Cerpen
Oleh Lutfiyah
Nurzain
By Kompas |
Jam dinding masih menunjukkan pukul
setengah tiga pagi.Suryati terbangun. Kedua matanya masih terasa berat. Pedih
juga. Bekas jenggala sepertinya melekat di pelupuk matanya. Berkali-kali
Suryati mengusap-usap. Agak baikan. Lalu ia perhatikan lampu tempel di
dekatnya. Hanya beberapa sentimeter. Ternyata si bahan bakar hampir
habis.Suryati takut bila lampu mati sebelum fajar tiba. Ia takut Abu
terperangkap gelap. Sebab, ia tak lagi punya persediaan minyak tanah. Ia hanya
berharap. Semoga pagi lekas menjelang.
Suryati tahu betul, kini bukan lagi
zamannya pakai lampu tempel. Banyak orang pintar yang terlahir ke dunia.
Seharusnya listrik ada dimana-mana. Tapi, terangnya cahya listrik hanya sebatas
mimpi bagi Suryati. Desanya tak jua tersentuh listrik. Jadi, hitamnya jenggala
sudah biasa.
Sejenak ia tatap tubuh mungil Abu,
anak semata wayangnya. Alangkah kasihan ia pada anak laki-lakinya itu. Kadang,
Suryati tak tega mengikutsertakan Abu saat bekerja. Fisik Abu tak sekuat anak-anak
yang lain.
Saat dilahirkan, kondisi anak lima
tahun itu normal. Tak ada tanda-tanda ia akan tumbuh berbeda. Namun seiring
waktu muncul kelainan. Abu kecil tak juga memperlihatkan fase perkembangan.
Tidak seperti anak pada umumnya. Abu hanya berbaring. Sesekali duduk. Padahal,
anak seusianya sudah bisa berjalan. Atau paling tidak merangkak untuk meraih
sesuatu.
Sebagai ibu, Suryati ingin melihat
anaknya sehat-normal. Berjalan, berlari ke arahnya, kemudian mendekapnya penuh
cinta. Namun ia sadar. Itu hanya imajinasinya saja. Ia kadang menyesal.
Menghukumi diri sendiri. Kenapa tak bisa berbuat apa-apa tuk kesembuhan buah
hatinya.
Rupiah
demi rupiah tiap hari disisihkan. Suryati tak keberatan bila ia hidup
sederhana. Makan seadanya. Atau bahkan tak makan sekalipun. Asal anaknya bisa
mendapat pengobatan.
Tapi...hari
demi hari, bulan demi bulan. Bahkan, tahun demi tahun Suryati banting tulang.
Hasilnya belum seberapa. Untuk membayar administrasi rumah sakit saja belum
cukup.
Suryati tahu percis. Biaya rumah sakit
sangatlah melangit. Apalagi bagi orang miskin seperti dirinya. Bila pakai kartu
jamkesmas ia tak percaya. Pihak rumah sakit pasti menyulitkan.
Suryati pernah sekali mencoba. Sudah
menempuh jarak berkilo-kilo dari desanya. Bukan penanganan medis yang ia
dapatkan, melainkan ketidakpastian akan nasib anaknya. Berminggu-minggu Abu
berbaring di rumah sakit. Hanya satu kali dokter memeriksanya. Kecewa atas
pelayanan rumah sakit, akhirnya Suryati tidak tahan. Ia membawa pulang Abu dan
merawatnya sendiri di rumah. Akh, malang
betul...
Suryati tak ingin mengingat-ingat
getirnya masa itu. Sebab yang ada hanyalah kata menyerah kala itu. Hidup sepeninggalan
suami serasa berat baginya. Apalagi dengan kehadiran Abu.
Berrrrr! Dinginnya air pancuran
menyadarkan wanita paruh baya itu. Ia kemudian sholat malam. Ia mencurahkan
segalanya pada Tuhan. Ia menangis sejadi-jadinya dalam do’a. Katak dan jangkrik
bersahut-sahutan. Mereka seolah mengamini apa yang Suryati panjatkan.
Semua kecewa Suryati sejenak pergi. Semua
beban seolah hilang. Ia semakin yakin. Tuhan mencipta masalah beserta
solusinya. Tuhan juga pasti mendengar do’a hamba-Nya. Suryati pun yakin. Suatu
saat Abu dapat sentuhan medis yang berarti.
