kakek itu. Tapi demi menghormatinya, aku hanya menganggukkan kepala sambil
terus menyimak dengan baik cerita tentang anaknya yang sangat menggilai sepak
bola.
“Stop!!!!!!” tiba-tiba kakek itu
berteriak sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Ada apa, mbah?”
“Sepertinya ada yang salah.”
Lalu kakek itu memberikanku sebuah
sobekan kecil kertas putih bertuliskan alamat yang sedang ia tuju. Dan aku pun
terbelalak tak percaya.
“Di alamat ini tertulis Pondok Labu,
bukan Pondok Bambu, Mbah.”
***
Sang kakek antusias turun dari taksi
lantaran tak lagi mampu membendung rasa rindu. Jari tangannya segera menekan
tombol bel yang berada persis di dinding pagar sebuah rumah mewah. Berkali-kali
ia menekan bel, namun sang penghuni rumah tak kunjung menampakkan diri. Hingga
akhirnya tetangga di sebelah rumah itu keluar lantaran merasa terganggu oleh
ulah sang kakek yang terus menekan bel.
“Orang yang di rumah itu sudah pindah,”
kata tetangga tersebut.
“Pindah ke mana?”
“Aku juga tak tahu, yang kutahu pemilik
rumah ini suka berjudi. Karena sering kalah, ia berutang ke bank untuk kemudian
menutupi utang judinya pada rentenir. Tak
lama setelah itu rumahnya disita oleh pihak bank.”
Kakek itu terpaku dalam diam, lalu air
mata berderai membasahi pipinya yang sudah dipenuhi guratan-guratan masa lalu.
Telapak kakinya mendadak lemas, tak mampu lagi menopang berat tubuh. Ia terjatuh
dengan lutut bersimpuh. Wajahnya murung, tertunduk malu bercampur sedih. Aku ikut
bersimpuh di depan sang kakek, lalu mencoba membesarkan hatinya.
“Antarkan aku pergi dari tempat ini, le.”
Pintanya.
“Baik, mbah ingin ku antar ke mana?
“Ke mana saja.”
***
Malaikat kelam semakin kejam, hembusan nafasnya
membuat sekujur tubuhku membeku dan lidahku terasa kelu. Warna-warni dunia
hilang secara beriringan, tertelan oleh hitam, lalu tenggelam. Namun pendar
lampu-lampu jalanan memberikan kontras di antara temaram wajah malaikat kelam.
Saat itu pula kesadaranku hampir runtuh jika saja wajah anak dan istriku tidak
muncul dengan tiba-tiba.
Seorang wanita berpakaian seksi berdiri
di sisi jalan. Beragam aksesoris mewah melekat, gemerlap menghiasi lekuk
tubuhnya yang molek, seolah dapat mewakili dari kalangan mana dirinya berasal. Aku
menghampirinya, perlahan. Wajahnya rupawan dan kulitnya putih mulus. Keindahan
itu kian sempurna dengan sepasang lesung pipit yang dimilikinya. Sungguh
merupakan sosok wanita idaman setiap pria normal.
“Taksi?”
Wanita itu tak lantas menjawab pertanyaanku.
Mimiknya gusar, dan matanya terus menatap ke layar ponsel. Berkali-kali ia
melakukan panggilan untuk menghubungi seseorang, namun tak mendapatkan jawaban.
Dengan wajah yang tampak memendam kekecewaan, ia masuk ke dalam taksi.
“Ke jalan Jaksa, pak.”
Tak banyak komentar, aku pun segera
melaju. Jalan-jalan protokol kulewati tanpa hambatan berarti. Jika di siang
hari jalan yang kulewati ini akan dipenuhi oleh berbagai jenis kendaraan,
terutama sepeda motor. Diperlukan kesabaran ekstra untuk menghadapi jalan ini
di siang hari. Tak jarang sumpah serapah dan suara klakson saling bersahutan,
tak berirama, membuat panas daun telinga.
Hingga setengah perjalanan, tak sepatah
kata pun yang meluncur dari bibir wanita itu, selain permintaannya tadi untuk
diantarkan ke jalan Jaksa. Matanya masih saja sibuk menatap ke layar ponsel.
Sesekali ia mengelus-elus perutnya sambil menggumamkan sesuatu yang tak
terdengar jelas.
“Sudah berapa bulan, Mbak?” aku berupaya
mencairkan suasana.
“Tiga bulan. Hari ini, untuk pertama
kali ia akan bertemu dengan ayahnya,” jawab wanita itu sambil terus mengelus
perutnya.
“Pertama kali? Memangnya ayahnya ada di
mana?”
“Ayahnya seorang WNA asal Singapura.
Bulan depan ia akan membawa serta diriku ke negaranya, lalu menikah di sana.”
Kuhentikan laju taksiku di depan sebuah
rumah bercat biru. Wanita itu kemudian turun dan memintaku agar menunggunya.
“Tunggu sebentar ya, Pak. Aku hanya mau
mengambil beberapa berkas untuk melengkapi syarat pernikahan di Singapura.”
Selang sepuluh menit wanita itu kembali
dengan membawa sebuah amplop tebal berwarna coklat. Wajahnya tertunduk lesu dan
langkahnya gontai. Ia menghempaskan tubuhnya di jok depan, di sebelahku. Selepas
satu helaan nafas yang panjang, ia memintaku untuk segera membawanya pergi,
entah ke mana.
Aku melaju sekenanya, tanpa tahu arah.
Wanita itu masih terlalu sibuk dengan perasaan dan kegundahan yang melanda. Wajah
mulus itu terbenam dalam dekapan lembut kedua telapak tangannya yang tampak luber
oleh air mata. Sesekali dapat kudengar dirinya sesenggukan, menahan rasa pedih
yang menghunjam ulu hati.
“Rumah Mbak di mana? Akan ku antar ke
sana.”
“Tidak!!! Jangan ke rumahku, aku tak sanggup
bila harus bertemu dengan kedua orang tuaku. Aku malu!” wanita itu histeris, riasan
mewah yang menempel di wajahnya luntur oleh deraian akan kesedihan.
“Lalu Mbak mau ke mana?”
“Ke mana saja!”
Wanita itu membuka amplop tebal berwarna
coklat yang dibawanya tadi, lantas ia mengeluarkan isinya. Ya Tuhan, betapa
banyak tumpukan uang pecahan seratus ribu rupiah tersimpan di dalamnya. Wanita
itu melepaskan ikatan dalam tumpukan uang, lalu menghamburkan lembar demi
lembar uang itu ke jalan melalui jendela sembari tertawa seperti orang gila.
Lembaran uang itu bertebaran, lalu hilang tertelan
gelap malam. Kini yang tersisa hanyalah selembar amplop coklat tak bernilai. Sungguh
sebuah ironi, hal yang aku sangat butuhkan justru dibuang percuma tepat di
depan kedua bola mataku.
Tiba-tiba wanita itu berusaha merebut
kendali setir, mengganggu keseimbangan laju mobil. Aku bertahan, memegang erat
setir sekuat tenaga. Tak mau menyerah, wanita itu lantas menginjak kakiku yang berada
tepat di atas pedal gas. Taksi pun melaju kencang.
“Aku ingin mati saja!”
Ia menggigit pergelangan tanganku, yang
kemudian membuat taksi hilang kendali. Aku membanting setir ke kiri, lalu
menghantamkannya ke trotoar.
Brak!!!
***
Sekujur tubuhku luka-luka, berbalut
perban putih yang bercampur merah darah. Kulangkahkan kaki dengan penuh beban
dan rasa kecewa yang mendalam. Besarnya biaya rumah sakit kian menghakimi
nasibku yang terlampau tragis. Habis sudah perjuanganku, aku tiada daya. Terbayang
wajah istri dan anakku yang sedang menunggu kepulanganku. Aku mengecewakan
mereka.
Di depan pintu keluar rumah sakit aku
berdiri, bingung, dan tanpa arah. Aku menatap langit, bertanya pada-Nya, lalu
pasrah menunggu jawab dari-Nya.
Sebuah taksi datang menghampiri.
“Mau ke mana, Pak?”
“Ke mana saja. Terserah saja…”