Usai sholat, Suryati kembali ke
pembaringan. Ia tatap lagi wajah Abu. Dibelainya kepala anaknya itu. Kemudian
Suryati memeluk erat tubuh mungil Abu. Keduanya terlelap dalam lautan cinta.
***
Pagi-pagi begini sudah ada yang
bertamu. Siapa gerangan tamu itu. Pikir Suryati yang masih sibuk mengurusi Abu.
Takut si tamu menunggu lama, ia mengambil waktu. Dengan daster lusuh Suryati
menemui si tamu.
“Maaf, Mbak Yati. Pagi-pagi sudah
bertamu”, kata wanita itu.
Suryati basa-basi sambil mengarahkan
tangan ke dalam rumahnya. Barangkali Wina, tetangganya itu berkenan masuk.
Tapi, tak ada ruang tamu di dalam. Kamar dan dapur saja menyatu. Kursi kosong
pun hanya ada satu. Sedang Abu tampak tak berdaya di pembaringan. Tangannya
sibuk menggoyangkan sebuah robot-robotan usang. Asyik sekali. Ia seperti larut
dalam imajinasinya. Sesekali Abu juga menatap ke arah Wina.
Sebenarnya Wina merasa iba. Duhai
penderitaan bocah lima tahun itu menusuk hingga lubuk hatinya. Ia merasakan
kemalangan hidup Suryati dan Abu. Tapi ia sama halnya dengan Suryati. Tidak
bisa berbuat apa-apa. Kedatangannya pada Suryati ini hendak mencarikan jalan
keluar.
“Ah, ndak perlu Ti. Aku buru-buru”,
kata Wina.
Suryati menelan ludah. Jelas saja Wina
enggan masuk. Ia menyadari tempat tinggalnya lebih tepat disebut gubug daripada
rumah. Alasan buru-buru digunakan pasti hanya untuk mempercepat kunjungan.
Pikirnya dalam hati.
“Langsung aja, Ti. Aku ke sini mau
kasih kabar”.
“Hm, kabar apa ya?”
“Soal tanahmu, Ti”
Entah kenapa, Wina mendadak bingung. Ia
tak pandai bicara. Ia tak tahu harus mulai darimana. Ia takut kalau salah
bicara. Bisa-bisa, Suryati tersinggung karena perkataannya.
“Tanahmu yang di perempatan desa itu
lho, Ti..” Wina melanjutkan.
“Iya, kenapa?” jawab Suryati singkat.
“Oke. Tak jelasin...”
Wina berbicara panjang lebar. Suryati
hanya manggut-manggut. Entah pertanda setuju atau hanya berpura-pura. Namun,
Wina berharap Suryati mau mengikuti sarannya. Sebab, hanya dengan cara itu
Suryati bisa membawa Abu berobat. Tak perlu bersusah payah. Juga tak perlu
waktu lama.
***
Di bawah terik matahari, Suryati
menyiangi sepetak sawahnya. Rerumputan sangat cepat tumbuh di sekitar
tanamannya. Sementara Suryati masih pakai cara manual. Menggunakan tangannya
sendiri. Juga tanpa bantuan tenaga orang lain. Memang memakan waktu. Tapi, Suryati
berpikir ulang bila hendak memakai pestisida maupun menyewa pekerja. Lebih baik
uangnya ditabung saja, pikirnya. Tokh, ia harus mengumpulkan uang yang banyak
untuk Abu.
Satu per satu rumput berhasil ditumpas.
Tanaman ubi jalar Suryati kini bisa tumbuh dengan baik. Sejenak Suryati
berangan. Andai masalahnya sirna seperti ubi yang terbebas dari rerumputan itu.
Terik matahari kian menyengat. Peluh
mengalir deras di sekujur tubuh Suryati. Kaosnya basah oleh keringat. Ia
mengakui cuaca belakangan ini sangat ekstrem. Ia sampai berkali-kali
mengibaskan caping. Tapi tetap saja terasa panas.
Dari kejauhan, Abu melambai-lambai.
Suryati mengerti. Abu enggan lama-lama ditinggal. Sebab, tak ada siapa-siapa di
sana. Wajar saja. Bocah lima tahun ditinggal seorang diri di bawah saung. Sudah
siang, dan suasana sepi. Rasa bosan dan cemas tentu menyergapnya.
“Sebentar, nak. Ibu segera ke sana”,
pekik Suryati dengan senyum.
Suryati
menyegerakan kerjanya. Sebab setelah itu ia harus ke rumah Bu Karmin. Masih ada
pekerjaan lain menanti.
***
Abu
berada dalam gendongan Suryati. Sementara kedua tangannya menjinjing karungan
buah pinang. Berat memang. Tapi, Suryati tak pernah terbebani. Ia malah senang
bisa membawa serta Abu. Daripada ia tinggalkan di rumah. Kasihan, sendirian.
Suryati
terus melangkah tanpa alas kaki. Rasanya seperti terbakar berjalan di jalanan
beraspal. Apalagi saat tengah hari. Namun ia tak henti menguatkan diri. Ia
terus menghibur diri. Perjalanan tinggal beberapa meter saja. Kuat.. Kuatlah!
***
Lelah pasti mendera. Seharian bekerja
di sawah. Tapi tak sepeser pun dibawa pulang. Ubi jalarnya belumlah besar. Jadi
tak ada yang bisa dijual.
Hampir dua bulan ini ia bergantung
dari hasil buruh kupas pinang. Hari ini Suryati membawa pulang lima belas kilo
buah pinang. Pinang-pinang itu minta dipisahkan kulitnya segera. Bila tidak,
besok ia dan Abu tak bisa makan.
Meski lelah, Suryati kembali bekerja.
Tangannya cekatan. Satu per satu pinang lepas dari kulitnya. Kemudian dibelah
jadi dua.
Sambil bekerja, Suryati tak henti
memperhatikan Abu. Lelap sekali tidurnya. Sesekali Suryati tersenyum menatap
wajah nan polos itu. Sesekali pula ia menitikkan air mata. Ia terbayang nasib
anaknya. Ia takut. Bila tak segera diobati, kaki Abu akan semakin melemah. Dan
harapan tuk dapat berjalan semakin jauh.
Suryati teringat tawaran Wina. Katanya
Suryati bisa dapat uang cepat untuk pengobatan Abu. Tapi, Suryati bingung.
Haruskah ia menggadaikan tanah warisan suaminyakepada pemodal? Pikiran Suryati
berkecamuk. Bila mengandalkan tabungan, tak mungkin. Entah kapan uang itu akan
terkumpul.
Suryati bergegas bangkit. Ia
mencari-cari sertifikat tanah yang ditinggalkan suaminya. Ketemu. Ada di dalam
stopmap lusuh. Tertera kepemilikan tanah atas nama Jauhari, almarhum suaminya.
Suryati tak mau pikir panjang lagi.
Apapun akan ia perbuat. Asalkan Abu bisa pulih.
Suryati ingin segera menemui Wina, dan
pemodal itu. Namun, hari sudah hampir larut malam. Tak mungkin bertamu ke rumah
orang malam-malam. Suryati harus menunggu hingga esok tiba.
***
Sebulan sudah. Suryati tak lagi
menggarap sawahnya. Ia telah benar-benar menyerahkan tanahnya kepada pemodal.
Untuk menyambung nyawa, akhirnya Suryati jadi buruh serabutan. Kadang-kadang
jadi buruh kupas pinang. Kadang-kadang juga jadi buruh cuci. Upahnya tak
seberapa memang. Tapi, hanya itulah yang sanggup diperbuat.
Kini sawahnya sudah rata dengan pondasi-pondasi
bangunan. Tapi, Suryati tak jua dapat kabar. Ganti rugi atas sawahnya tak
pernah jelas. Pemodal selalu mangkir bila hendak ditemui. Sementara Abu kian
payah saja.
Suryati mondar-mandir ke kantor kepala
desa. Tapi sama saja. Nihil. Pihak desa malah mengatakan bahwa tanah Suryati berstatus
kepemilikan ganda. Miliknya dan milik PT. Surya Kencana. Bukan main geram hati
Suryati. Ia protes sana-sini. Ia tak mau kehilangan hak atas tanahnya sendiri.
Tanah yang selama ini menghidupinya, juga anaknya.
Lutfiyah Nurzain, mahasiswa
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo